Lana menolak masuk ke mobil Maya saking marahnya. Ia tidak menyangka bahwa bos yang juga sudah dianggapnya sahabat itu tega mempermainkannya seperti itu.
Karena merasa bersalah, Maya terus berusaha membujuk Lana agar memaafkannya. Ia meninggalkan mobilnya dan mengikuti langkah Lana sampai menemukan tempat duduk yang nyaman digunakan untuk berbicara.
“Lan, sini duduk!” Maya menarik tangan Lana.
“Lo tega banget sih sama gue kak?”
“Lan, coba pikirin baik-baik. Virsa itu putra ketiga Deni Mochtar, pengusaha hotel terkaya. Ngga Cuma tajir melintir, Virsa juga ganteng ngga ketulungan. Lo tahu kan berapa banyak cewek yang mendambakan seorang Virsa di luar sana? Jadi gue kasih lo kesempatan emas ini. kapan lagi coba lo bisa dapetin cowok dengan golden ticket kaya dia?”
“Tapi gue ngga pengen jadi istrinya si pemilik golden ticket.” Bantah Lana masih saja kesal. “Gue ngga nyangka lo bisa nilai gue serendah itu, Kak. Lo kira gue cewek matre yang cuma nilai orang dari duitnya aja?”
“Bukan gitu, Lan. Aaaargh!” Maya jadi kian frustasi. “Iya lo bener dan gue salah. Gue manfaatin elo buat ngedapetin Virsa. Lo tahu kenapa? Dalam semalem aja, kita kehilangan delapan puluh persen klien cewek kita gara-gara testimoni Dini sialan itu. kalau berita ini sampai menyebar, ngga Cuma ngga bisa ngasih duit beli tempat tidur bayi buat Anton aja, tapi juga ngga bakalan bisa lagi ngasih gaji buat kalian semua. MWA yang gua bangun dengan keringat dan air mata bakalan gulung tikar. Puas lo?!”
Lana menghembuskan nafas kasar. Ia baru menyadari bahwa apa yang Maya katakan ada benarnya. Ia dan teman-temannya terancam jadi pengangguran kalau MWA sampai bangkrut. Lalu bagaimana ia harus membayar biaya sewa rumah dan pengobatan ibunya, juga biaya kuliahnya?
Lana mulai menghentak-hentakkan kakinya ke tanah karena kesal. “Kenapa mesti gue sih kak?”
“Karena elo yang paling memenuhi semua kriteria dan elo satu-satunya tim inti MWA yang masih single.” Maya nyengir sambil mempertontonkan deretan giginya yang berkilau setelah perawatan.
Lana kembali teringat betapa Virsa kesulitan untuk turun dari mobil dan berjalan sendiri, mengembalikan gelas ke atas meja, juga mengenali orang di sekitarnya gara-gara kebutaannya. Ia tidak tahu bahwa Tuhan akan menghukumnya dengan cara lain yang lebih menyakitkan seperti itu. Kalau saja ayahnya mau mendengar nasihatnya dan mau berhenti mabuk-mabukan, mungkin malam itu ia tidak akan menabrak Virsa sampai buta, juga tidak akan meninggalkannya dan ibunya untuk selamanya.
“Lan, lo kenapa?” Maya mulai khawatir ketika melihat juniornya itu menitikkan air mata. “Kalau lo ngga mau, ngga papa. Gue bakal temuin Virsa sekarang dan bilang kalau lo nolak dia. Gimana?”
Bukannya menjawab tawaran Maya dengan penuh semangat, Lana justru bangkit dari duduknya dan perlahan berjalan meninggalkan Maya.
*****************
Sore itu, Lana menjemput ibunya di rumah makan tempat ibunya bekerja. Ia membawakan martabak telor kesukaan ibunya. Bu Rida sangat senang melihat Lana pulang lebih awal hari itu. tapi ia juga cemas melihat raut wajah Lana yang tidak seceria biasanya.
“Buruan dimakan martabaknya, Bu! keburu dingin.” Pinta Lana setelah mereka tiba di rumah.
Bu Rida langsung membuka dan memakan martabak yang dibawa Lana dengan lahap. Ia juga membawakan Lana udang telor asin yang biasa dijual di rumah makan tempatnya bekerja.
“Bu, apa yang harus Lana lakuin sama orang yang ayah tabrak, Bu?”
“Apa kamu bertemu dengan orang itu? Bagaimana keadaannya? Apa mereka menuntut kamu?”
Lana menggeleng. “Dia ngga tahu kalau Lana anak Bapak. Jadi dia ngga nuntut apa-apa. Tapi Lana merasa bersalah, Bu. Gara-gara Bapak, orang itu jadi cacat.”
“Itu bukan salah kamu, Lan. Itu adalah murni kecelakaan yang ngga disengaja.”
Lana memeluk ibunya dan menumpahkan tangisnya disana.
“Jangan sekali-kali berfikir bahwa itu adalah salah kamu, apalagi bertanggung jawab atas apa yang tidak kamu lakukan! Ngerti?”
Lana mengangguk. Tapi toh ia akan tetap segera jadi pengangguran meskipun tidak menanggung beban kesalahan ayahnya.
*****************
Malam tiba dan Lana belum juga bisa tidur. Pikirannya mengembara kemana-mana sehingga ia tidak bisa segera terlelap meski sudah memejamkan mata. Akhirnya ia memilih untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah untuk menghirup udara segar dan menenangkan pikiran.
“Bu, Lana ke toko sebentar yah? Ada yang mau Lana beli.”
“Hati-hati ya, Lan. Jangan malam-malam pulangnya!”
Lana berjalan ke arah taman bermain di pinggir jalan yang berjarak sekitar tiga ratus meter dari rumahnya. Taman itu sudah sepi jadi ia bisa duduk berlama-mama disana.
Tidak jauh dari tempatnya duduk, Lana melihat seorang pria turun dari mobilnya, lalu berjalan dengan tongkatnya menuju ke arahnya, berlawanan dengan arah keramaian jalan. Tapi pria itu mengambil jalan yang salah. Ia hampir melewati selokan, dan bukannya jalan yang ada jembatan kecilnya.
Lana buru-buru berlari menghampirinya. Tapi belum sempat Lana menghampirinya, seorang pemuda mengendarai scuter listrik berjalan kearahnya dengan kecepatan tinggi dan nyaris menabraknya. Jika dibiarkan, pria itu pasti akan jatuh ke dalam selokan.
Tapi untungnya pria itu memiliki refleks yang sangat baik, jadi ia berhasil menghindar ke arah yang berlawanan dengan selokan meskipun akhirnya jatuh tersungkur di jalan dan kehilangan tongkatnya.
Lana segera mengambil tongkat dan menghampiri pria itu.
“Anda ngga papa?” tanya Lana.
Lalu dari arah lain, sebuah sepeda melaju kencang dan hampir menabraknya dan Virsa yang sedang terduduk di lantai jalanan. Dengan sigap Lana menarik tubuh pria itu ke arahnya dan keduanya kembali terjatuh ke tanah. Tubuh Virsa menindih tubuh Lana dan keduanya tengah terbaring berhadapan.
“Anda ngga papa?” tanya Lana lagi
Mendengar suara yang tidak asing baginya membuat Virsa buru-buru bangun dan mencari-cari tongkatnya dengan tergesa-gesa. Padahal tongkat itu ada di dekatnya, tapi Virsa dengan panik dan sembarangan meraba kesana kemari dan hampir putus asa karena tak kunjung menemukan tongkatnya.
Lana menyerahkan tongkat itu ke tangan Virsa lalu menggenggamnya. “Ngga papa, semuanya baik-baik saja sekarang.”
Lana bahkan tanpa sadar memeluk dan menepuk punggung Virsa perlahan-lahan.
Tak lama kemudian, Rizal datang dengan membawa kantong belanja minimarket. “Tuan ngga papa?”
Virsa buru-buru mendorong tubuh Lana menjauh, berusaha bangkit, lalu dengan bantuan Rizal berjalan kembali ke dalam mobilnya.
“Terima kasih, Non.” Ujar Rizal sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan Lana.
“Apa yang udah lo lakuin Lan?” tanya Lana pada dirinya sendiri.
**********************
“Pagi Lana!!!” sapa Tantri dengan penuh ceria seperti biasanya. “Kok lo lesu gitu sih? Ada apa?”
“Ah, ngga. Ngga papa, kok. Ngantuk aja karena ngga bisa tidur semalaman.” Kilah Lana. “Kak Mai belum datang?”
“Sudah. Lagi ada di ruangannya nungguin elo.”
“Hah?! Nungguin gue? Ada apa?” tanya Lana balik.
“Mana gue tahu? Mending lo langsung masuk aja deh... biar kita dapet bocoran gosip terbaru lagi pagi ini. biar tambah semangat gitu.. hehe..”
“Apaan sih, Kak?” Lana berjalan malas menuju ruangan bosnya itu.
“Lo nungguin gue, Kak?” tanya Lana setelah mengetuk pintu dan membukanya.
“Hai, Lana sayang!” sambut Maya sambil memeluk Lana. “Congrats, ya dear! Lo lolos tahap seleksi. Week end ini lo bakalan resmi jadi nyonya Virsanta Mochtar.”
Lana menatap Maya tajam dan Maya hanya mampu menghadiahinya cengiran paling indah dan memalukan.
Maya mengangguk-angguk, “Pak Rizal, barusan hubungin gue dan bilang kalau Tuannya sudah mempertimbangkan soal Lana dan berniat memberi lo kesempatan untuk jadi istrinya.”
“Ngasih gue kesempatan? Ngga salah?! Gue ngga pernah minta kesempatan apapun sama mereka. Dan buat gue pernikahan itu bukan kartu kesempatan yang bisa lo pakai berulang kali dan kapan saja lo mau kaya permainan monopoli. Ngerti ngga?!”
“Iya, gue ngerti. Tapi gue ngga yakin dia bisa ngerti atau ngga.” Jawab Maya ragu.
“Kak Mai!!!!!!!!”
****************************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments