Sejenak langkah Kirana terpaku. Hanya beberapa detik tatapannya nyaris bersiborok dengan suaminya. Kirana cepat-cepat membuang muka dan melebarkan langkahnya. Menggandeng Mentari menjauh dari tempat itu.
"Agak cepat ya, Sayang."
Langkah kecil itu pun terbirit-birit mengikuti langkah Kirana.
Mentari tidak boleh melihat jika ayahnya tengah bersama wanita lain. Wanita berparas cantik dengan setelan blus dan rok tengah duduk dalam satu sofa dengan Tristan. Begitu dekat bahkan Kirana melihat wajah mereka yang hanya berjarak beberapa inchi. Jika dikatakan rekan kerja, sepertinya tidak mungkin. Rekan kerja apa hingga harus seintim itu?
Kirana teringat kejadian semalam. Pikiran positifnya mendadak berubah. Apa mungkin Tristan mempunyai wanita lain. Atau jangan-jangan …. Kirana menggelengkan kepala. Dia tidak ingin berpikiran terlalu jauh. Tapi dengan kenyataan yang baru saja dilihatnya, nuraninya menuntut penjelasan.
"Bunda, kita nggak jadi belanja?" Ucapan Mentari membuat Kirana terperanjat. Saat ini dia justru menggandeng Mentari kembali menaiki eskalator.
"Astaghfirullah! Bunda lupa supermarketnya ada di lantai dua. Kita turun lagi, ya."
Pikiran Kirana benar-benar kacau. Jika boleh memilih, dia tidak ingin melihat pemandangan yang entah mengapa begitu menyakitkan. Apa secepat itu rasa untuk Tristan muncul? Ataukah yang dia rasakan hanya sebuah rasa memiliki? Karena sejak ijab qabul terucap, Tristan memang miliknya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut Tristan, Kirana berhak atasnya.
Kirana mengambil troli setelah masuk ke minimarket. Banyak kebutuhan yang harus dia belum karena kulkas sudah kosong. Hanya berisi makanan frozen.
Kirana mengajak Mentari mengelilingi supermarket meski isi kepalanya masih tertinggal di depan coffee shop. Dia mengambil kebutuhan dapur seingatnya. Daftar belanja yang hanya disimpan dalam memori otak telah buyar. Karena dalam pikirannya hanya ada bayangan Tristan dan wanita yang menemaninya.
"Mentari mau sayur bayam, Bunda."
"Boleh. Bantu Bunda ambil bayamnya bisa?"
Mentari mengambil satu ikat bayam dan memasukkannya ke dalam troli. Sekian menit berkutat di dalam supermarket, keranjang belanja hanya berisi seikat bayam dan bumbu dapur.
Kirana membuang nafas kasar. Mengenyahkan pikiran buruk yang membebaninya. Dia pun kembali fokus untuk mengingat daftar kebutuhan rumah yang telah habis. Beberapa jenis sayur dia masukkan ke dalam keranjang. Ikan, telur dan juga daging. Dia sengaja belanja untuk stok selama seminggu.
Rengekan Mentari terdengar saat mereka melewati lorong makanan ringan.
"Bunda boleh beli itu, nggak?" tanyanya sambil menunjuk bungkus snack yang berderet.
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak, ya. Kemarin periksa kesehatan kata dokter apa?"
"Emm …. Mentari nggak boleh makan ciki, es krim sama permen."
"Jadi?"
"Emm …
Kirana hampir tidak tega melihat wajah Mentari yang dilipat. Kirana pun mengambil beberapa bungkus dan menyatukannya bersama barang belanjaan lainnya. Mentari pun terlihat girang bukan main.
"Sekarang kita ambil sabun dulu, ya."
Kirana mendorong troli menuju rak toiletries. Mengambil beberapa sabun mandi dan perlengkapan kamar mandi lainnya. Sementara Mentari sibuk memilih sabun mandi dan samponya sendiri yang bergambar tokoh fantasi idolanya.
"Mentari boleh beli shampo frozen nggak, Bunda?"
"Boleh, dong. Sama sabunnya juga. Sabun Mentari sudah mau habis."
"Parfum juga ya, Bunda."
"Iya."
Satu persatu barang masuk memenuhi troli. Kirana mengajak Mentari untuk menyudahi belanja mereka. Karena keranjang sudah penuh. Dan semua yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam keranjang. Dia mendorong troli menuju ke kasir untuk menyelesaikan transaksi.
"Totalnya satu juta lima puluh ribu tiga ratus rupiah, Ibu," ujar kasir perempuan setelah menghitung barang belanjaan Kirana.
Kirana pun mengambil dompetnya dari dalam tas.
"Pakai ini saja!"
Kirana mendongak mendengar suara bariton yang terdengar begitu dekat.
"Papa!" Mentari memekik melihat Tristan sudah berdiri di sampingnya dan sedang mengulurkan sebuah kartu pada kasir.
"Papa tadi ke mana? Kok nggak jadi jemput Mentari?"
"Maaf. Papa ada perlu, Sayang."
Mentari memajukan bibirnya. Dan Tristan serta merta menggendong gadis kecilnya yang mulai merajuk sembari melakukan transaksi di kasir.
Setelah selesai, Kirana mendorong troli berisi penuh belanjaan. Sementara Tristan berjalan di depan sambil menggendong Mentari. Kirana pun mulai berandai-andai. Jika saja pernikahan mereka diawali dengan perasaan cinta keduanya, alangkah bahagianya keluarga kecil itu.
Mentari tiba-tiba melorot dari gendongan ayahnya.
"Papa aja yang dorong keranjangnya. Kasihan Bunda capek." ujar bocah kecil itu.
"Sudah tidak apa-apa. Bunda bisa kok kalau cuma dorong troli," sahut Kirana. Namun Tristan mengambil alih troli itu tanpa banyak bicara. Kemudian mendorongnya. Berjalan bersisian dengan istri dan anaknya.
Saat melewati gerai es krim yang terlihat begitu ramai, langkah Mentari berhenti.
"Pa, boleh beli es krim, nggak?" Mentari sepertinya lupa dengan nasehat dokter yang tadi bahkan dengan hafal dia sebutkan.
"Boleh," sahut Tristan.
Mentari pun bersorak. Dia berlari masuk ke dalam gerai es krim itu. Dan memilih sendiri menu es krim kesukaannya. Tidak peduli jika antrian sangat panjang.
"Mentari, duduk aja sama Bunda. Biar Papa yang ngantri."
"Bunda mau yang rasa apa?" lanjut Tristan.
Kirana tentu saja terkejut saat pertanyaan itu ditodongkan oleh Tristan. Lebih tepatnya karena panggilan bunda untuknya. Meski tanpa senyum, namun terdengar sedikit manis. Seperti mendapat tetesan embun di padang tandus. Mungkin seperti itu gambaran perasaan Kirana saat ini.
"Sama dengan Mentari. Strawberry," sahut Kirana setelah termenung beberapa saat.
Namun jangan berharap Tristan membalas ucapan Kirana. Lelaki itu mungkin hanya menangkap melalui pendengarannya jawaban Kirana sambil berlalu untuk mengantri di belakang deretan beberapa orang yang akan membeli es krim. Sementara Kirana dan Mentari duduk menunggu di salah satu meja.
Setelah cukup lama menunggu, Tristan datang dengan tiga cup es krim. Dia mengulurkan satu persatu cup es krim itu pada Kirana dan Mentari.
"Makasih, Mas." Kirana menerima es krim itu dengan gugup. Dan Tristan diam saja dengan wajahnya yang datar.
Mungkin memang benar, kebahagiaan Mentari memang segalanya bagi Tristan. Sampai dia rela menikahi wanita yang bahkan tidak diinginkannya. Hanya demi membuat putrinya tersenyum.
Sejak tahu jika Kirana akan menikah dengan papanya, Mentari memang berubah. Anak itu terlihat lebih ceria. Tidak pernah seperti sebelumnya. Di mana dia berkecil hati saat melihat temannya dijemput oleh mama mereka. Mentari hanya duduk sendirian menatap teman-temannya sembari menunggu sopir omanya datang menjemput.
"Bunda makan es krim kayak anak kecil!' ujar Mentari sambil tertawa.
Kirana mengernyit. Mentari justru tertawa semakin kencang sambil menunjuk lelehan es krim di sudut bibir Kirana.
"Kenapa memangnya?" tanya Kirana dengan heran.
Tiba-tiba tangan Tristan terulur mengusap lelehan es krim itu. Jantung Kirana pun berdegup tak karuan. Dia menatap Tristan dengan canggung. Kedua pasang netra itu beradu sepersekian detik sebelum Tristan mengalihkan pandangan.
"Pakai tisu, Mas." Kirana mengambil tisu di dalam tasnya. Tristan menyambut kertas putih itu tanpa dan mengusap ibu jarinya yang terkena es krim.
"Bunda, kata Oma sebentar lagi Mentari mau punya adik," cicit Mentari kemudian.
"Uhuk!"
Belum selesai dengan urusan jantungnya yang berpacu sangat cepat dan badannya yang mendadak panas dingin, ucapan tidak terduga Mentari pembuat Kirana tersedak.
"Mentari, kalau lagi makan jangan banyak bicara, ya," ujar Tristan.
"Iya, Pa. Tapi benar nggak kalau Mentari mau punya adik?" Mentari memang tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapat jawaban yang memuaskan baginya.
Tristan mengiyakan dan Mentari pun kembali bersorak. Jawaban satu-satunya yang Tristan pikir akan membuat Mentari berhenti bertanya.
"Adiknya cewek apa cowok, Pa?"
Tristan terdiam mendengar pertanyaan Mentari. Hingga bocah kecil itu terus menerus bertanya.
"Mentari maunya adik cewek apa cowok?" sahut Tristan setelah lelah mengabaikan pertanyaan putrinya
"Cewek sama cowok."
"Mana bisa begitu. Nanti Bunda repot ngurusnya."
"Nanti kan ada Mbak yang bantuin, Pa. Mentari juga bisa bantu Bunda ngasih susu buat adik, kok."
"Ya ya. Sekarang habiskan es krimnya. Lalu kita pulang."
Mentari pun mengangguk. Dia menghabiskan es krim yang hanya tersisa sedikit tanpa banyak bicara lagi.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Mentari kembali berceloteh sepanjang jalan menuju ke rumah. Ada saja hal yang ditanyakan pada dua orang dewasa yang duduk di depan. Hingga lambat laun suaranya tidak terdengar lagi. Mentari terlelap di jok belakang.
Tristan mengangkat putrinya yang tertidur dan membawanya ke dalam kamar Mentari. Sedangkan Kirana menenteng kantong belanja di kedua tangannya menuju ke dapur.
Benar-benar mati gaya harus berada di rumah dengan Tristan. Kirana pun menyibukkan diri menata barang belanjaan di dapur dengan pakaiannya yang belum di ganti.
"Jangan diambil hati ucapan Mentari tadi." Suara itu mengagetkan Kirana. Telur dalam mika yang di pegangnya bahkan nyaris terjatuh.
"Ya. Saya tahu."
Sebuah kartu diangsurkan Tristam di meja dapur.
"Untuk belanja kebutuhan rumah dan kebutuhan kamu," ujarnya kemudian.
"Meskipun saya tidak menginginkan kamu untuk menjadi istri saya, saya akan tetap memberi nafkah lahir untuk kamu. Jangan pernah belanja memakai uangmu. Apalagi untuk kebutuhan anak saya."
Kirana terdiam mendengar ucapan Tristan yang lagi-lagi membuatnya tercubit.
"Sejak Mas Tristan mengucapkan ijab qabul dengan Ayah, Mentari juga menjadi anak saya, Mas," balas Kirana.
Tristan tak menyahut. Dia meninggalkan kartu yang masih tergeletak di meja bersama Kirana yang berdiri mematung di depan lemari pendingin.
"Mas!" panggil Kirana saat Tristan akan menaiki tangga.
"Siapa perempuan tadi?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Eliani Elly
next
2023-08-24
0