Tulang Rusuk Pengganti
Kirana melepas kebayanya setelah acara akad nikah selesai. Statusnya kini telah berubah menjadi istri Tristan Pratama sekaligus ibu sambung dari Mentari. Gadis kecil berusia 5 tahun yang menjadi salah satu muridnya di sekolah tempatnya mengajar.
"Miss Nana mau nggak jadi mama Mentari," cicitan Mentari pada suatu hari ternyata terkabul 3 bulan kemudian. Atau lebih tepatnya hari ini.
Kirana tak menyangka jika oma Mentari pun diam-diam memiliki niat yang sama. Hingga dua minggu yang lalu Kirana dilamar oleh Bu Ratih untuk anaknya. Pria 32 tahun yang berstatus duda satu anak. Hatinya terlalu lemah untuk menolak. Lamaran itu pun akhirnya diterima Kirana karena Mentari yang sudah terlanjur dekat dengannya. Dan gadis kecil itu juga telah mencuri hatinya.
Kirana terperanjat saat pintu kamar tiba-tiba dibuka. Dia kembali mengancingkan kebayanya yang baru terlepas beberapa kancing.
"Kemasi barang-barangmu! Kita pulang sekarang!" Suara penuh ketegasan terdengar dari lelaki yang berdiri di pintu.
Kirana mengangguk pelan. Sorot mata Tristan berhasil membuatnya tunduk dan patuh. Dia tak sanggup membantah meski hanya dengan gerakan tubuh. Jiwa raganya telah dia serahkan pada pria itu sejak ijab qabul terucap. Kirana harus patuh pada setiap ucapan lelaki yang telah sah menjadi suaminya.
Kirana pun mengemasi barang-barangnya. Lalu mengikuti Tristan keluar dari kamar yang telah dihias selayaknya sebuah kamar pengantin.
"Loh, kalian mau ke mana?" tanya Bu Ratih melihat Kirana menyeret koper.
"Pulang ke rumah, Ma," sahut Tristan.
Bu Ratih mendesah pelan. " Apa nggak sebaiknya menginap di sini dulu?" ujar Bu Ratih kemudian.
"Nggak usah, Ma. Titip Mentari, besok Tristan jemput."
Tristan dengan sifat keras kepalanya, mamanya orang yang pertama memahami sifat yang menempel pada putranya. Bu Ratih pun hanya bisa merelakan Tristan pergi membawa Kirana. Tidak mengapa kamar pengantin yang telah dia siapkan ditinggalkan begitu saja. Mungkin Tristan butuh privacy untuk menyesuaikan diri dengan istri barunya.
Kirana berpamitan pada ibu mertuanya. Lalu menyusul Tristan yang sudah sampai di luar rumah dengan pontang panting sambil menyeret koper. Kain yang dipakai sedikit menyulitkan langkahnya. Namun Tristan seolah tidak peduli. Bahkan membiarkan Kirana memasukkan sendiri kopernya ke bagasi. Lelaki itu juga tidak protes saat Kirana memilih duduk di jok belakang. Bukan selayaknya pasangan.
Selama dalam perjalanan menuju ke rumah Tristan, mereka terperangkap dalam kebisuan. Tak ada satu pun yang membuka percakapan selama jarak tempuh tiga puluh menit. Kirana yang masih sangat canggung dengan suaminya, dan Tristan yang memang enggan mengajak istrinya bicara. Hingga mereka tiba di depan sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis di sebuah komplek perumahan.
Kirana masih termenung di tempat duduknya hingga terdengar suara bantingan pintu yang menyadarkannya. Wanita 25 tahun itu bergegas keluar dari mobil dan mengambil kopernya.
Tristan masuk ke dalam rumah setelah membuka kunci pintu. Dia membiarkan pintu terbuka. Kirana pun menyusulnya lalu menutup kembali pintu utama. Langkahnya terhenti saat suaminya naik ke lantai dua. Dia bimbang hendak ke mana. Sedangkan pemilik rumah mengabaikannya.
Dengan ragu, Kirana menyusuri anak tangga seraya menarik kopernya. Ada beberapa ruangan di lantai dua rumah itu. Kirana mencoba membuka salah satu kamar. Namun pintunya terkunci. Dia pun mencoba mencoba membuka pintu yang lain. Dan dengan mudahnya pintu ruangan itu terbuka.
"Permisi!" ucapnya sebelum masuk ke dalam kamar itu.
Kosong, tidak ada siapa pun di dalam. Lampu menyala dengan terang sehingga Hanna dapat melihat dengan jelas sebuah pigura berukuran jumbo tergantung di tembok. Foto sepasang pengantin dengan senyum bahagia mengembang. Kirana tersenyum hambar. Elita memang sangat cantik. Wajar jika Tristan sulit berpaling. Tiga tahun menduda, pria itu tidak berniat mendekati wanita lain.
Kirana membuang nafas kasar. Dia menyeret kopernya masuk setelah yakin jika itu kamar Tristan. Bagaimanapun juga statusnya kini adalah istri Tristan Pratama, tidak salah jika dia berada dalam ruangan pribadi milik suaminya.
Pintu penghubung kamar dan balkon yang terbuka menarik perhatian Kirana untuk mengintip keluar. Tristan tampak duduk termenung di atas kursi. Tatapannya menerawang seraya menghembuskan asap yang baru saja dihirup dari sebatang rokok di tangannya.
Pernikahan mereka terjadi bukan atas dasar saling mencinta. Sehingga Kirana tidak tahu harus bagaimana menyikapi suaminya yang terlihat sangat kacau di balik wajahnya yang tetap tenang.
Wanita itu beralih dari tempatnya berdiri. Dia membuka kopernya untuk mengambil baju ganti. Namun Kirana terkejut saat melihat isi kopernya. Baju-bajunya raib. Tersisa beberapa piyama satin dan baju dinas malam dengan warna-warna terang. Semua tampak masih baru.
"Kerjaan siapa ini?" gumamnya.
Dia pun mengambil sebuah piyama satin dengan berwarna cream. Juga pakaian dalam yang masih baru dan semua sesuai ukurannya. Terselip sebuah kartu ucapan di antara baju-baju itu.
'Happy unboxing. Jangan lupa pakai parfumnya biar Mas Tristan makin klepek-klepek. Ttd Nabila.
Bibir Kirana menipis setelah membaca ucapan absurd dari teman kuliahnya yang ternyata sepupu Tristan. Dia meletakkan kartu ucapan itu lalu bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tristan belum juga masuk ke kamar saat Kirana sudah selesai mandi. Perempuan itu memberanikan diri menghampiri suaminya yang masih termenung di balkon.
"Mas mau mandi? Saya siapkan air hangatnya, ya?"
Tristan melirik sekilas.Kirana yang sudah berganti pakaian dengan rambut basah yang digelung memakai handuk. Kirana tanpa penutup kepala, baru kali ini dia melihatnya. Tidak lebih cantik dari almarhum istrinya.
"Tidak perlu menyiapkan apa pun untukku. Saya sudah biasa mengurus diri saya sendiri."
Kirana tersenyum hambar. Dia tidak butuh penegasan jika Tristan memang tidak menghendaki kehadirannya dalam hidup pria itu.
"Jika bukan karena Mama dan Mentari, saya tidak mungkin menikahi kamu. Jangan berharap lebih selain hanya sebuah status. Karena Elita tidak akan pernah tergantikan oleh wanita mana pun. Termasuk kamu." Ucapan Tristan benar-benar mengiris hati.
"Saya tahu itu," sahut Kirana dengan sesak yang ditahannya.
"Kita akan tetap tinggal satu kamar. Saya tidak ingin Mentari banyak tanya. Kamu tentu tahu bagaimana harus bersikap jika sedang di depan Mentari."
"Ya." Kirana menyahut pelan.
Tristan beranjak dari kursi lalu melewati Kirana yang berdiri di pintu begitu saja.
"Jangan pernah mengubah apa pun yang ada di dalam.kamar ini. Letakkan baju-bajumu di kamar sebelah." ujar Tristan penuh penegasan.
"Baik." Hanya itu jawaban yang mampu diucapkan oleh Kirana.
Kirana memaku diri di tempatnya berdiri hingga Tristan mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dia membuang nafas seolah melepas sesak yang sejak tadi menghimpitnya. Berdua bersama Tristan memang terasa begitu menyiksa.
Kirana turun kembali ke lantai satu. Di ruang tengah tadi dia sempat melihat kipas angin. Benda yang bisa membantunya mengeringkan rambut panjangnya. Karena hairdryer yang tersimpan dalam koper ikut lenyap bersama baju-bajunya.
Kirana duduk membelakangi kipas sambil memperhatikan foto-foto yang terpajang di ruang tengah. Foto keluarga kecil Tristan. Mereka terlihat sangat bahagia pada masa itu. Perjalanan keluarga kecil mereka dari pernikahan hingga Mentari berusia dua ahun. Dan kebahagiaan itu harus sirna saat Elita mengalami kecelakaan tunggal dan merenggut nyawanya. Peristiwa naas yang tidak bisa dilupakan oleh Tristan. Terlalu sibuk bekerja dan membiarkan istrinya pulang pergi sendiri saat praktek di rumah sakit menjadikan sebuah penyesalan sepanjang hidupnya.
Rambut basahnya sudah mulai mengering dan terurai. Kirana mencepol rambutnya lalu pergi ke dapur. Sejak siang tadi, dia terlalu sibuk dengan pikirannya. Dan bahkan tidak ada satu pun yang mengingatkan dia untuk makan. Kirana pun mencari sesuatu yang bisa dimakan. Atau paling tidak bahan makanan yang bisa dimasak.
Kirana membuka salah satu kabinet. Sepertinya dia belum beruntung karena isi kabinet itu perabotan gula dan dan teman-temannya. Dia menoleh saat seseorang membuka salah satu lemari. Tristan, dia mengambil sebungkus mie instan dari dalam lemari itu. Rupanya pria itu pun kelaparan.
"B-boleh minta satu?" tanya Kirana yang dibalas dengan deheman singkat. Dia pun mengambil sebungkus mie nstan dari dalam lemari yang sama.
"Mau dibuatkan sekalian, Mas?'
"Tidak perlu."
Kirana pun terdiam mendengar penolakan kasar dari suaminya.
Tristan memanasi air di salah satu tungku. Sedangkan Kirana melakukan hal yang sama di tungku sebelahnya. Sama-sama terdiam menunggu air mendidih. Kemudian memasukkan mie instan ke dalamnya. Seperti sebuah kompetisi memasak. Keduanya beradu cepat agar bisa segera terbebas dari suasana yang sangat tidak nyaman itu. Ternyata Tristan lebih cekatan. Selang beberapa detik Kirana menyusul membawa mangkok berisi mie kuah ke meja makan.
Tristan boleh lebih cepat, tapi soal penampilan, masakan Kirana terlihat lebih menggoda. Dia menambahkan sayuran dan telur yang dia temukan di kulkas.
"Hmm …. yummy!" Kirana sengaja menggoda suaminya saat pria itu melirik mie buatannya.
Secepatnya Tristan menghabiskan mie dalam mangkoknya. Mengabaikan Kirana yang terlihat begitu menikmati tiap suapan mienya.
"Mangkoknya, Mas!" ujar Kirana saat Tristan meninggalkan mangkok kosong di meja makan.
"Besok saya bereskan sendiri!" sahut lelaki itu sambil menapaki anak tangga.
Kirana membuang nafas pelan. Mungkin Tristan sama lelahnya dengan apa yang tengah dirasakannya. Dia pun bergegas menghabiskan mienya. Kemudian mencuci mangkoknya dan juga mangkok bekas pakai Tristan.
Dan harus masuk kembali ke dalam kamar menjadi hal yang ingin dia hindari saat ini. Meski dia yakin tak akan terjadi sesuatu hal malam ini, namun tangannya terasa kaku saat hendak mendorong pintu.
Lelaki berhidung lancip itu telah naik ke atas ranjang. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan pandangan mengarah pada benda kotak di tangannya. Masih ada alasan satu lagi untuk menghindari Tristan. Membersihkan gigi di kamar mandi. Sengaja Kirana berlama-lama di sana. Sampai kakinya pegal karena terlalu lama berdiri. Kantuknya yang semakin hebat menyerangnya. Dia pun keluar dari ruangan itu. Lalu mengambil posisi tepi ranjang yang kosong. Tristan telah memasang sekat berupa guling di tengah. Dan juga satu selimut yang tergeletak di sampingnya. Lelaki itu sendiri sudah menutup bagian bawah tubuhnya dengan selimut yang berbeda.
"Selamat malam, Mas!" Ucapan Kirana diabaikan oleh Tristan.
Hingga beberapa menit kemudian, Kirana masih terjaga dengan posisi memunggungi Tristan.
"Selamat malam, Sayang." Kalimat itu terdengar lirih.
Kirana sontak menoleh. Namun apa yang dilihatnya justru membuat hatinya kembali nyeri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Eliani Elly
Baru mampir, sambil nunggu Za
2023-08-24
1
𝐵💞𝓇𝒶𝒽𝒶𝑒🎀
mampir!!
2023-08-10
2
Mey PaLit
lanjut kak
2023-06-22
2