Arindi terdiam menatap bayangannya di cermin. Ia sekarang ada di toilet gedung sekretariat. Ia memandangi dirinya yang terlihat mengerikan. Rambutnya sedikit lepek, dibeberapa bagian bajunya ada sisa cat minyak yang mulai mengering, di area matanya terlihat ada lingkaran hitam.
"Gue ngapain sih disini? Gara-gara nenek lampir sialan gue jadi emosi. Arrghh... kenapa juga gue pake emosi. Sekarang gue harus apa?" batin Arindi.
Ia pun membuka tote bag nya dan menemukan blouse yang biasa dia bawa kemana-mana sebagai pakaian ganti cadangan, lalu mulai membuka tas make-up nya.
"Rambutnya bagus diapain ya?" Tiba-tiba Arindi sadar. "Eh emang harus diapain, emang mau kondangan... udah ah sekadarnya aja."
Arindi merapikan pakaiannya, ia menggulung rambutnya seadanya, memakai sedikit pelembab diwajahnya lalu mengoleskan sedikit lip tint pada bibir merahnya dan terakhir menyemprotkan parfume ke udara.
Arindi duduk menunggu di sebuah ruangan, ada beberapa orang duduk menunggu sepertinya. Arindi sempat berbasa basi dan mengetahui kalau mereka juga peserta wawancara seperti dia.
Arindi melirik arlojinya, jarum menunjukkan pukul 07.30, proses wawancara sesuai jadwal akan dimulai pukul 08.00. Arindi mulai bosan, ia pun mengeluarkan buku sketsanya, ia mulai melakukan kegiatan yang sangat disukainya, mencorat coret.
...----------------...
Sementara itu di dalam ruang sekretariat BEM.
Tristan dan beberapa temannya, Dimas dan Anggi, melakukan persiapan untuk wawancara.
"Dim, berkasnya udah lu cetak semua?" tanya Tristan.
"Udah semua, cuma gue bingung deh Tan," jawab Dimas.
" Kenapa? Ada yang salah?" Tristan bingung.
"Seinget gue kemaren jumlah pelamar udah pas 10, kok sekarang jadi 11, apa gue salah ya?"
"Elu salah liat aja mungkin, mana berkasnya." Tristan mengambil berkas dari Dimas.
"Nih, lu cek aja dulu, ini udah gue cetak ulang."
"Ok thanks. Nggi form penilaian masih ada kan?" tanya Tristan pada Anggi.
"Masih kak. Acara masih setengah jam lagi sih kak, kakak cek dulu. Sekalian Anggi izin ya kak, Anggi ada kelas pagi ini."
"Ooh ok," jawab Tristan.
Tristan duduk dimejanya. Ia membaca berkas yang tadi di beri Dimas satu persatu. Lalu ia pun terdiam saat membaca nama Arindi di salah satu CV peserta. Ia mengingat perkataan Celyn tadi yang mengatakan kalau ia melihat Arindi masuk ke gedung sekretariat.
"Beneran kesini?" batin Tristan.
"Tan lagi ngapain, belum mulai?" Suara Joe mengagetkan Tristan yang sedang membaca CV Arindi. Melihat Joe, ia langsung menumpuk berkas Arindi dengan berkas peserta lain.
"Bentar lagi, kenapa?"
"Gue aja yang wawancara ya, tadi gue liat kayanya banyak cewek-cewek yang daftar," ujar Joe.
"Engga usah, gue bisa." Tristan menolak.
"Uhm kemarin lu bilang ada bimbingan pagi," ujar Tristan.
"Iya sih, ehm ini sebagian lu yang wawancara." Tristan membagi sebagian berkas peserta pada Joe, tapi ia sudah memastikan CV Arindi tidak masuk ke bagian Joe.
...----------------...
Arindi duduk di kursi wawancara, didepannya dibalik meja Tristan duduk sambil menuliskan sesuatu di buku catatannya. Arindi duduk dengan tenang, meskipun hatinya tidak tenang, ia masih memikirkan kejadian yang sudah berlalu hampir dua tahun lalu. Ia masih merasa malu tiap kali melihat wajah itu, tapi ia harus bisa mengatasinya jika ingin mendapatkan keinginannya.
"Kalo bukan karena taruhan itu ga bakal gue kesini. Oke tenang Rin, segini doang masa ga bisa... Argggh sialan... Gue kok deg degan gini... Ok ok tenang tenang... Pertanyaan wawancara tadi udah gue baca baca dikit sih, moga aja ga jauh beda lah... Iya iya ... gue bisa...," batin Arindi.
"Kenapa belum mulai?" tanya Tristan.
"Ya?" Arindi kaget, suara Tristan yang berat dan ia tiba tiba melihat ke arahnya membuat dia berhenti bicara dalam hatinya.
"Belum mulai? Emang lu udah nanya apa?" batin Arindi.
"Perkenalan diri. Ga mau memperkenalkan diri dulu?" tatapannya tajam mulai serius pada Arindi.
"Ngomong kek yang jelas. Oh maaf. Perkenalkan nama saya Arindi Putri Kiandra. Panggil aja Arin. Saya jurusan seni semester 4, saya...."
"Itu semua tertulis di CV, saya bisa baca langsung profile kamu." Tiba-tiba Tristan menyela perkenalan diri Arindi, membuat Arindi jengkel.
"Maksudnya apa sih nih orang? Kalau semuanya jelas ngapain nanya lagi?" batin Arindi.
"Karakteristik diri kamu, mulai dari itu," ujar Tristan tegas.
"Karakteristik? Karakter? Uhm saya pekerja keras, bisa diandalkan, dan uhm.... saya selalu antusias dengan semua pekerjaan yang saya lakukan," terang Arindi.
Ikut bergabung dalam organisasi bukanlah hal yang disukai Arindi dan sahabatnya. Mereka tidak menyukai kegiatan yang menurut mereka tidak memberikan nilai yang pasti, jadi Arindi belum pernah sekalipun punya pengalaman beroganisasi. Mendengar jawaban Arindi yang sangat klise, seperti yang ia pelajari sesaat sebelum masuk ke ruang wawancara membuat Tristan tertawa mengejek.
"Kenapa dia ketawa? Gue lucu?" batin Arindi.
"Lo ga punya keyakinan, lo ga punya niat dan lo ga berminat masuk ke organisasi ini." Tristan mulai berbicara tak formal dan meninggikan nada bicaranya, dari jawaban Arindi ia bisa tahu kalau gadis ini menganggap sepele organisasi yang ia ketuai ini.
Arindi mulai tercekat, bibirnya gemetar. Ia tak pernah diperlakukan seperti ini selama hidupnya. Kemudahan dan kelancaran hidupnya selama ini tak pernah mengajarkan dia untuk bersedia menerima tekanan seperti ini. Ia menahan emosinya yang ingin segera meledak.
"*-#&£+###*""*"**" Arindi mengumpat dalam hati.
"Katakan apa alasan lo masuk organisasi ini?" Tristan berkata tegas.
Arindi sangat ingin mengeluarkan isi hatinya tapi ia akan merusak semua rencananya jika sampai ia emosi disini.
"Saya ga punya alasan masuk kesini, saya tidak pernah ikut organisasi apapun sebelumnya, saya tidak pernah ingin terlibat dalam organisasi apapun, tapi semakin tinggi pendidikan yang saya jalani semakin banyak pengalaman bersama orang orang yang berpikiran tinggi saya termotivasi untuk ikut terlibat dalam suatu kegiatan organisasi. Saya memang tak punya pengalaman organisasi tapi dengan kemampuan, keahlian yang saya miliki saya yakin bisa membuat pengalaman lain yang dapat memperluas wawasan saya kedepannya nanti. Dan dengan kemampuan saya...."
"Ok." Tristan memotong ucapannya.
Teng! Seperti ada bunyi lonceng saat Tristan berkata dan itu membuat Arindi diam lalu seketika menutup mulutnya.
"Ga banyak anak jurusan seni ikut terlibat BEM, kamu yakin kamu bisa mengatur waktu antara kegiatan kuliahmu dengan kegiatan disini?" tanya Tristan lagi.
"Saya yakin bisa. Kenapa jadi biasa lagi sih? Apa jawaban gue tadi bener? Seenaknya aja motong omongan orang. Jadi ketua gini banget sih," batin Arindi.
"Ok terima kasih. Kamu akan segera dihubungi kalau kamu lulus," ujar Tristan.
"Udah segitu aja?" ujar Arindi masih bingung.
"Apa?" Tristan seolah mendengar Arindi mengatakan sesuatu.
"Ah engga kak. Segini aja? Dia robot ya, ga punya hati banget, seenak enaknya marah, baik lagi, dingin lagi."
Arindi masih bingung dengan apa yang terjadi. Melihat Tristan yang sudah berdiri hendak beranjak dari sana ia pun mendekatinya lalu mengulurkan tangannya mengajak Tristan berjabat tangan.
"Ah kak...."
Tristan yang didekati Arindi kaget, ia tak menyangka Arindi dengan beraninya mengajaknya berjabat tangan padahal ia sendiri masih merasa tak enak sudah berbicara dengan nada tinggi pada gadis itu. Akhirnya ia pun membalas jabatan tangan Arindi.
"Terima kasih atas waktunya dan maaf kalau tadi ada kata saya yang kurang enak didenger. Besar harapan saya, saya bisa ikut terlibat dalam organisasi ini," ujar Arindi sambil tersenyum manis.
Arindi dengan lancar melafalkan kata-kata akhir wawancara yang ia pelajari sebelumnya di internet.
Tristan tak menyangka gadis itu akan tersenyum padanya. Ia tak bisa mengelak untuk tidak menatap kewajah itu, ia tak memungkiri kalau senyum itu indah, walau ia tahu kata-kata itu klise dan senyum itu mungkin terpaksa.
Arindi pun menarik tangannya, akhirnya membuat Tristan tersadar.
"Oh ya sama-sama," ujar Tristan.
"Kalau gitu, saya pamit ya kak."
Arindi berlari keluar, meninggalkan Tristan dalam kebengongan. Tristan masih bingung kenapa ia bisa terpukau dengan senyum gadis itu.
"Tan woi, lu ngapain disana?" Suara Joe membuat Tristan kaget.
"Gue ... gue baru selesai wawancara, sekarang lu."
"Lu bengong, abis liat hantu?" tanya Joe lagi.
Tristan tak menjawab. Ia hanya berlalu tak memerdulikan kata-kata Joe.
...----------------...
Arindi menghidupkan mesinnya. Ia bersiap untuk pulang ke apartemennya.
"Hari pertama lumayan juga. Huuummhh Tristan si belagu, sombong, egois lu bisa menang emang kalo soal bicara, lu bisa seenaknya kalo ngomong, tapi apa lu bisa seenaknya kalo udah gue senyumin?"
Dari keempat sahabat itu, Arindi adalah yang paling gampang emosi, tapi ia punya senyuman yang bisa menjadi lebih mematikan daripada kata-kata makian. Tak ada yang bisa menolak senyuman itu. Senyuman manis tapi beracun miliknya. Ia pun mulai meniggalkan lahan parkir kampus tapi ia tetap tak berhenti bicara sendiri.
"Gue Arindi, dan gue akan buat elu jatuh cinta ama gue, lu liat aja cowok sialan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
kimraina
Saya suka kepercayaan diri anda dek 😎
2023-07-01
0
ᴏᴋᴋʏʀᴀ ᴅʜɪᴛᴏᴍᴀ
ohh~ senyuman mematikan 😎 pepett terooosss Neng.....
2023-06-26
1
canvie
arindi, itu pemborosan nak. parfum kudu di pergelangan tangan sama leher 🥲
2023-06-25
0