Ingin lebih dekat

Pov. Danu Narendra

Gara-gara mimpi itu, pagi ini aku sedikit terlambat ke kantor. Aku tidak habis fikir setelah sekian lama, bahkan sudah tujuh tahun lamanya dia kembali hadir dalam mimpiku. Untung saja ketika aku masuk ke dalam ruangan, masih ada waktu satu menit yang tersisa.

Ku tatap seisi ruangan seperti ada yang kurang selama beberapa hari ini. Ya, Sudah hampir satu minggu aku tak melihat keberadaannya. Ruangan kerja begitu aneh, rasanya ada yang hilang bagiku. Entah jika bagi orang lain. Mungkinkah mereka merasakan hal yang sama?

Banyak hal yang ingin aku ketahui tentangnya, apapun itu. Tetapi aku masih menahan karena beberapa hal. Pertama, aku masih orang baru di sini, kedua Aku tidak ingin disebut keppo masalah orang lain, meski sebenarnya aku memang ingin tahu lebih tentang seniorku itu. Ketiga, dia begitu misteri bagiku.

Hal yang ketiga inilah yang menggugah rasa penasaranku terhadap seorang Ayuna Maharani. Bahkan, aku ingin lebih dekat dengannya.

"Cobaan Mba Yuna berat banget, dia pasti lagi sedih sekarang,"

"Aku udah kirim WA ke dia, tapi nggak di bales. Mungkin dia butuh waktu buat sendiri dulu, nenangin pikirannya yang kacau,"

Namun, telingaku tak pernah tertutup. Banyak seliweran yang aku dengar tentang Ayuna. Jika Gita dan Syifa sedang membicarakannya meski dengan suara berbisik, aku dapat mendengar sayup-sayup inti pembicaraan mereka.

Intinya, keadaan Ayuna kali ini benar-benar sedang dilanda sebuah ujian berat. Entah ujian apa, aku hanya bisa menyimpulkannya seperti itu. Andai aku tahu, aku pasti dengan senang hati membantunya.

Hari ini, setelah selesai makan siang dan membeli satu minuman dingin di cafetaria kantor, aku langsung menuju ke ruangan kerja kembali. Aku lebih suka beristirahat di dalam ruangan ketimbang keluar berpanas-panasan seperti banyak orang.

Meski sebenarnya Gita dan Syifa selalu mengajakku makan bersama, aku selalu menolak dengan alasan mengantuk dan ingin tidur. Padahal, tak ada yang ku perbuat di dalam ruangan, aku hanya menyisihkan waktuku untuk menyelesaikan sedikit pekerjaanku. Hitung-hitung lumayan, bisa mengurangi pekerjaanku yang sedang padat-padatnya. Apalagi, beberapa hari ini semangatku terasa mengendur.

Sampai di depan pintu ruang kerja, samar-samar aku mendengar suara bak isakan seseorang. Aku perjelas lagi dengan jalan perlahan, dan aku yakin jika ini adalah suara tangisan seseorang. Perlahan ku raih knop pintu, agar tak terdengar oleh seseorang di dalam sana.

Benar saja, aku melihat dengan jelas Ayuna tengah menutup wajahnya. Aku juga dapat mendengar isakan yang berat dari suara yang dia tahan. Melihatnya saja, aku tak sanggup. Ingin aku segera mendekat dan memberi ketenangan pada tubuh Yuna. Tapi, masih banyak kata 'tapi' yang menghalangi tindakanku.

Beberapa menit aku menunggu Yuna membuka wajahnya itu, dan benar saja penantianku pun membuahkan hasil. Wajah Yuna yang lesu, mata sembab dan sedikit bengkak dapat terlihat jelas.

Ya Tuhan, masalah apa yang sedang menimpanya hingga dia terlihat semenyedihkan ini?

Aku merasa tak enak hati, takut Yuna akan malu karena kehadiranku ini. Sebagai alasan, aku menyodorkannya minuman dingin yang sempat ku beli di cafetaria tadi. Sebotol minuman telah menyelamatkanku kali ini.

"Minumlah,"

Ayuna menyeka jejak air matanya yang masih tersisa. Andai dia memintaku untuk membantu menyeka air mata itu, maka aku dengan senang hati akan melakukannya. Lagi-lagi aku seperti sedang 'ngehalu'.

"Eum," aku kembali membuat Ayuna tersadar dengan menggoyangkan botol ditanganku kearahnya. Berharap, ia akan menerima minuman itu. Karena aku tahu, ketika habis menangis tenggorokan akan terasa kering. Apalagi tangisannya begitu berat dan menyesakan dada.

"Terimakasih," ucap Ayuna dengan suara berat disertai isakan sesaknya.

Ayuna langsung memutar tutup botol. Dapat ku lihat jika dengan sekuat tenaga ia berusaha membuat tutup itu terbuka. Tetapi sepertinya ia telah kehabisan tenaga.

Aku pun langsung merebut kembali botol itu dari tangannya. Kuputar tutup itu, setelah dirasa terbuka aku serahkan kembali kepada Ayuna.

"Terimakasih," ucap Ayuna lagi dengan menundukkan pandangannya.

Aku ingin tertawa, tetapi takut berdosa. Ketika tahu wanita yang terlihat kuat dan tegar ini tak bisa membuka tutup botol minuman yang menurutku amat gampang.

"Maaf, tadi aku ..."

"Bagaimana kabar, Ibu Yuna?" Aku tak ingin Yuna merasa canggung membahas permasalahannya dan meminta maaf padaku. Hingga aku memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kabarnya.

Setiap orang pasti memiliki masalah dan itu berbeda-beda. Setidaknya jika kita melihat orang sedang bersedih karena masalahnya, kita bisa menghiburnya meski sebenarnya masalah kita lebih berat. Itu adalah pemikiran orang baik, menurutku.

Namun, jika yang ingin kita hibur adalah orang seperti Ayuna. Lebih baik urungkan niat itu. Beri saja dia ruang waktu untuk sendiri. Karena dia pasti lebih membutuhkan waktu itu.

"Seperti yang kamu lihat," jawab Ayuna disertai senyuman kecil nyaris tak terlihat. Meski aku tahu, senyum kepalsuan itu semata hanya untuk menutupi kesedihannya.

"Danu, bisakah kamu tidak memberitahu soal ini kepada orang lain?"

Aku tersenyum mendengar pertanyaan Ayuna. Dan tanpa syarat, aku langsung menganggukkan kepalaku pelan.

"Tenang saja, Bu,"

"Sekali lagi terimakasih, Danu," ucap Ayuna.

Kemudian ia kembali fokus pada komputer yang sudah beberapa hari tak ia sentuh. Sepertinya ia teramat rindu dengan komputer itu. Beruntungnya keyboard dan komputer itu karena setiap hari mendapat sentuhan dan pandangan dari wanita seperti Ayuna.

Beruntung, aku bisa melihat senyuman Ayuna yang belum sempat kulihat sejak pertama kali aku datang ke sini. Beruntung pula hari ini aku bisa melihatnya bekerja kembali, meski aku juga turut sedih karena melihatnya menangis tadi.

"Mba, Yuna?" panggil Syifa.

Kedatangan Syifa dan Gita menggangguku. Menurutku mereka berdua begitu berisik. Meski Syifa terlihat calm, tetapi Gita membawa Syifa menjadi mengikuti dirinya yang serba bar-bar.

"Yuna, kapan dateng? Kok nggak ngabarin?" Tanya gita.

"Baru tadi siang," jawab Ayuna singkat.

"Ngapain sih kerja, nggak sekalian besok aja," tutur Gita dengan mulut sedikit monyong.

"Suntuk di rumah aja, Git," Yuna masih berkutat dengan komputer dan keyboardnya. Meski berbicara dengan orang lain, matanya tetap saja bekerja menatap komputer.

"Berantem ya sama si Bagus?"

"Ngada-ngada kamu, Git,"

Entah siapa Bagus yang Gita maksud, Ayuna juga tak memperjelas siapa dia. Fikirku, mungkin adik atau kakaknya Yuna. Atau juga hewan peliharaannya. Jangan bilang jika Yuna sudah memiliki kekasih atau mungkin sudah bersuami, kedengarannya amat tak enak. Hatiku pun merasa tak bisa menerimanya, aku pun heran pada diriku sendiri.

Aku melirik ke arah Yuna duduk, karena meja kami memang bersebelahan. Sementara di seberangku ada Syifa. Untuk Gita, dia duduk tepat di seberang Ayuna.

Ketika melirik, entah ini sebuah kebetulan atau memang Yuna sadar, ia pun melirik ke arahku. Mata kami pun bertemu, hingga aku dapat melihat jelas kecanggungan yang Yuna tunjukkan.

"Danu, aku udah kirim E-mail, tolong di periksa,"

Aku sudah terlalu ge-er karena Yuna melirikku, ternyata dia hanya ingin memberitahu hal ini. Astaga, dalam hati aku terus merutuki kebodohan sendiri.

"Ya, Bu," jawabku kaku.

"Danu, kamu fikir Yuna itu Ibu-ibu apa?? Jangan panggil Ibu, panggil aja Yuna!!"

Tiba-tiba Gita berbicara ditengah-tengah rasa gerogiku. Benar juga perkataannya, Yuna tak terlihat seperti ibu-ibu. Bahkan dia terlihat lebih muda dariku.

"Oh, apa boleh, Bu?" Tanyaku melirik ke arah Yuna kembali.

"Terserah."

Sudah, setelah kata terserah itu keluar dari mulut Yuna. Aku tidak ingin membahas apapun lagi. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana Yuna tadi menangis dengan sesak. Mungkin saat ini, dia masih butuh ruang untuk menenangkan hatinya.

Hari sudah hampir sore, waktu pun menunjukkan jam setengah empat. Syifa dan Gita pamit pulang lebih dulu karena di rasa sudah menyelesaikan pekerjaannya. Kabarnya juga, mereka pulang satu arah. Jadi, mereka berdua selalu pulang dan pergi bersama.

Namun tidak dengan Yuna. Dia masih berkutat dengan komputer dan sesekali melirik ponselnya.

"Nggak pulang?" Tanyaku pada Yuna.

"Duluan aja," jawabnya sedikit acuh.

"Aku tungguin,"

Aku sengaja menunggu Yuna selesai dan berharap ia segera mematikan komputernya. Aku tahu suasana hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Mengapa dia gila bekerja dan memaksakan diri? Bukankah dia butuh istirahat?

"Ngapain nungguin aku?"

Kenapa Yuna bertanya seperti itu? Apakah dia benar-benar ingin tahu tujuanku sebenarnya? Jujur, aku sendiri pun masih bingung. Untuk apa aku bersikap seperti ini pada Yuna? Sepertinya aku sangat ingin lebih dekat dengannya.

"Pulang bareng yuk, barangkali kita searah,"

Episodes
1 Siapa sebenarnya Ayuna?
2 Kebohongan yang terbongkar
3 Kehilangan (Cobaan terberat)
4 Mengapa Nasibku begini?
5 Ingin lebih dekat
6 Semakin dipandang, semakin Cantik!
7 Robert Davidson
8 TALAK
9 Status baru
10 Sebuah kesepakatan
11 Misteri dalam diri
12 Perasaan takut
13 A Film take By ....
14 Prioritas otak dan hati
15 Ayuna, BUKAN Maharani
16 Wanita Es
17 Wanita kutub utara
18 Wanita sekeras batu
19 Ayuna, I'am Sorry
20 Ada aku di sini
21 Ada aku di sini 2
22 Ada aku di sini 3
23 Calon atau Mangsa?
24 Tak bisa menolak
25 Life must goes on
26 Are you okay, Danu?
27 Bukan gebetan Boss
28 Sadar diri, Danu!
29 Antara Gengsi dan jual mahal
30 Antara Gengsi dan jual mahal 2
31 Kali kedua
32 Ada apa antara Danu dan Hana?
33 Seperti kerupuk yang disiram Air
34 Pemendam perasaan
35 Besi berkarat yang rapuh
36 Besi berkarat yang rapuh (2)
37 Pembelaan Danu
38 You are everything
39 You are everything (2)
40 Kali ketiga
41 Rasa yang berbeda
42 Bukan tandinganku!
43 Lima menit, Danu!!!
44 Balas budi semata
45 Aku ingin memilikinya!
46 Lima belas ribu rupiah
47 Lima belas ribu rupiah (2)
48 Obat nyamuk
49 Ungkapan perasaan
50 Satu tujuan
51 Satu tujuan (2)
52 Satu tujuan, satu hati
53 Sebuah harapan
54 Perlakuan lebih
55 Perlakuan lebih (2)
56 Perlakuan lebih (3)
57 Hanya Ayuna
58 Kenyamanan
59 Danu, kamu apakan aku?
60 Pulang atau tetap bersama?
61 Gila karenanya
62 Menjaga tanpa merusaknya.
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Siapa sebenarnya Ayuna?
2
Kebohongan yang terbongkar
3
Kehilangan (Cobaan terberat)
4
Mengapa Nasibku begini?
5
Ingin lebih dekat
6
Semakin dipandang, semakin Cantik!
7
Robert Davidson
8
TALAK
9
Status baru
10
Sebuah kesepakatan
11
Misteri dalam diri
12
Perasaan takut
13
A Film take By ....
14
Prioritas otak dan hati
15
Ayuna, BUKAN Maharani
16
Wanita Es
17
Wanita kutub utara
18
Wanita sekeras batu
19
Ayuna, I'am Sorry
20
Ada aku di sini
21
Ada aku di sini 2
22
Ada aku di sini 3
23
Calon atau Mangsa?
24
Tak bisa menolak
25
Life must goes on
26
Are you okay, Danu?
27
Bukan gebetan Boss
28
Sadar diri, Danu!
29
Antara Gengsi dan jual mahal
30
Antara Gengsi dan jual mahal 2
31
Kali kedua
32
Ada apa antara Danu dan Hana?
33
Seperti kerupuk yang disiram Air
34
Pemendam perasaan
35
Besi berkarat yang rapuh
36
Besi berkarat yang rapuh (2)
37
Pembelaan Danu
38
You are everything
39
You are everything (2)
40
Kali ketiga
41
Rasa yang berbeda
42
Bukan tandinganku!
43
Lima menit, Danu!!!
44
Balas budi semata
45
Aku ingin memilikinya!
46
Lima belas ribu rupiah
47
Lima belas ribu rupiah (2)
48
Obat nyamuk
49
Ungkapan perasaan
50
Satu tujuan
51
Satu tujuan (2)
52
Satu tujuan, satu hati
53
Sebuah harapan
54
Perlakuan lebih
55
Perlakuan lebih (2)
56
Perlakuan lebih (3)
57
Hanya Ayuna
58
Kenyamanan
59
Danu, kamu apakan aku?
60
Pulang atau tetap bersama?
61
Gila karenanya
62
Menjaga tanpa merusaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!