NovelToon NovelToon

Tulang Rusuk Pengganti

1. Setelah Akad

Kirana melepas kebayanya setelah acara akad nikah selesai. Statusnya kini telah berubah menjadi istri Tristan Pratama sekaligus ibu sambung dari Mentari. Gadis kecil berusia 5 tahun yang menjadi salah satu muridnya di sekolah tempatnya mengajar.

"Miss Nana mau nggak jadi mama Mentari," cicitan Mentari pada suatu hari ternyata terkabul 3 bulan kemudian. Atau lebih tepatnya hari ini.

Kirana tak menyangka jika oma Mentari pun diam-diam memiliki niat yang sama. Hingga dua minggu yang lalu Kirana dilamar oleh Bu Ratih untuk anaknya. Pria 32 tahun yang berstatus duda satu anak. Hatinya terlalu lemah untuk menolak. Lamaran itu pun akhirnya diterima Kirana karena Mentari yang sudah terlanjur dekat dengannya. Dan gadis kecil itu juga telah mencuri hatinya.

Kirana terperanjat saat pintu kamar tiba-tiba dibuka. Dia kembali mengancingkan kebayanya yang baru terlepas beberapa kancing.

"Kemasi barang-barangmu! Kita pulang sekarang!" Suara penuh ketegasan terdengar dari lelaki yang berdiri di pintu.

Kirana mengangguk pelan. Sorot mata Tristan berhasil membuatnya tunduk dan patuh. Dia tak sanggup membantah meski hanya dengan gerakan tubuh. Jiwa raganya telah dia serahkan pada pria itu sejak ijab qabul terucap. Kirana harus patuh pada setiap ucapan lelaki yang telah sah menjadi suaminya.

Kirana pun mengemasi barang-barangnya. Lalu mengikuti Tristan keluar dari kamar yang telah dihias selayaknya sebuah kamar pengantin.

"Loh, kalian mau ke mana?" tanya Bu Ratih melihat Kirana menyeret koper.

"Pulang ke rumah, Ma," sahut Tristan.

Bu Ratih mendesah pelan. " Apa nggak sebaiknya menginap di sini dulu?" ujar Bu Ratih kemudian.

"Nggak usah, Ma. Titip Mentari, besok Tristan jemput."

Tristan dengan sifat keras kepalanya, mamanya orang yang pertama memahami sifat yang menempel pada putranya. Bu Ratih pun hanya bisa merelakan Tristan pergi membawa Kirana. Tidak mengapa kamar pengantin yang telah dia siapkan ditinggalkan begitu saja. Mungkin Tristan butuh privacy untuk menyesuaikan diri dengan istri barunya.

Kirana berpamitan pada ibu mertuanya. Lalu menyusul Tristan yang sudah sampai di luar rumah dengan pontang panting sambil menyeret koper. Kain yang dipakai sedikit menyulitkan langkahnya. Namun Tristan seolah tidak peduli. Bahkan membiarkan Kirana memasukkan sendiri kopernya ke bagasi. Lelaki itu juga tidak protes saat Kirana memilih duduk di jok belakang. Bukan selayaknya pasangan.

Selama dalam perjalanan menuju ke rumah Tristan, mereka terperangkap dalam kebisuan. Tak ada satu pun yang membuka percakapan selama jarak tempuh tiga puluh menit. Kirana yang masih sangat canggung dengan suaminya, dan Tristan yang memang enggan mengajak istrinya bicara. Hingga mereka tiba di depan sebuah rumah dua lantai bergaya minimalis di sebuah komplek perumahan.

Kirana masih termenung di tempat duduknya hingga terdengar suara bantingan pintu yang menyadarkannya. Wanita 25 tahun itu bergegas keluar dari mobil dan mengambil kopernya.

Tristan masuk ke dalam rumah setelah membuka kunci pintu. Dia membiarkan pintu terbuka. Kirana pun menyusulnya lalu menutup kembali pintu utama. Langkahnya terhenti saat suaminya naik ke lantai dua. Dia bimbang hendak ke mana. Sedangkan pemilik rumah mengabaikannya.

Dengan ragu, Kirana menyusuri anak tangga seraya menarik kopernya. Ada beberapa ruangan di lantai dua rumah itu. Kirana mencoba membuka salah satu kamar. Namun pintunya terkunci. Dia pun mencoba mencoba membuka pintu yang lain. Dan dengan mudahnya pintu ruangan itu terbuka.

"Permisi!" ucapnya sebelum masuk ke dalam kamar itu.

Kosong, tidak ada siapa pun di dalam. Lampu menyala dengan terang sehingga Hanna dapat melihat dengan jelas sebuah pigura berukuran jumbo tergantung di tembok. Foto sepasang pengantin dengan senyum bahagia mengembang. Kirana tersenyum hambar. Elita memang sangat cantik. Wajar jika Tristan sulit berpaling. Tiga tahun menduda, pria itu tidak berniat mendekati wanita lain.

Kirana membuang nafas kasar. Dia menyeret kopernya masuk setelah yakin jika itu kamar Tristan. Bagaimanapun juga statusnya kini adalah istri Tristan Pratama, tidak salah jika dia berada dalam ruangan pribadi milik suaminya.

Pintu penghubung kamar dan balkon yang terbuka menarik perhatian Kirana untuk mengintip keluar. Tristan tampak duduk termenung di atas kursi. Tatapannya menerawang seraya menghembuskan asap yang baru saja dihirup dari sebatang rokok di tangannya.

Pernikahan mereka terjadi bukan atas dasar saling mencinta. Sehingga Kirana tidak tahu harus bagaimana menyikapi suaminya yang terlihat sangat kacau di balik wajahnya yang tetap tenang.

Wanita itu beralih dari tempatnya berdiri. Dia membuka kopernya untuk mengambil baju ganti. Namun Kirana terkejut saat melihat isi kopernya. Baju-bajunya raib. Tersisa beberapa piyama satin dan baju dinas malam dengan warna-warna terang. Semua tampak masih baru.

"Kerjaan siapa ini?" gumamnya.

Dia pun mengambil sebuah piyama satin dengan berwarna cream. Juga pakaian dalam yang masih baru dan semua sesuai ukurannya. Terselip sebuah kartu ucapan di antara baju-baju itu.

'Happy unboxing. Jangan lupa pakai parfumnya biar Mas Tristan makin klepek-klepek. Ttd Nabila.

Bibir Kirana menipis setelah membaca ucapan absurd dari teman kuliahnya yang ternyata sepupu Tristan. Dia meletakkan kartu ucapan itu lalu bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tristan belum juga masuk ke kamar saat Kirana sudah selesai mandi. Perempuan itu memberanikan diri menghampiri suaminya yang masih termenung di balkon.

"Mas mau mandi? Saya siapkan air hangatnya, ya?"

Tristan melirik sekilas.Kirana yang sudah berganti pakaian dengan rambut basah yang digelung memakai handuk. Kirana tanpa penutup kepala, baru kali ini dia melihatnya. Tidak lebih cantik dari almarhum istrinya.

"Tidak perlu menyiapkan apa pun untukku. Saya sudah biasa mengurus diri saya sendiri."

Kirana tersenyum hambar. Dia tidak butuh penegasan jika Tristan memang tidak menghendaki kehadirannya dalam hidup pria itu.

"Jika bukan karena Mama dan Mentari, saya tidak mungkin menikahi kamu. Jangan berharap lebih selain hanya sebuah status. Karena Elita tidak akan pernah tergantikan oleh wanita mana pun. Termasuk kamu." Ucapan Tristan benar-benar mengiris hati.

"Saya tahu itu," sahut Kirana dengan sesak yang ditahannya.

"Kita akan tetap tinggal satu kamar. Saya tidak ingin Mentari banyak tanya. Kamu tentu tahu bagaimana harus bersikap jika sedang di depan Mentari."

"Ya." Kirana menyahut pelan.

Tristan beranjak dari kursi lalu melewati Kirana yang berdiri di pintu begitu saja.

"Jangan pernah mengubah apa pun yang ada di dalam.kamar ini. Letakkan baju-bajumu di kamar sebelah." ujar Tristan penuh penegasan.

"Baik." Hanya itu jawaban yang mampu diucapkan oleh Kirana.

Kirana memaku diri di tempatnya berdiri hingga Tristan mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dia membuang nafas seolah melepas sesak yang sejak tadi menghimpitnya. Berdua bersama Tristan memang terasa begitu menyiksa.

Kirana turun kembali ke lantai satu. Di ruang tengah tadi dia sempat melihat kipas angin. Benda yang bisa membantunya mengeringkan rambut panjangnya. Karena hairdryer yang tersimpan dalam koper ikut lenyap bersama baju-bajunya.

Kirana duduk membelakangi kipas sambil memperhatikan foto-foto yang terpajang di ruang tengah. Foto keluarga kecil Tristan. Mereka terlihat sangat bahagia pada masa itu. Perjalanan keluarga kecil mereka dari pernikahan hingga Mentari berusia dua ahun. Dan kebahagiaan itu harus sirna saat Elita mengalami kecelakaan tunggal dan merenggut nyawanya. Peristiwa naas yang tidak bisa dilupakan oleh Tristan. Terlalu sibuk bekerja dan membiarkan istrinya pulang pergi sendiri saat praktek di rumah sakit menjadikan sebuah penyesalan sepanjang hidupnya.

Rambut basahnya sudah mulai mengering dan terurai. Kirana mencepol rambutnya lalu pergi ke dapur. Sejak siang tadi, dia terlalu sibuk dengan pikirannya. Dan bahkan tidak ada satu pun yang mengingatkan dia untuk makan. Kirana pun mencari sesuatu yang bisa dimakan. Atau paling tidak bahan makanan yang bisa dimasak.

Kirana membuka salah satu kabinet. Sepertinya dia belum beruntung karena isi kabinet itu perabotan gula dan dan teman-temannya. Dia menoleh saat seseorang membuka salah satu lemari. Tristan, dia mengambil sebungkus mie instan dari dalam lemari itu. Rupanya pria itu pun kelaparan.

"B-boleh minta satu?" tanya Kirana yang dibalas dengan deheman singkat. Dia pun mengambil sebungkus mie nstan dari dalam lemari yang sama.

"Mau dibuatkan sekalian, Mas?'

"Tidak perlu."

Kirana pun terdiam mendengar penolakan kasar dari suaminya.

Tristan memanasi air di salah satu tungku. Sedangkan Kirana melakukan hal yang sama di tungku sebelahnya. Sama-sama terdiam menunggu air mendidih. Kemudian memasukkan mie instan ke dalamnya. Seperti sebuah kompetisi memasak. Keduanya beradu cepat agar bisa segera terbebas dari suasana yang sangat tidak nyaman itu. Ternyata Tristan lebih cekatan. Selang beberapa detik Kirana menyusul membawa mangkok berisi mie kuah ke meja makan.

Tristan boleh lebih cepat, tapi soal penampilan, masakan Kirana terlihat lebih menggoda. Dia menambahkan sayuran dan telur yang dia temukan di kulkas.

"Hmm …. yummy!" Kirana sengaja menggoda suaminya saat pria itu melirik mie buatannya.

Secepatnya Tristan menghabiskan mie dalam mangkoknya. Mengabaikan Kirana yang terlihat begitu menikmati tiap suapan mienya.

"Mangkoknya, Mas!" ujar Kirana saat Tristan meninggalkan mangkok kosong di meja makan.

"Besok saya bereskan sendiri!" sahut lelaki itu sambil menapaki anak tangga.

Kirana membuang nafas pelan. Mungkin Tristan sama lelahnya dengan apa yang tengah dirasakannya. Dia pun bergegas menghabiskan mienya. Kemudian mencuci mangkoknya dan juga mangkok bekas pakai Tristan.

Dan harus masuk kembali ke dalam kamar menjadi hal yang ingin dia hindari saat ini. Meski dia yakin tak akan terjadi sesuatu hal malam ini, namun tangannya terasa kaku saat hendak mendorong pintu.

Lelaki berhidung lancip itu telah naik ke atas ranjang. Duduk bersandar pada kepala ranjang dengan pandangan mengarah pada benda kotak di tangannya. Masih ada alasan satu lagi untuk menghindari Tristan. Membersihkan gigi di kamar mandi. Sengaja Kirana berlama-lama di sana. Sampai kakinya pegal karena terlalu lama berdiri. Kantuknya yang semakin hebat menyerangnya. Dia pun keluar dari ruangan itu. Lalu mengambil posisi tepi ranjang yang kosong. Tristan telah memasang sekat berupa guling di tengah. Dan juga satu selimut yang tergeletak di sampingnya. Lelaki itu sendiri sudah menutup bagian bawah tubuhnya dengan selimut yang berbeda.

"Selamat malam, Mas!" Ucapan Kirana diabaikan oleh Tristan.

Hingga beberapa menit kemudian, Kirana masih terjaga dengan posisi memunggungi Tristan.

"Selamat malam, Sayang." Kalimat itu terdengar lirih.

Kirana sontak menoleh. Namun apa yang dilihatnya justru membuat hatinya kembali nyeri.

2. Menjemput Mentari

Kirana terbangun saat mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kamar itu masih begitu asing baginya. Juga keberadaan seorang pria dalam satu ranjang. Ucapan selamat malam Tristan yang ditujukan entah untuk siapa saat pria itu akan memejamkan mata semakin membuat pikirannya berkelana tak tentu arah. Sapaan sayang tentu bukan disematkan pada sembarang orang. Hanya orang spesial yang pantas mendapatkannya. Kirana mencoba menerka-nerka hingga kantuknya datang dengan sendirinya. Bahkan saat matanya terbuka pun pikiran itu kembali mengganggunya. Mentari? Kirana mencoba berpikir positif jika panggilan sayang itu ditujukan untuk Mentari. Kirana mendengar Tristan memanggil putrinya dengan sebutan sayang.

Kirana mencoba membangunkan Tristan yang masih terlihat sangat lelap. Namun beberapa kali dia memanggil nama suaminya itu tak kunjung membuka mata.

"Mas, bangun sudah subuh!" Kirana mengulang sekali lagi dan hanya dibalas deheman seperti orang mengigau oleh Tristan.

Wanita itu pun mengambil scrunchie di atas nakas untuk mengikat rambutnya. Kemudian menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang. Membiarkan Tristan yang sepertinya masih enggan membuka mata.

Meski Tristan sudah menegaskan jika status mereka hanya suami istri diatas kertas, namun Kirana tetap menjalankan perannya sebagaimana layaknya seorang istri dan juga seorang ibu bagi anak sambungnya. Selepas sholat subuh, dia berusaha membangunkan kembali suaminya. Namun justru gerutuan yang dia terima. Tristan tetap tak beranjak dari tempat tidur. Demi menghindari pertengkaran, Kirana pun akhirnya keluar dari kamar. Dia turun ke dapur untuk memasak sarapan pagi untuk mereka berdua.

Sayuran terakhir yang ada di dalam lemari pendingin sudah dimasaknya tadi malam. Tidak ada apapun di dalam sana selain telur dan beberapa olahan daging di freezer. Kirana pun memasak nasi. Satu-satunya ide masakan yang terlintas adalah nasi goreng. Dengan menambahkan sosis atau kornet. Entah Tristan akan menyukainya atau tidak.

Sembari menunggu nasi matang, Kirana membersihkan rumah. Karena menurut ibu mertuanya, Tristan tidak mempekerjakan ART. Hanya tiga hari sekali Bi Elis, asisten rumah tangga di rumah utama datang untuk membersihkan rumah itu.

"Jangan sentuh!" Suara yang cukup kencang itu mengagetkan Kirana. Dia menoleh menatap Tristan yang berdiri di ujung tangga dengan bibir bergetar.

"S-saya hanya mau membersihkannya," jawab Kirana seraya meletakkan kembali pigura foto Elita yang terlihat begitu cantik dengan jas putihnya.

"Besok Bi Elis yang akan membersihkan rumah," ujar Tristan dengan wajah yang dingin.

Kirana pun mengembalikan semua alat pembersih rumah ke tempatnya. Dia tidak ingin memyulut kemarahan suaminya. Tristan sangat sensitif jika sudah berkaitan dengan almarhum istri pertamanya.

"Mau kopi, Mas? Saya buatkan, ya?" tanya Kirana melihat Tristan mengambil cangkir kemudian membuka salah satu kabinet.

"Tidak perlu."

"Tidak apa, Mas. Saya bisa kok kalau cuma buat kopi." Kirana sedikit memaksa mengambil cangkir dari tangan Tristan. Dan dia berhasil karena suaminya itu menyerahkan begitu saja cangkir yang dipegangnya.

Kirana membuat kopi sesuai takaran yang diberitahu oleh ibu mertuanya. Beberapa hal mengenai Tristan memang sudah diketahui. Tentang watak dan beberapa kebiasaannya. Dan secangkir kopi yang baru saja diseduh, diletakkan Kirana di atas meja makan. Karena Tristan menghilang dari dapur dan entah ke mana.

Kirana melangitkan harapan jika pagi ini akan menjadi awal yang baik untuk rumah tangga yang baru hitungan jam dia lewati. Dengan senyum merekah, Kirana memasukkan bumbu nasi goreng yang baru saja dibuatnya ke dalam minyak panas. Kemudian masukkan nasi dan mengaduknya hingga tercampur bumbu dengan rata.

Dua piring nasi goreng dengan tambahan telur dan juga sosis disiapkan Kirana di meja makan juga. Bersamaan bunyi langkah kaki menuruni tangga.

"Mas mau ke mana?" tanya Kirana saat melihat Tristan menuruni tangga.

"Bukan urusanmu," sahut Tristan ketus sembari mengenakan arlojinya.

Kirana pun mendesah kasar. "Kita sarapan dulu, Mas. Saya masak nasi goreng. Saya tidak tahu Mas suka atau tidak."

"Tidak perlu repot-repot memasak untuk saya."

"Saya tidak merasa repot." Kirana menarik kursi untuk Tristan. Namun pria itu terus melangkah melewati meja makan.

"Mas!" Panggilan Kirana pun tidak dihiraukan. Wanita itu tersenyum getir menatap dua piring nasi goreng dan kopi dalam.cangkir yang mungkin sudah dingin. Meski hatinya nelangsa, namun Kirana tidak terlalu ambil pusing. Dia bukan tipe perempuan yang melow dan gampang berurai air mata. Kirana perempuan yang meski hatinya sakit, senyum lebar pun masih bisa dia tampilkan.

"Mas!" Kirana tergopoh-gopoh menyusul suaminya yang sudah mencapai pintu keluar.

"Mentari tadi telfon. Dia nanti minta dijemput. Mas kan sudah janji mau jemput dia," ujarnya kemudian karena Tristan tetap tidak menghiraukannya.

"Kamu saja yang jemput. Saya banyak urusan hari ini," jawab Tristan sambil menarik gagang pintu.

Beberapa saat kemudian, bunyi deru mobil terdengar meninggalkan garasi. Kirana kembali menghela nafas kasar. Meski kecewa karena merasa tidak dihargai, Kirana kembali ke meja makan dan menikmati sarapannya sendiri. Bukan hal yang aneh juga karena setiap hari pun dia selalu makan sendiri sewaktu tinggal di kost.

Menyerah? Tentu saja tidak. Perjalanan rumah tangganya baru saja dimulai. Masih banyak waktu untuk membenahi semua. Menata hati masing-masing agar siap menerima satu sama lain. Meski cinta mungkin saja belum tumbuh di antara keduanya. Kirana yakin suatu saat rasa itu akan datang dengan sendirinya. Seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Kirana. Semoga saja ungkapan itu akan berlaku untuknya dan Tristan. Meski tembok tinggi telah dibangun oleh pria itu, Kirana terlalu yakin jika dia akan bisa meruntuhkannya.

Bunyi ponsel membuat Kirana terkesiap. Panggilan dari Mentari menggunakan ponsel omanya. Pagi buta tadi Mentari sudah minta dijemput. Rupanya anak itu sudah tidak sabar hingga kembali menelepon dan meminta untuk segera dijemput dari rumah omanya.

Satu-satunya kendaraan roda dua yang dia punya masih di tinggal di tempat kost. Sehingga Kirana memesan taksi online untuk menjemput Mentari. Meski ada satu kendaraan lagi yang terparkir di garasi. Motor sport yang tentu saja milik Tristan. Jangankan memakainya, menyentuhnya saja Kirana tidak berani. Untuk sementara waktu, dia harus sedikit menjaga sikap. Mungkin itu lebih baik daripada menambah masalah dengan Tristan.

Taksi yang ditumpangi Kirana berhenti di depan sebuah rumah bercat putih yang baru sore kemarin dia tinggalkan. Tampak sepi karena hanya berpenghuni seorang pemilik rumah, seorang ART dan seorang sopir. Kirana membuka pintu pagar yang tidak terkunci. Salam dia ucapkan untuk penghuni rumah. Bu Ratih membuka pintu dan menyambut hangat menantu barunya.

"Tristan mana?"

"Mas Tristan … kerja, Ma," sahut Kirana memberi alasan. Sebab tadi dia melihat suaminya mengenakan pakaian formal dan menenteng sebuah tas. Bisa dipastikan kalau Tristan akan berangkat ke kantor.

Bu Ratih membuang nafas kasar. Menatap sendu pada menantunya. Dia pikir Tristan akan mengambil cuti barang sehari atau dua hari. Ternyata sama sekali tidak. Dia pun menyuruh Kirana masuk ke dalam.

Kirana sudah beberapa kali berkunjung ke rumah itu, sehingga dia sudah tidak merasa canggung lagi untuk masuk menerobos menuju ruang keluarga beriringan dengan Bu Ratih.

"Kamu sudah sarapan, Wi?" Bu Ratih memang lebih suka memanggil Kirana dengan nama belakang Kirana Dewi.

"Sudah Ma," sahut Kirana sambil mendekat ke arah Mentari yang sedang sibuk bermain dengan koleksi bonekanya.

"Bunda!" Mentari yang baru menyadari kedatangan Kirana menghambur memeluk ibu sambungnya. Lagi, anak itu pun menanyakan keberadaan ayahnya. Kirana mencoba memberi pengertian saat Mentari mulai cemburu karena ayahnya urung menjemputnya. Dengan iming-iming mengajak jalan-jalan, akhirnya Mentari luluh. Dia pun kembali sibuk bermain.

Kirana bercengkrama dengan ibu mertuanya sembari menunggu Mentari bermain.

"Mama harap dengan sangat, bersabarlah menghadapi menghadapi Tristan." Permohonan yang sama dengan saat Bu Ratih melamar Kirana.

Senyum tipis mengembang di bibir Kirana.

"Iya, Ma. Saya tahu resiko yang akan saya ambil ketika menerima lamaran Mama."

Bu Ratih mengusap tangan menantunya dengan lembut.

"Sekali lagi terima kasih. Sudah menyayangi Mentari dengan tulus. Ingat Wi, Mama akan berada di pihak kamu jika Tristan menyakitimu."

Kirana mengangguk lembut. "Terima kasih, Ma. Saya yakin Mas Tristan orang baik. Hanya butuh waktu untuk saling menerima satu sama lain."

Bu Ratih melengkungkan bibirnya. Tidak salah dia memilih Kirana untuk menjadi menantunya. Sejak pertama bertemu saat dia menjemput Mentari, dia mampu membaca ketulusan dalam diri Kirana. Yang memperlakukan setiap murid di sekolah dengan penuh kasih. Terlebih pada Mentari. Setiap jam belajar usai, Kirana selalu menemani anak itu hingga dijemput. Banyak cerita tentang Kirana yang Bu Ratih dapatkan dari Mentari. Hingga akhirnya menyampaikan keinginan agar putranya menikah lagi. Bu Ratih pun tahu jika Tristan menikahi Kirana hanya demi Mentari.

"Ma, boleh minta nomor Mas Tristan?"

Dahi Bu Ratih mengernyit. "Kalian belum bertukar nomor kontak?"

Kirana tersenyum kikuk. "Tadi saya lupa minta nomor Mas Tristan. Saya mau ijin belanja sepulang dari sini."

Bu Ratih pun memberikan nomor kontak Tristan. Dan juga memberitahu panjang lebar tentang makanan kesukaan Tristan.Kata orang, masakan yang cocok di lidah bisa meluluhkan hati seseorang. Entah benar atau tidak, tidak ada salahnya dicoba. Dan beberapa list belanja kebutuhan dapur pun tersimpan dalam.memori otak Kirana.

Kirana mengirim pesan pada suaminya jika dia akan mengajak Mentari berbelanja. Pesan itu hanya diabaikan bahkan tidak dibaca. Atau mungkin Tristan yang sedang sibuk. Namun setidaknya dia sudah memberitahu.

Dengan diantar oleh Pak Cip, sopir keluarga itu Kirana dan Mentari pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Bukan main girangnya hati Mentari saat Kirana menggandeng tangannya masuk ke dalam mall. Kegembiraan anak itu tidak bisa disembunyikan karena akhirnya dia bisa merasakan pergi bersama bundanya seperti teman-temannya. Bukan lagi Mentari yang tidak punya mama seperti yang selama ini sering menjadi bahan rundungan teman-temannya. Bibir Kirana pun melengkung melihat senyum di wajah Mentari. Sesekali dia menimpali celotehan anak sambungnya.

Sejurus kemudian senyum Kirana pudar saat lensa mata Kirana menangkap dua sosok yang sedang duduk di coffee shop. Lidahnya kelu seketika saat melihat Tristan dan ….

3. Siapa Wanita itu

Sejenak langkah Kirana terpaku. Hanya beberapa detik tatapannya nyaris bersiborok dengan suaminya. Kirana cepat-cepat membuang muka dan melebarkan langkahnya. Menggandeng Mentari menjauh dari tempat itu.

"Agak cepat ya, Sayang."

Langkah kecil itu pun terbirit-birit mengikuti langkah Kirana.

Mentari tidak boleh melihat jika ayahnya tengah bersama wanita lain. Wanita berparas cantik dengan setelan blus dan rok tengah duduk dalam satu sofa dengan Tristan. Begitu dekat bahkan Kirana melihat wajah mereka yang hanya berjarak beberapa inchi. Jika dikatakan rekan kerja, sepertinya tidak mungkin. Rekan kerja apa hingga harus seintim itu?

Kirana teringat kejadian semalam. Pikiran positifnya mendadak berubah. Apa mungkin Tristan mempunyai wanita lain. Atau jangan-jangan …. Kirana menggelengkan kepala. Dia tidak ingin berpikiran terlalu jauh. Tapi dengan kenyataan yang baru saja dilihatnya, nuraninya menuntut penjelasan.

"Bunda, kita nggak jadi belanja?" Ucapan Mentari membuat Kirana terperanjat. Saat ini dia justru menggandeng Mentari kembali menaiki eskalator.

"Astaghfirullah! Bunda lupa supermarketnya ada di lantai dua. Kita turun lagi, ya."

Pikiran Kirana benar-benar kacau. Jika boleh memilih, dia tidak ingin melihat pemandangan yang entah mengapa begitu menyakitkan. Apa secepat itu rasa untuk Tristan muncul? Ataukah yang dia rasakan hanya sebuah rasa memiliki? Karena sejak ijab qabul terucap, Tristan memang miliknya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut Tristan, Kirana berhak atasnya.

Kirana mengambil troli setelah masuk ke minimarket. Banyak kebutuhan yang harus dia belum karena kulkas sudah kosong. Hanya berisi makanan frozen.

Kirana mengajak Mentari mengelilingi supermarket meski isi kepalanya masih tertinggal di depan coffee shop. Dia mengambil kebutuhan dapur seingatnya. Daftar belanja yang hanya disimpan dalam memori otak telah buyar. Karena dalam pikirannya hanya ada bayangan Tristan dan wanita yang menemaninya.

"Mentari mau sayur bayam, Bunda."

"Boleh. Bantu Bunda ambil bayamnya bisa?"

Mentari mengambil satu ikat bayam dan memasukkannya ke dalam troli. Sekian menit berkutat di dalam supermarket, keranjang belanja hanya berisi seikat bayam dan bumbu dapur.

Kirana membuang nafas kasar. Mengenyahkan pikiran buruk yang membebaninya. Dia pun kembali fokus untuk mengingat daftar kebutuhan rumah yang telah habis. Beberapa jenis sayur dia masukkan ke dalam keranjang. Ikan, telur dan juga daging. Dia sengaja belanja untuk stok selama seminggu.

Rengekan Mentari terdengar saat mereka melewati lorong makanan ringan.

"Bunda boleh beli itu, nggak?" tanyanya sambil menunjuk bungkus snack yang berderet.

"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak, ya. Kemarin periksa kesehatan kata dokter apa?"

"Emm …. Mentari nggak boleh makan ciki, es krim sama permen."

"Jadi?"

"Emm …

Kirana hampir tidak tega melihat wajah Mentari yang dilipat. Kirana pun mengambil beberapa bungkus dan menyatukannya bersama barang belanjaan lainnya. Mentari pun terlihat girang bukan main.

"Sekarang kita ambil sabun dulu, ya."

Kirana mendorong troli menuju rak toiletries. Mengambil beberapa sabun mandi dan perlengkapan kamar mandi lainnya. Sementara Mentari sibuk memilih sabun mandi dan samponya sendiri yang bergambar tokoh fantasi idolanya.

"Mentari boleh beli shampo frozen nggak, Bunda?"

"Boleh, dong. Sama sabunnya juga. Sabun Mentari sudah mau habis."

"Parfum juga ya, Bunda."

"Iya."

Satu persatu barang masuk memenuhi troli. Kirana mengajak Mentari untuk menyudahi belanja mereka. Karena keranjang sudah penuh. Dan semua yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam keranjang. Dia mendorong troli menuju ke kasir untuk menyelesaikan transaksi.

"Totalnya satu juta lima puluh ribu tiga ratus rupiah, Ibu," ujar kasir perempuan setelah menghitung barang belanjaan Kirana.

Kirana pun mengambil dompetnya dari dalam tas.

"Pakai ini saja!"

Kirana mendongak mendengar suara bariton yang terdengar begitu dekat.

"Papa!" Mentari memekik melihat Tristan sudah berdiri di sampingnya dan sedang mengulurkan sebuah kartu pada kasir.

"Papa tadi ke mana? Kok nggak jadi jemput Mentari?"

"Maaf. Papa ada perlu, Sayang."

Mentari memajukan bibirnya. Dan Tristan serta merta menggendong gadis kecilnya yang mulai merajuk sembari melakukan transaksi di kasir.

Setelah selesai, Kirana mendorong troli berisi penuh belanjaan. Sementara Tristan berjalan di depan sambil menggendong Mentari. Kirana pun mulai berandai-andai. Jika saja pernikahan mereka diawali dengan perasaan cinta keduanya, alangkah bahagianya keluarga kecil itu.

Mentari tiba-tiba melorot dari gendongan ayahnya.

"Papa aja yang dorong keranjangnya. Kasihan Bunda capek." ujar bocah kecil itu.

"Sudah tidak apa-apa. Bunda bisa kok kalau cuma dorong troli," sahut Kirana. Namun Tristan mengambil alih troli itu tanpa banyak bicara. Kemudian mendorongnya. Berjalan bersisian dengan istri dan anaknya.

Saat melewati gerai es krim yang terlihat begitu ramai, langkah Mentari berhenti.

"Pa, boleh beli es krim, nggak?" Mentari sepertinya lupa dengan nasehat dokter yang tadi bahkan dengan hafal dia sebutkan.

"Boleh," sahut Tristan.

Mentari pun bersorak. Dia berlari masuk ke dalam gerai es krim itu. Dan memilih sendiri menu es krim kesukaannya. Tidak peduli jika antrian sangat panjang.

"Mentari, duduk aja sama Bunda. Biar Papa yang ngantri."

"Bunda mau yang rasa apa?" lanjut Tristan.

Kirana tentu saja terkejut saat pertanyaan itu ditodongkan oleh Tristan. Lebih tepatnya karena panggilan bunda untuknya. Meski tanpa senyum, namun terdengar sedikit manis. Seperti mendapat tetesan embun di padang tandus. Mungkin seperti itu gambaran perasaan Kirana saat ini.

"Sama dengan Mentari. Strawberry," sahut Kirana setelah termenung beberapa saat.

Namun jangan berharap Tristan membalas ucapan Kirana. Lelaki itu mungkin hanya menangkap melalui pendengarannya jawaban Kirana sambil berlalu untuk mengantri di belakang deretan beberapa orang yang akan membeli es krim. Sementara Kirana dan Mentari duduk menunggu di salah satu meja.

Setelah cukup lama menunggu, Tristan datang dengan tiga cup es krim. Dia mengulurkan satu persatu cup es krim itu pada Kirana dan Mentari.

"Makasih, Mas." Kirana menerima es krim itu dengan gugup. Dan Tristan diam saja dengan wajahnya yang datar.

Mungkin memang benar, kebahagiaan Mentari memang segalanya bagi Tristan. Sampai dia rela menikahi wanita yang bahkan tidak diinginkannya. Hanya demi membuat putrinya tersenyum.

Sejak tahu jika Kirana akan menikah dengan papanya, Mentari memang berubah. Anak itu terlihat lebih ceria. Tidak pernah seperti sebelumnya. Di mana dia berkecil hati saat melihat temannya dijemput oleh mama mereka. Mentari hanya duduk sendirian menatap teman-temannya sembari menunggu sopir omanya datang menjemput.

"Bunda makan es krim kayak anak kecil!' ujar Mentari sambil tertawa.

Kirana mengernyit. Mentari justru tertawa semakin kencang sambil menunjuk lelehan es krim di sudut bibir Kirana.

"Kenapa memangnya?" tanya Kirana dengan heran.

Tiba-tiba tangan Tristan terulur mengusap lelehan es krim itu. Jantung Kirana pun berdegup tak karuan. Dia menatap Tristan dengan canggung. Kedua pasang netra itu beradu sepersekian detik sebelum Tristan mengalihkan pandangan.

"Pakai tisu, Mas." Kirana mengambil tisu di dalam tasnya. Tristan menyambut kertas putih itu tanpa dan mengusap ibu jarinya yang terkena es krim.

"Bunda, kata Oma sebentar lagi Mentari mau punya adik," cicit Mentari kemudian.

"Uhuk!"

Belum selesai dengan urusan jantungnya yang berpacu sangat cepat dan badannya yang mendadak panas dingin, ucapan tidak terduga Mentari pembuat Kirana tersedak.

"Mentari, kalau lagi makan jangan banyak bicara, ya," ujar Tristan.

"Iya, Pa. Tapi benar nggak kalau Mentari mau punya adik?" Mentari memang tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapat jawaban yang memuaskan baginya.

Tristan mengiyakan dan Mentari pun kembali bersorak. Jawaban satu-satunya yang Tristan pikir akan membuat Mentari berhenti bertanya.

"Adiknya cewek apa cowok, Pa?"

Tristan terdiam mendengar pertanyaan Mentari. Hingga bocah kecil itu terus menerus bertanya.

"Mentari maunya adik cewek apa cowok?" sahut Tristan setelah lelah mengabaikan pertanyaan putrinya

"Cewek sama cowok."

"Mana bisa begitu. Nanti Bunda repot ngurusnya."

"Nanti kan ada Mbak yang bantuin, Pa. Mentari juga bisa bantu Bunda ngasih susu buat adik, kok."

"Ya ya. Sekarang habiskan es krimnya. Lalu kita pulang."

Mentari pun mengangguk. Dia menghabiskan es krim yang hanya tersisa sedikit tanpa banyak bicara lagi.

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mentari kembali berceloteh sepanjang jalan menuju ke rumah. Ada saja hal yang ditanyakan pada dua orang dewasa yang duduk di depan. Hingga lambat laun suaranya tidak terdengar lagi. Mentari terlelap di jok belakang.

Tristan mengangkat putrinya yang tertidur dan membawanya ke dalam kamar Mentari. Sedangkan Kirana menenteng kantong belanja di kedua tangannya menuju ke dapur.

Benar-benar mati gaya harus berada di rumah dengan Tristan. Kirana pun menyibukkan diri menata barang belanjaan di dapur dengan pakaiannya yang belum di ganti.

"Jangan diambil hati ucapan Mentari tadi." Suara itu mengagetkan Kirana. Telur dalam mika yang di pegangnya bahkan nyaris terjatuh.

"Ya. Saya tahu."

Sebuah kartu diangsurkan Tristam di meja dapur.

"Untuk belanja kebutuhan rumah dan kebutuhan kamu," ujarnya kemudian.

"Meskipun saya tidak menginginkan kamu untuk menjadi istri saya, saya akan tetap memberi nafkah lahir untuk kamu. Jangan pernah belanja memakai uangmu. Apalagi untuk kebutuhan anak saya."

Kirana terdiam mendengar ucapan Tristan yang lagi-lagi membuatnya tercubit.

"Sejak Mas Tristan mengucapkan ijab qabul dengan Ayah, Mentari juga menjadi anak saya, Mas," balas Kirana.

Tristan tak menyahut. Dia meninggalkan kartu yang masih tergeletak di meja bersama Kirana yang berdiri mematung di depan lemari pendingin.

"Mas!" panggil Kirana saat Tristan akan menaiki tangga.

"Siapa perempuan tadi?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!