Kirana terbangun saat mendengar bunyi alarm dari ponselnya. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kamar itu masih begitu asing baginya. Juga keberadaan seorang pria dalam satu ranjang. Ucapan selamat malam Tristan yang ditujukan entah untuk siapa saat pria itu akan memejamkan mata semakin membuat pikirannya berkelana tak tentu arah. Sapaan sayang tentu bukan disematkan pada sembarang orang. Hanya orang spesial yang pantas mendapatkannya. Kirana mencoba menerka-nerka hingga kantuknya datang dengan sendirinya. Bahkan saat matanya terbuka pun pikiran itu kembali mengganggunya. Mentari? Kirana mencoba berpikir positif jika panggilan sayang itu ditujukan untuk Mentari. Kirana mendengar Tristan memanggil putrinya dengan sebutan sayang.
Kirana mencoba membangunkan Tristan yang masih terlihat sangat lelap. Namun beberapa kali dia memanggil nama suaminya itu tak kunjung membuka mata.
"Mas, bangun sudah subuh!" Kirana mengulang sekali lagi dan hanya dibalas deheman seperti orang mengigau oleh Tristan.
Wanita itu pun mengambil scrunchie di atas nakas untuk mengikat rambutnya. Kemudian menyingkap selimutnya dan turun dari ranjang. Membiarkan Tristan yang sepertinya masih enggan membuka mata.
Meski Tristan sudah menegaskan jika status mereka hanya suami istri diatas kertas, namun Kirana tetap menjalankan perannya sebagaimana layaknya seorang istri dan juga seorang ibu bagi anak sambungnya. Selepas sholat subuh, dia berusaha membangunkan kembali suaminya. Namun justru gerutuan yang dia terima. Tristan tetap tak beranjak dari tempat tidur. Demi menghindari pertengkaran, Kirana pun akhirnya keluar dari kamar. Dia turun ke dapur untuk memasak sarapan pagi untuk mereka berdua.
Sayuran terakhir yang ada di dalam lemari pendingin sudah dimasaknya tadi malam. Tidak ada apapun di dalam sana selain telur dan beberapa olahan daging di freezer. Kirana pun memasak nasi. Satu-satunya ide masakan yang terlintas adalah nasi goreng. Dengan menambahkan sosis atau kornet. Entah Tristan akan menyukainya atau tidak.
Sembari menunggu nasi matang, Kirana membersihkan rumah. Karena menurut ibu mertuanya, Tristan tidak mempekerjakan ART. Hanya tiga hari sekali Bi Elis, asisten rumah tangga di rumah utama datang untuk membersihkan rumah itu.
"Jangan sentuh!" Suara yang cukup kencang itu mengagetkan Kirana. Dia menoleh menatap Tristan yang berdiri di ujung tangga dengan bibir bergetar.
"S-saya hanya mau membersihkannya," jawab Kirana seraya meletakkan kembali pigura foto Elita yang terlihat begitu cantik dengan jas putihnya.
"Besok Bi Elis yang akan membersihkan rumah," ujar Tristan dengan wajah yang dingin.
Kirana pun mengembalikan semua alat pembersih rumah ke tempatnya. Dia tidak ingin memyulut kemarahan suaminya. Tristan sangat sensitif jika sudah berkaitan dengan almarhum istri pertamanya.
"Mau kopi, Mas? Saya buatkan, ya?" tanya Kirana melihat Tristan mengambil cangkir kemudian membuka salah satu kabinet.
"Tidak perlu."
"Tidak apa, Mas. Saya bisa kok kalau cuma buat kopi." Kirana sedikit memaksa mengambil cangkir dari tangan Tristan. Dan dia berhasil karena suaminya itu menyerahkan begitu saja cangkir yang dipegangnya.
Kirana membuat kopi sesuai takaran yang diberitahu oleh ibu mertuanya. Beberapa hal mengenai Tristan memang sudah diketahui. Tentang watak dan beberapa kebiasaannya. Dan secangkir kopi yang baru saja diseduh, diletakkan Kirana di atas meja makan. Karena Tristan menghilang dari dapur dan entah ke mana.
Kirana melangitkan harapan jika pagi ini akan menjadi awal yang baik untuk rumah tangga yang baru hitungan jam dia lewati. Dengan senyum merekah, Kirana memasukkan bumbu nasi goreng yang baru saja dibuatnya ke dalam minyak panas. Kemudian masukkan nasi dan mengaduknya hingga tercampur bumbu dengan rata.
Dua piring nasi goreng dengan tambahan telur dan juga sosis disiapkan Kirana di meja makan juga. Bersamaan bunyi langkah kaki menuruni tangga.
"Mas mau ke mana?" tanya Kirana saat melihat Tristan menuruni tangga.
"Bukan urusanmu," sahut Tristan ketus sembari mengenakan arlojinya.
Kirana pun mendesah kasar. "Kita sarapan dulu, Mas. Saya masak nasi goreng. Saya tidak tahu Mas suka atau tidak."
"Tidak perlu repot-repot memasak untuk saya."
"Saya tidak merasa repot." Kirana menarik kursi untuk Tristan. Namun pria itu terus melangkah melewati meja makan.
"Mas!" Panggilan Kirana pun tidak dihiraukan. Wanita itu tersenyum getir menatap dua piring nasi goreng dan kopi dalam.cangkir yang mungkin sudah dingin. Meski hatinya nelangsa, namun Kirana tidak terlalu ambil pusing. Dia bukan tipe perempuan yang melow dan gampang berurai air mata. Kirana perempuan yang meski hatinya sakit, senyum lebar pun masih bisa dia tampilkan.
"Mas!" Kirana tergopoh-gopoh menyusul suaminya yang sudah mencapai pintu keluar.
"Mentari tadi telfon. Dia nanti minta dijemput. Mas kan sudah janji mau jemput dia," ujarnya kemudian karena Tristan tetap tidak menghiraukannya.
"Kamu saja yang jemput. Saya banyak urusan hari ini," jawab Tristan sambil menarik gagang pintu.
Beberapa saat kemudian, bunyi deru mobil terdengar meninggalkan garasi. Kirana kembali menghela nafas kasar. Meski kecewa karena merasa tidak dihargai, Kirana kembali ke meja makan dan menikmati sarapannya sendiri. Bukan hal yang aneh juga karena setiap hari pun dia selalu makan sendiri sewaktu tinggal di kost.
Menyerah? Tentu saja tidak. Perjalanan rumah tangganya baru saja dimulai. Masih banyak waktu untuk membenahi semua. Menata hati masing-masing agar siap menerima satu sama lain. Meski cinta mungkin saja belum tumbuh di antara keduanya. Kirana yakin suatu saat rasa itu akan datang dengan sendirinya. Seperti pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Kirana. Semoga saja ungkapan itu akan berlaku untuknya dan Tristan. Meski tembok tinggi telah dibangun oleh pria itu, Kirana terlalu yakin jika dia akan bisa meruntuhkannya.
Bunyi ponsel membuat Kirana terkesiap. Panggilan dari Mentari menggunakan ponsel omanya. Pagi buta tadi Mentari sudah minta dijemput. Rupanya anak itu sudah tidak sabar hingga kembali menelepon dan meminta untuk segera dijemput dari rumah omanya.
Satu-satunya kendaraan roda dua yang dia punya masih di tinggal di tempat kost. Sehingga Kirana memesan taksi online untuk menjemput Mentari. Meski ada satu kendaraan lagi yang terparkir di garasi. Motor sport yang tentu saja milik Tristan. Jangankan memakainya, menyentuhnya saja Kirana tidak berani. Untuk sementara waktu, dia harus sedikit menjaga sikap. Mungkin itu lebih baik daripada menambah masalah dengan Tristan.
Taksi yang ditumpangi Kirana berhenti di depan sebuah rumah bercat putih yang baru sore kemarin dia tinggalkan. Tampak sepi karena hanya berpenghuni seorang pemilik rumah, seorang ART dan seorang sopir. Kirana membuka pintu pagar yang tidak terkunci. Salam dia ucapkan untuk penghuni rumah. Bu Ratih membuka pintu dan menyambut hangat menantu barunya.
"Tristan mana?"
"Mas Tristan … kerja, Ma," sahut Kirana memberi alasan. Sebab tadi dia melihat suaminya mengenakan pakaian formal dan menenteng sebuah tas. Bisa dipastikan kalau Tristan akan berangkat ke kantor.
Bu Ratih membuang nafas kasar. Menatap sendu pada menantunya. Dia pikir Tristan akan mengambil cuti barang sehari atau dua hari. Ternyata sama sekali tidak. Dia pun menyuruh Kirana masuk ke dalam.
Kirana sudah beberapa kali berkunjung ke rumah itu, sehingga dia sudah tidak merasa canggung lagi untuk masuk menerobos menuju ruang keluarga beriringan dengan Bu Ratih.
"Kamu sudah sarapan, Wi?" Bu Ratih memang lebih suka memanggil Kirana dengan nama belakang Kirana Dewi.
"Sudah Ma," sahut Kirana sambil mendekat ke arah Mentari yang sedang sibuk bermain dengan koleksi bonekanya.
"Bunda!" Mentari yang baru menyadari kedatangan Kirana menghambur memeluk ibu sambungnya. Lagi, anak itu pun menanyakan keberadaan ayahnya. Kirana mencoba memberi pengertian saat Mentari mulai cemburu karena ayahnya urung menjemputnya. Dengan iming-iming mengajak jalan-jalan, akhirnya Mentari luluh. Dia pun kembali sibuk bermain.
Kirana bercengkrama dengan ibu mertuanya sembari menunggu Mentari bermain.
"Mama harap dengan sangat, bersabarlah menghadapi menghadapi Tristan." Permohonan yang sama dengan saat Bu Ratih melamar Kirana.
Senyum tipis mengembang di bibir Kirana.
"Iya, Ma. Saya tahu resiko yang akan saya ambil ketika menerima lamaran Mama."
Bu Ratih mengusap tangan menantunya dengan lembut.
"Sekali lagi terima kasih. Sudah menyayangi Mentari dengan tulus. Ingat Wi, Mama akan berada di pihak kamu jika Tristan menyakitimu."
Kirana mengangguk lembut. "Terima kasih, Ma. Saya yakin Mas Tristan orang baik. Hanya butuh waktu untuk saling menerima satu sama lain."
Bu Ratih melengkungkan bibirnya. Tidak salah dia memilih Kirana untuk menjadi menantunya. Sejak pertama bertemu saat dia menjemput Mentari, dia mampu membaca ketulusan dalam diri Kirana. Yang memperlakukan setiap murid di sekolah dengan penuh kasih. Terlebih pada Mentari. Setiap jam belajar usai, Kirana selalu menemani anak itu hingga dijemput. Banyak cerita tentang Kirana yang Bu Ratih dapatkan dari Mentari. Hingga akhirnya menyampaikan keinginan agar putranya menikah lagi. Bu Ratih pun tahu jika Tristan menikahi Kirana hanya demi Mentari.
"Ma, boleh minta nomor Mas Tristan?"
Dahi Bu Ratih mengernyit. "Kalian belum bertukar nomor kontak?"
Kirana tersenyum kikuk. "Tadi saya lupa minta nomor Mas Tristan. Saya mau ijin belanja sepulang dari sini."
Bu Ratih pun memberikan nomor kontak Tristan. Dan juga memberitahu panjang lebar tentang makanan kesukaan Tristan.Kata orang, masakan yang cocok di lidah bisa meluluhkan hati seseorang. Entah benar atau tidak, tidak ada salahnya dicoba. Dan beberapa list belanja kebutuhan dapur pun tersimpan dalam.memori otak Kirana.
Kirana mengirim pesan pada suaminya jika dia akan mengajak Mentari berbelanja. Pesan itu hanya diabaikan bahkan tidak dibaca. Atau mungkin Tristan yang sedang sibuk. Namun setidaknya dia sudah memberitahu.
Dengan diantar oleh Pak Cip, sopir keluarga itu Kirana dan Mentari pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Bukan main girangnya hati Mentari saat Kirana menggandeng tangannya masuk ke dalam mall. Kegembiraan anak itu tidak bisa disembunyikan karena akhirnya dia bisa merasakan pergi bersama bundanya seperti teman-temannya. Bukan lagi Mentari yang tidak punya mama seperti yang selama ini sering menjadi bahan rundungan teman-temannya. Bibir Kirana pun melengkung melihat senyum di wajah Mentari. Sesekali dia menimpali celotehan anak sambungnya.
Sejurus kemudian senyum Kirana pudar saat lensa mata Kirana menangkap dua sosok yang sedang duduk di coffee shop. Lidahnya kelu seketika saat melihat Tristan dan ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Eliani Elly
kasihan Kirana, seharusnya Tristan tidak mengorbankan orang lain hanya untuk membahagiakan putri dan Ibunya
2023-08-24
0