Tristan menghentikan langkahnya lalu menoleh.
"Bukan hal penting untuk kamu ketahui," jawab lelaki itu.
Kirana mendesah pelan "Jika memang Mas Tristan sudah punya pilihan lain, kenapa bukan perempuan itu saja yang Mas nikahi?"
"Karena kamu yang diinginkan Mentari." Jawaban Tristan cukup untuk membuat Kirana mengerti jika Tristan memang mempunyai wanita lain. Dia tersenyum getir. Tanpa dia ketahui, dirinya telah masuk ke dalam hubungan orang lain. Seharusnya dia mencari tahu lebih banyak tentang Tristan. Penjelasan ibu mertuanya jika Tristan tidak pernah mempunyai hubungan spesial dengan wanita. ternyata tidak sepenuhnya benar. Lalu apa pula artinya ucapan Tristan semalam yang mengatakan jika Elita tidak akan pernah tergantikan oleh wanita mana pun. Hanya omong kosong? Atau mungkin wanita itu hanya teman kencan? Pikiran buruk kembali menghantui Kirana.
"Sampai kapan harus terus membohongi Mentari?"
"Itu urusan saya. Lakukan saja tugasmu sebagai seorang ibu. Bukankah itu yang menjadi alasan kamu menerima lamaran Mama?"
Lidah Kirana kelu seketika. Pernikahan macam apa yang akan mereka jalani selanjutnya? Ternyata keadaannya jauh lebih rumit dari yang Kirana sangka. Tidak hanya membangun mahligai tanpa cinta. Namun juga di atas luka seorang wanita. Kirana merasa menjadi orang jahat yang menghancurkan harapan wanita lain.
"Saya minta maaf. Jika tahu lebih awal, tentu saja saya akan menolak pernikahan ini. Tapi sekarang, ikrar itu sudah terucap. Saya istri kamu. Sah di mata hukum agama dan negara. Saya tidak peduli sejauh mana hubungan kalian. Tolong akhiri. Saya bisa mengerti jika Mas belum bisa menerima pernikahan ini sepenuhnya. Tapi tidak dengan adanya perempuan lain di antara kita."
Sudut bibir Tristan terangkat. "Memangnya apa yang kamu harapkan? Tumbuhnya cinta seiring berjalannya waktu? Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu!" tegas Tristan.
"Lalu Mas pikir bagaimana kita akan bertahan untuk membuat Mentari bahagia? Terus berpura-pura seolah-,olah kita bahagia padahal sedang menyiksa perasaan sendiri?" balas Kirana tak kalah tegas.
"Apa pun akan saya lakukan untuk Mentari. Dan saya tidak akan memaksamu untuk bertahan jika kamu memang sudah tidak sanggup."
Kirana kehabisan kata untuk membantah. ******* kasar pun lolos dari organ penciumannya. Kirana menatap kosong punggung Tristan yang tengah menaiki tangga. Tembok itu terlalu kokoh untuk diruntuhkan.
Kirana memijat kepalanya yang mendadak berdenyut. Beban yang menimpanya terlampau berat untuk ditopangnya. Dia berjalan dengan tubuh gemetar ke kamar Mentari. Membaringkan diri di samping gadis kecilnya yang terlelap.
Wajah Mentari seperti jelmaan mamanya. Hidung runcing, mata bulat dengan alis tebal dan rapi. Bibirnya tipis kemerahan. Hanya rambut yang berbeda. Rambut Elita sedikit gelombang, sedang Mentari lurus dan lebat menurun dari ayahnya. Kirana menyingkirkan helaian rambut yang menutup wajah cantik Mentari.
"Mentari ingin punya mama. Mentari mau dijemput Mama seperti teman-teman. Bukan dijemput Pak Cip."
Kirana masih mengingat jelas awal pertemuannya dengan Mentari. Hari pertama dia mengajar sebagai guru baru di sebuah sekolah Taman Kanak-Kanak. Kirana menemukan Mentari duduk di sebuah bangku taman. Terisak sambil mengusap air matanya. Hampir semua murid sudah pulang. Hanya tinggal beberapa murid yang belum termasuk Mentari. Hingga semua murid sudah dijemput, Mentari masih tertinggal di sekolah ditemani oleh Kirana. Kirana pun mencari tahu nomor kontak orang tua Mentari. Ternyata nomor omanya yang diberikan oleh salah satu guru. Dan Mentari terlambat dijemput karena mobilnya mengalami masalah di tengah jalan. Akhirnya Kirana mengantar Mentari pulang dengan motornya. Sejak saat itu hubungan mereka pun semakin dekat.
Menikah dengan seorang duda dan harus menjadi ibu sambung tak pernah terlintas dalam pikiran Kirana. Tapi pada Mentari, rasa keibuan muncul begitu saja. Rasa ingin mencurahkan kasih sayang pada seorang anak. Kendati usianya masih terbilang muda.
Bahkan keputusannya untuk menikah tanpa pertimbangan orang tua mendapat pertentangan dari ibunya. Itu kenapa keluarga Kirana hanya datang saat akad dan langsung bertolak pulang ke kampung halamannya setelah acara selesai. Sampai saat ini pun hubungan keduanya masih dingin. Kirana belum punya nyali untuk menghubungi ibunya terlebih dulu. Dan semua dipertaruhkan demi anak kecil yang baru beberapa bulan dikenalnya.
"Bunda!" Suara serak khas bangun tidur terdengar.
"Bunda kenapa menangis?"
Kirana bahkan tidak menyadari jika sudut matanya berembun.
"Masa sih?"
"Iya. Itu mata Bunda basah."
"Oh, ini Bunda habis menguap. Ngantuk." Kirana menyeka titik bening di sudut matanya dengan ujung kerudungnya.
"Kalau ngantuk kenapa Bunda nggak tidur?"
"Nanti saja. Bunda mau masak dulu buat makan siang."
Meski kepalanya masih sedikit nyeri, Kirana beringsut turun dari ranjang kecil milik Mentari. Dia pergi ke dapur untuk menyiapkan siang. Mentari sempat mengatakan jika dia ingin makan sayur bayam dan ayam goreng.
Saat menyiapkan semua bahan masakan, ponsel di tas Kirana yang masih tergeletak di meja makan berdering. Kirana bergegas mengambil benda itu dari salam tas. Berharap jika ibunya yang meneleponnya. Rindunya sudah menggebu meski baru satu hari tidak mendengar suara sang ibu.
Dahi Kirana mengernyit melihat nama yang terpampang di layar.
"Mas Baraka?"
Dengan ragu Kirana menerima panggilan dari teman satu kampung yang juga sepanjang sekolah selalu menjadi kakak kelasnya. Karena mereka bersekolah di sekolah yang sama. Dan terpisah saat Baraka lulus dan melanjutkan pendidikan di Surabaya. Konon Kirana pernah mendengar dari salah satu temannya jika Baraka menyukainya. Namun Kirana mengabaikan karena lelaki itu memang tidak pernah mengungkapkan isi hatinya. Bahkan terkesan menjaga jarak dengan Kirana.
Sekian tahun tidak bertemu, tentu saja Kirana terkejut tiba-tiba Baraka menghubunginya. Bertanya seputar kabar seperti layaknya teman yang lama tidak bertemu. Baraka terdengar banyak berubah. Sedikit banyak bicara dan pandai membuat lawan bicaranya nyaman untuk berbincang. Sesekali Kirana tertawa di sela percakapan mereka.
"Oke deh, Mas. Nanti kapan-kapan kalau saya pulang kita bahas lebih lanjut," sahut Kirana sebelum akhirnya Baraka mengakhiri panggilannya.
Kirana bahkan belum berhenti tersenyum saat berbalik dan hendak menyimpan kembali teleponnya. Tubuhnya membeku saat mendapati Tristan sedang berdiri menjulang di depannya. Entah sejak kapan suaminya itu berada di tempatnya berdiri. Kirana terlalu asyik mengobrol dengan Baraka hingga tidak menyadarinya. Tatapan tajam Tristan memang selalu membuat Kirana bergidik.
"M-Mas ini tadi …."
"Tidak perlu menjelaskan apa pun. Saya tidak butuh penjelasan kamu." Tristan membuka kulkas yang sejak tadi tertutup tubuh Kirana untuk mengambil air dingin.
"Mas, bisa tidak kalau berbicara jangan pakai otot?"
Tristan melirik Kirana sambil meneguk air dari dalam gelas.
"Kalau Mas memang tidak bisa menganggap saya sebagai istri, anggap saya sebagai teman. Partner untuk merawat dan mendidik Mentari. Itu sudah cukup," lanjut Kirana.
"Terserah kamu."
Tak! Gelas kaca itu diletakan dengan kasar ke atas meja yang berbahan sama.
Tanpa mereka sadari, Mentari tengah memperhatikan percakapan keduanya dari sofa ruang keluarga.
"Papa sama Bunda berantem?"
"Nggak. Siapa bilang? Papa sedang bercanda sama Bunda. Ya kan, Bun?" Tristan memaksakan diri tersenyum pada Kirana.
"Ah, iya. Bercanda." Kirana membalasnya dengan senyum yang sama.
"Kok Papa ngomongnya kencang? Mentari nggak suka kalau Papa marah sama Bunda."
"Papa nggak marah, Sayang."
"Kalau nggak marah, Papa peluk Bunda, dong,"
Tristan tertegun mendengar permintaan Mentari. Permintaan konyol yang tidak mungkin dia lakukan.
"Peluknya nanti saja, ya. Bunda belum mandi. Bau asem!" Jawaban Tristan membuat Kirana terbelalak. Lalu mendengus kesal dengan ejekan suaminya.
"Papa ke kantor lagi, ya. Sampai jumpa nanti malam Mentarinya Papa."
Mentari mengelak saat Tristan mendekat hendak mencium pipinya.
"Jangan cium, Mentari bau asem!" ujar bocah kecil itu.
Tristan pun membuang nafas kasar. Alhasil dia mencolek pipi cubby putrinya kemudian berlalu meninggalkan Mentari yang masih cemberut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Ririn Nursisminingsih
udah kirana cuein aja lama 2 bucin tuh si tristan
2023-11-26
0
Eliani Elly
sombong amat Lu Tristan
2023-08-24
0