Hari pertama ospek.
Arindi memarkirkan Mini Cooper S - nya di tempat parkir. Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi ia dan Nadine sudah sampai dikampus lebih dulu dengan alasan agar bisa mencari tempat parkir strategis yang tidak terlalu jauh dari ruangan auditorium kampus.
Hari ini akan dilaksanakan pengenalan pimpinan kampus dan pengenalan organisasi kemahasiswaan kampus di ruang auditorium kepada semua mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru Arindi dan sahabatnya diwajibkan mengikuti kegiatan ini, meskipun ia tidak menyukai kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.
Arindi melihat ada parkiran kosong di bagian timur gedung, ia pun memarkirkan mobilnya disana. Ia dan Nadine bersiap-siap sebelum turun. Arindi merapikan kemeja putihnya, memeriksa setiap kancing bajunya dan merapatkan almamaternya. Sedangkan Nadine terlihat gelisah melihat area parkir yang masih kosong.
"Kenapa Nad? Elu kok bingung gitu?" tanya Arindi.
"Engga, lu yakin kita parkir ditempat yang bener Rin? Bukan disana?" Nadine menunjuk pada lahan parkir yang ada di ujung belakang auditorium dimana terlihat sudah ada dua buah mobil sedang terparkir.
"Ah tenang aja Nad, disini aja enak, lagian deket ke pintu masuk juga kan? Yuk lah turun."
Belum selesai Arindi berkata, tiba-tiba sebuah motor sport berwarna merah parkir di samping mobilnya, tepat di samping pintu mobil tempat Arindi duduk sehingga ia tidak bisa membuka pintu mobilnya. Arindi terkejut, ia pun menurunkan kaca mobilnya.
"Woiii... Mata lo buat pajangan doang ya? Ga liat disini ada mobil?" Arindi berteriak.
Arindi bukanlah orang yang bisa menahan emosi. Tentu saja ia akan mengeluarkan kata kasar disituasi seperti ini, meskipun ia tak tahu siapa lawan bicaranya. Dibelakang Arindi, Nadine yang sangat mengerti sifat sahabatnya ini berusaha mencegah Arindi menjadi lebih emosi, ia berusaha menutup mulut Arindi dengan tangannya.
"Pa an sih Nad, mentang-mentang kita maba, bukan berarti harus diinjek-injek juga kan." Arindi melepaskan tangan Nadine, matanya masih melotot ke arah pemilik motor.
"Udah deh Rin, udah lah. Di liat orang malu."
Arindi kembali meneriaki si pemilik motor yang dengan santainya turun dari atas motornya dan berjalan menjauhi mobilnya tanpa melepas helm nya. Sementara Nadine masih mencegah Arindi marah-marah.
Melihat kelakuan tak acuh si pemilik motor, Arindi pun menutup kaca mobilnya, ia melepas sabuk pengamannya. Ia berniat mendorong pintunya keras keras dan berharap motor tersebut jatuh. Tapi tiba-tiba kaca mobilnya di ketuk. Arindi yang baru akan membuka mobilnya terkejut, sang pemilik motor muncul dari samping mobilnya lalu mengetuk kaca mobilnya.
Arindi menurunkan kaca mobilnya. Sang pemilik motor membungkukkan badannya yang tinggi lalu membuka helmnya. Sebuah wajah tampan pria dengan tatapan mata dingin menatapnya dari balik helm itu sekarang, ditangannya ada sebuah papan tanda bertuliskan 'khusus parkir motor'. Pria itu mengangkatnya untuk menunjukkan pada Arindi, lalu ia berjalan memutar meletakkan papan tanda itu di depan mobil Arindi.
Dari dalam mobil, Arindi dan Nadine tampak terdiam saat sang pria meletakkan papan tanda didepan mobilnya. Arindi kaget, Nadine menelan ludahnya.
"Jadi ini tuh parkiran motor? Kenapa ga bilang aja sih? Pake sok keren segala," batin Arindi.
"Mati kita Rin. Rin rin...." Nadine menggoyangkan pundak Arindi yang hanya bengong.
"Ah Nad, itu maksudnya kita parkir di area yang salah ya?" Arindi masih mencoba mencerna situasi.
"Menurut loh? Ah sudah lah Rin, ayo mundur aja, parkir kesana aja."
Arindi pun menghidupkan mesin mobilnya, perlahan ia memundurkan mobil. Matanya masih tertuju pada pria itu.
"Gaya banget sih lu, sama sama maba juga pake sok sokan depan gue, gue ingetin ya muka lu." Begitulah yang dipikirkan Arindi, sifatnya yang gampang emosi membuatnya mudah menyimpulkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya.
...----------------...
"Nad lu dah telpon Vivi sama Rasya dimana? Bilang ke mereka kita udah jalan ke pintu masuk," tanya Arindi.
"Tadi sih gue dah kirim pesan, ntar gue telpon dulu, lu duluan gih kesana, ntar gue nyusul," jawab Nadine.
"Ya udah buruan, gue tunggu di pintu masuk ya." Arindi pun berjalan menuju pintu besar auditorium. Para mahasiswa mulai ramai berdatangan. Beberapa orang yang memakai baju seperti yang Arindi kenakan menunjukkan bahwa mereka mahasiswa baru.
Arindi pun berdiri di salah satu tiang penyangga besar di koridor auditorium. Ia memeriksa ponselnya, memeriksa mungkin ada pesan masuk dari sahabatnya. Tak lama ia mendengar suara panggilan dari microphone di dalam auditorium yang menunjukkan bahwa acara akan segera dimulai, orang-orang yang tadi masih berdiri di luar bergegas menuju pintu masuk. Arindi mulai gelisah, ia memanjangkan lehernya ke kanan kiri berharap melihat sosok yang ia kenal.
"Lo ga denger panggilan dari dalem?" Suara seorang pria tiba-tiba terdengar di belakang Arindi. Arindi menoleh dan nendapati bahwa pemilik suara adalah pria di parkiran tadi.
"Dia lagi. Elo lagi, gue punya utang ya ke lo? Mau gue denger apa ga, masalah banget ya buat lo? Apa gue salah juga berdiri disini. Owh apa disini ada tanda peringatan dilarang berdiri?"
Arindi mulai memutar badannya mencari sesuatu seperti papan tanda yang membuatnya bermasalah jika berdiri disana. Ia pun menatap kesal pada pria didepannya tapi ekspresi pria itu tetap datar memandang padanya.
"Owh mungkin lo mau gue minta maaf gitu? Mimpi aja sono," jelas Arindi ketus.
"Tristan, lu masih disini?" Seorang pria datang mendekati pria yang ada di depan Arindi dan memanggilnya dengan nama Tristan.
"Joe, baru mau masuk," jawab Tristan.
Pria lain itu, bernama Joe, ia tak menghiraukan jawaban Tristan dan melihat ke Arindi.
"Yah temennya rupanya... errrgghh," batin Arindi.
"Oh hai, mahasiswa baru ya, kenalin nama gue... eh nama kakak Jonathan, panggil aja kak Joe." Joe mengulurkan tangannya mengajak Arindi berjabat tangan. Tristan berusaha menjauhi mereka tapi buru buru Joe merangkulkan lengan kirinya ke pundak Tristan.
"Yang satu sok keren, satu lagi sok asik," batin Arindi lagi.
Arindi tak membalas uluran tangan itu, ia hanya melihat sekilas dan diam tak perduli, lalu kembali menatap ke arah lain. Melihat reaksi Arindi, Joe pun menarik tangannya dan merapikan rambutnya ke atas.
"Btw neng cantik, kenal Kak Tristan darimana?" ujar Joe kemudian
"Gue gak kenal dia kok, lagian lu sok asik banget dari tadi, ga usah sok kenal, sama sama maba juga dah sok asik."
Joe tertawa mendengar kata-kata Arindi, Tristan hanya menatap datar pada Arindi.
"Maba ? Iya emang muka kakak ini awet muda sih, tapi neng cantik, sayangnya kakak ini udah semester lima sama kaya dia nih." Joe menunjuk Tristan.
Arindi terdiam, ia meneguk ludahnya. Ia bergantian melihat Tristan dan Joe.
"Jadi mereka kakak tingkat? Ya Tuhan. Berani bener gue cari masalah ama kakak tingkat? Tolongin gue ya Tuhan." Arindi merasa malu.
"Ehm halo." Joe melambai-lambaikan tangan ke muka Arindi. Arindi baru sadar kalo ia melamun memikirkan semua perkataannya pada Tristan. Ia pun berharap seandainya bumi terbelah dan ia bisa hilang di telan bumi. Ia pun menundukkan pandangannya.
"Kaget ya, kakak bisa maklum sih, hahahaha. Owh iya kita kesini bukan karena kita maba, Kakak ini anak BEM, nah dia ini juga anak BEM," ujar Joe sambil menyikut Tristan. "Kita mau nampil disini hari ini."
"Mati gue, anak BEM? Kenapa gue pake marah marah segala sih tadi."
Arindi tak bisa berkata, ia menggigit bibir bawahnya dan mengatupkan mulutnya pertanda kalau ia merasa bersalah. Ia masih tak berani melihat kedua pria didepannya. Namun bukan berarti ia tak berani mengakui kesalahannya jika ia salah.
"Maaf." Arindi berkata pelan sambil menundukkan kepalanya.
Tristan menatap kaget, tapi ia tetap tak ingin merespon apapun. Joe jadi merasa bersalah karena permintaan maaf yang dikatakan Arindi.
"Uhm itu, ga usah minta maaf, kakak biasa kok di kira lebih muda," jawab Joe yang Pedenya selangit.
"Bukan soal itu, maaf sudah marah-marah," jelas Arindi pelan.
"Arindiii...." Tiba-tiba suara nyaring Rasya memanggil dari kejauhan, ia melambai pada Arindi. Tristan dan Joe belum membalas kata-katanya tapi Arindi buru-buru pamit pergi.
"Ah maaf kak, udah dipanggil temen," sela Arindi. Arindi pun berlari menghambur ke pelukan sahabatnya.
...----------------...
Sementara itu dibelakang.
"Arindi? Jadi itu namanya. Lucu juga. Lu boleh juga Tan liat yang bening-bening, gue pikir lu ga suka cewek," ujar Joe.
"Heh, lu ngapain kesini?" tanya Tristan merasa kesal.
"Ngapain kesini? Harusnya gue yang tanya lu gitu, gue tadi liat lu udah jalan masuk lewat samping eh terus lu tiba tiba belok kesini, udah gue panggil-panggil lu ga denger, ternyata lu kesini. Ngapain coba lu kesini."
"Gue ga denger," ujar Tristan ngeles.
"Ya iyalah kuping lu ga denger, orang mata lu liat cewek cantik, makanya udah gue bilang sekali kali pacaran kek sama cewe, gabung gitu Tan ama manusia."
"Ga jelas, ayo masuk," ajak Tristan.
"Tapi Tan, dia tadi anak mana ya? Lu ga tanya?"
"Apa urusannya sama gue?"
"Ga ada sih buat lu Tan, tapi ada buat gue, bening kaya gitu sayang lah dianggurin," canda Joe.
"Mau ngapain lu?" Mata Tristan menegang.
"Idih pake nanya, gue ini cowo, dia cewe, menurut lu apa kalo cewe sama cowo deket? Ah udah lu ga bakal ngerti, lu cukup Celyn aja cukup."
"Sialan, diem lu acara dah mulai."
Joe terkekeh menggoda temannya si Tristan.
...----------------...
Sementara itu di tempat Arindi dan sahabatnya duduk.
"Rin bukannya cowo yang depan lu tadi itu yang di parkiran tadi?" tanya Nadine.
"Bukan kok." Arindi ga ingin mengingatnya.
"Cowo? Siapa? Yang mana?" Vivian penasaran.
"Yang tinggi itu... wajahnya lumayan... lu kenal Rin?", tanya Rasya.
"Enggaaa... udah diem acara mau mulai." Arindi sangat berharap ia tak lagi bertemu dengan pria itu, tanpa dia tahu dan sadari ada yang berharap untuk menemuinya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
༄𝑓𝑠𝑝⍟🥀⃞🕊️⃝ᥴͨᏼᷛtrisak⃟K⃠👏
Arindi, lucu juga hem awas naksir
2023-07-02
1
PORREN46R
hebat ya bisa membuat sebanyak itu aku aja pas 500 kata aja dah bingung.
2023-07-01
1
kimraina
Pertemuan yg manis yg pasti sulit dilupakan 😹
2023-07-01
0