Setelah beberapa jam menikah di kediaman orang tua Yila, Yila dan Yara berpamitan pada kedua orang tuanya maupun pada kedua mertuanya. Mereka diantar oleh kedua orang tua masing-masing. Rupanya rumah baru yang akan ditempati Yila dan Yara masih satu komplek di sana. Hanya berbeda dua rumah. Meskipun demikian, jarak antara rumah ke rumah satunya lagi memang agak berjauhan, sebab rumah di kawasan perumahan ini lumayan luas-luas. Yang memisahkan mereka hanyalah pagar pembatas yang tingginya kurang lebih dua meter.
Kalau jalan kaki pun, bisa ditempuh cukup 10 menit saja, sebab jaraknya juga hanya kurang lebih 200 meter.
"Kami antarnya sampai pintu depan saja, ya, kalian kalau ada apa-apa, tinggal datang saja ke rumah kami," ujar Bu Yuli sembari mengarahkan telunjuknya pada diri dan suaminya serta pada kedua besannya. Bu Yuli tersenyum bahagia menatap kedua anak menantunya yang baru saja menikah dan akan menempati rumah baru. Di dalam hatinya terselip doa-doa supaya pernikahan anak menantunya diberkahi dan diberi jodoh yang panjang.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa," sahut Yila membalas senyum.
"Kalian yang akur, jangan ada berantem," nasihat Bu Rosi sebelum meninggalkan rumah baru anak dan menantunya.
Baik, Ma. Makasih kalian sudah mengantar kami," ucap Yara sembari menyalami Mama Papanya serta kedua mertuanya. Mereka berdua menatap kepergian kedua orang tua masing-masing dari depan pintu pagar.
Yara membalikkan badan, sementara Yila masih di mulut gerbang. Yila melihat Yara beranjak tanpa menyapa dirinya atau mengajak. Yila menutup gerbang lalu mengikuti Yara masuk ke dalam rumah.
Yila menatap punggung Yara yang melangkah ke dalam rumah. Lelaki itu kini sudah menjadi suaminya. Namun, baru hari pertama saja Yara begitu dingin tanpa basa-basi. Bagaimana bisa Yila menjalani rumah tangga ini sementara sikap Yara cuek dan dingin?
Yila masuk dengan perasaan ragu, langkah kakinya tersendat di depan pintu. Kini kakinya seakan berat untuk melangkah.
"Kenapa di sana? Masuklah!" perintahnya, terdengar kaku tapi tegas dan tidak ada romantis-romantisnya. Yila dengan terpaksa masuk dengan ucapan salam yang sedikit terdengar bergetar.
"Assalamualaikum," ucapnya bergetar. Baru beberapa langkah masuk ke dalam, Yila sontak mengibas-ngibas tangannya karena asap rokok yang sudah memenuhi ruang tamu. Yara merokok di sana dengan posisi duduk di sofa dan kaki terbuka lebar, seolah sedang melepaskan segala lelah yang ada.
"Kalau tidak suka dengan asap rokok, masuklah. Jangan berdiam diri di sana," peringatnya kaku dan tegas. Yila patuh dan segera ke dalam. Di ruang tengah Yila bingung kembali, dia harus masuk ke mana, ke kamar atau ke mana. Daripada salah Yila memutuskan ke dapur saja untuk sekedar melepas canggung setelah beberapa detik berinteraksi dengan Yara suaminya.
Yila mengambil gelas di rak, lalu menyalakan dispenser untuk mengambil air jernih. Diteguknya air itu, seketika kerongkongannya yang kering basah kembali akibat suasana yang tegang yang dia rasakan tadi. Yila duduk di kursi meja makan sembari meraih HPnya dan mengetik sesuatu yang dikirimkan pada Ibunya.
"Assalamualaikum, Bu. Ini bagaimana? Yila rasanya canggung banget sama Mas Yara. Mas Yaranya juga sangat dingin mirip kutub utara. Lalu apa yang harus Yila lakukan, Bu? Tolong jawab cepat, ya, Bu!" pesan WA terkirim dan langsung centang biru dua. Yila senang bukan kepalang. Kini dia sedang menunggu balasan WA dari Ibunya.
"Waalaikumsalam, Neng. Kalau Mas Yara sikapnya dingin, Neng tinggal hangatkan saja dengan bikinkan teh hangat, jangan lupa tanya dulu suka manis atau tidak. Lalu sertakan juga camilan jika ada," saran Bu Yuli membalas pesan WA Yila.
"Lalu besok kalau pagi-pagi gimana, Bu?" pesan WA dari Yila terkirim lagi.
"Neng tanyakan mau sarapan apa, nasi goreng atau apa? Jika Mas Yara suka roti pakai selai, kamu siapkan saja roti selai. Lalu jika suka nasi goreng kamu bikinkan nasi goreng, kamu kan paling pandai bikin nasi goreng, Neng. Kamu sudah pandai masak, tinggal tanya kesukaan Mas Yara apa."
"Usahakan komunikasi ya, Neng. Mas Yara memang orangnya dingin, mungkin pengalaman dahulu menjadikannya seperti itu. Pokoknya apa-apa kamu tanyakan dulu ke Mas Yara, ya, biar nanti tidak salah," pesan Bu Yuli dari WA untuk yang terakhir.
"Masih bertanya sama Ibu, ya, bagaimana cara melayani aku?" Tiba-tiba Yara mengejutkan Yila yang baru saja mengakhiri pesan WAnya bersama Bu Yuli. Sontak Yila terkejut dan menaruh HPnya di atas meja.
"Mas Yara." Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Yila saking gugupnya. Yila berdiri dan hendak menuju rak untuk mengambil gelas. Niat dia akan membuatkan teh hangat buat suaminya.
"Sudah, tidak perlu! Aku belum mau minum," cegahnya membuat Yila kembali terbengong.
"Duduklah. Aku mau bicara sedikit." Yila kembali duduk dengan sedikit tegang seakan dalam persidangan.
"Tidak perlu tegang seperti itu, bukankah aku sudah menjadi suami kamu?" tukasnya membuat suasana berubah semakin tegang. Yila menarik nafasnya perlahan, membuang rasa tegang di dadanya.
"Aku hanya ingin kamu lakukan tugas kamu seperti biasa saat di rumah kedua orang tua kamu, cuma bedanya di sini kamu hanya mengurus aku. Tentunya kamu siap menikah, siap juga dengan segala tugasnya, bukan?" Yara balik bertanya dengan menatap tajam mata Yila. Yila dengan cepat menunduk menyembunyikan ketegangan yang kian memuncak.
"Di rumah ini ada tiga kamar, dua kamar utama dan satu kamar tamu. Kamu memilih kamar yang mana untuk tidur malam ini?" tanyanya membuat Yila benar-benar bingung menjawab. Untuk beberapa saat Yila diam dan tidak tahu harus menjawab apa. Ini tentu pilihan yang sulit. Jika ia memilih kamar tamu, sekarang dia bukan tamu melainkan istri dari pemilik rumah. Lalu kalau memilih salah satu kamar yang menjadi kamar utama, Yila harus pilih yang mana? Mereka suami istri, masa harus tidur terpisah.
"Yila!" serunya menyadarkan kebingungan Yila.
"Ya, Mas?" sahut Yila sedikit gugup.
"Kamar yang mana yang akan kamu pilih?" ulangnya memberi pilihan.
"Saya tidak bisa memilih Mas. Bukankah kita sudah menikah. Dan jika sudah menikah tentunya kita satu kamar, kan?" tanya Yila ragu. Yara terlihat sedikit menyunggingkan senyum. Pria kutub itu tersenyum? Sungguh hal yang langka bagi Yila.
"Apakah malam ini kamu mau tidur bareng saya atau misah kamar?" Pertanyaan konyol apa yang diucapkan Yara, membuat Yila semakin bingung. Mungkinkah Yara menginginkan tidur misah kamar atau bagaimana? Yila bertanya-tanya dalam benaknya, bingung dengan pertanyaan Yara seperti itu.
"Sebagai perempuan yang sudah sah menjadi istri Mas Yara, saya tentu saja harus tidur bareng dengan Mas Yara. Sebab saya sudah milik Mas Yara," jawab Yila pelan dan hati-hati. Yara terlihat menyunggingkan senyum.
"Benarkah? Jadi, kamu sudah siap jika aku miliki?" Yila bingung kembali dengan pertanyaan Yara seperti itu. Untuk sejenak dia hanya bisa diam tapi dalam hatinya berkata.
"Saya sudah sah menjadi milikmu Mas. Maka saya harus siap lahir batin dimiliki olehmu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Endang Sulistia
sampe nelpon mamaknya si yila😅😅😅
2025-04-18
1
Nasir
lanjut Kak @vivi....
2023-09-12
2
auliasiamatir
yara yang aneh,
🙄🙄🙄
kalau aku jadi Yila aku minta aja kamar Tamu sekalian
2023-07-15
1