Kebohongan yang terbongkar

Pov. Ayuna Maharani

Aku berfikir setelah pernikahanku dengan Mas Bagus akan mendatangkan sebuah bahtera rumah tangga yang bahagia. Ternyata aku salah, selama enam tahun aku menjalani hubungan jarak jauh saat masih pacaran, hingga dua tahun pernikahan kami, nyatanya keadaan kami tak berubah meski sudah memiliki seorang putri.

Mas Bagus, dia lebih memilih tetap bekerja di kantor lamanya yang berada di luar kota, tepatnya di kota Bandung. Satu minggu sekali dia baru akan kembali mengunjungiku dan Dinda Putri Prasetya, buah hati kami yang saat ini sedang berusia satu tahun.

Terkadang, saat tanggal tua Mas Bagus tidak pulang dengan alasan uang yang sedang limit. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi? Aku bekerja di Jakarta sedangkan Mas Bagus di Bandung. Jarak yang cukup menyita waktu, bukan?

Untuk saat ini, belum ada yang mengalah diantara kami berdua untuk melepaskan pekerjaan kami, karena kami bekerja sama-sama sebagai karyawan lama di perusahaan masing-masing. Selain itu, masih banyak hal lain yang kami pertimbangkan.

"Yuna," panggil Mas Bagus ketika dia baru saja selesai mandi setelah beberapa menit yang lalu tiba dari Bandung.

"Emmm..," aku hanya menjawab samar-samar dengan suara yang sedikit berbisik karena Dinda saat ini sedang tidur dan aku pun sudah memejamkan mataku.

"Yuna ... " panggil Mas Bagus lagi dengan menggoyang-goyangkan sebelah lenganku.

"Iya, Mas," jawabku malas. Jujur saat ini aku sedang merasa sangat mengantuk dan tidak suka ketika Mas Bagus harus mengganggu tidurku.

"Yuna, ngadep kesini. Aku kangen loh!" Mas Bagus mulai menarik tubuhku dan memelukku dari belakang karena posisiku saat ini memunggunginya dan menghadap ke arah Dinda.

"Mas, aku ngantuk!"

Jelas aku tahu apa yang sebenarnya Mas Bagus inginkan dariku. Bukan aku sedang malas, bukan juga tak ingin melayani suami. Aku saat ini memang sedang datang bulan. Karena aku menjalani KB. Hal itu membuat siklus menstruasiku tidak lancar. Apalagi rasa nyeri yang sering datang timbul, tak karuan rasanya.

"Hmm ... " Mas Bagus menghembuskan nafas panjang, sepertinya Mas Bagus mulai kesal padaku.

"Jangan alesan kalo kamu haid lagi," celetuk Mas Bagus.

Aku memilih tak melanjutkan perkataanku, bukan sekali dua kali, bahkan berulang kali aku sudah berdebat dengan Mas Bagus karena masalah ini dan akhirnya kami pun akan bertengkar.

Mas Bagus memang penyabar, tapi untuk masalah satu ini ia amatlah sensitif. Dia tak pernah mau tahu alasan apapun, yang ada dia malah menganggap jika aku sudah tak menyukainya lagi. Dia juga menuduhku bosan padanya, hingga tak mau melayaninya.

Tengah malam, Dinda merengek karena minta dibuatkan susu. Sebagai seorang pekerja, aku memang tak memberikan ASI pada anakku. Aku lebih memilih susu formula. Bukan tak sayang anak atau takut tubuhku berubah bentuk, tapi menurutku ini adalah pilihan yang tepat karena sejak usia Dinda dua bulan, ASIku tak lagi keluar.

Mas Bagus pun bangun dan membuatkan susu untuk Dinda, tapi Dinda merasa tak puas oleh susu buatan Mas Bagus. Entah karena itu terlalu panas, atau kurang takaran, aku tidak tahu sering kali Dinda melempar botol susunya dan malah menangis.

"Ndaaak ... " rengek Dinda sambil melempar botol susunya.

Padahal aku sudah berulang kali menjelaskan kepada Mas Bagus, jika membuat susu untuk Dinda jangan terlalu panas dan takarannya pun harus lima sendok untuk satu botol susu. Akhirnya, aku lah yang selalu membuatkan susu untuk Dinda.

"Mama," rengek Dinda lagi dengan sedu sedannya.

"Iya sayang, ini Mama yang bikinin."

Aku merasa kesal terhadap Mas Bagus, karena ada dia atau tidak tetap aku yang mengurus anak kami. Padahal jika dia pulang ini kesempatan untuk diriku sedikit beristirahat pada malam hari. Aku berharap ia akan menggantikanku sementara mengurus Dinda setelah lima hari penuh aku yang mengurusnya.

Bukan aku merasa terbebani dengan mengurus Dinda, tapi aku hanya menginginkan kerja sama diantara kami berdua untuk merawatnya.

Kadang mas Bagus malah menyebutku 'perhitungan sama suami' karena aku selalu saja meminta dirinya untuk bergantian mengurus Dinda jika di hari libur.

Aku kecewa, marah, emosi, ketika Mas Bagus mengecapku sebagai istri perhitungan. Lah, dia saja terus-menerus bermain ponsel dan menyemburkan asap rokoknya setiap hari. Sebenarnya siapa disini yang perhitungan? Terlihat jelas, bukan?

Aku bukanlah wanita penyabar, aku ini seorang wanita yang sangat emosional. Bukan seperti di film-film yang terus menurut dengan suami. Melihatnya ongkang-ongkang kaki aku merasa cemburu. Cemburu karena ia tak bisa memberikan waktu luangnya untuk aku dan anakku.

Ya, dia memang bekerja untuk aku dan Dinda. Tapi, aku juga bekerja ekstra untuk Dinda dan dirinya. Toh, jika mengandalkan gajinya saja mungkin aku takkan bisa bayar sewa rumah dan pengasuh Dinda. Bukan sombong atau tidak pandai bersyukur karena bisa berpenghasilan sendiri, tapi semua ini demi anak dan membantu suami untuk mencukupi kebutuhan kami.

Aku ini juga bekerja, Mas? Aku juga ingin santai sebentar setelah hampir seminggu penuh mengurus anak dan bekerja. Belum lagi harus membereskan rumah dan memasak. Anak juga butuh perhatian dari kamu, tapi bukannya bermain dengan anak, kamu malah sibuk sendiri dengan ponsel sialan itu. Bahkan tidurpun ponsel itu selalu didekapannya.

Hanya batinku yang terus mengomel. Apa mungkin omelanku ini suatu hari akan meledak? Mungkin saja. Jika Mas Bagus tidak berubah dan terus saja nyaman dengan sikapnya.

Tapi apalah daya, daripada anakku yang terlantar dan kurang perhatian lebih baik aku mengalah. Ketika Mas Bagus ada di rumah, aku lebih memilih membawa anakku bermain ke luar atau ke rumah tetangga.

...****************...

Minggu sore, Mas Bagus hendak bersiap-siap untuk kembali lagi ke Bandung. Dia membereskan tas dan juga perlatannya yang lain. Memang begitulah kehidupan kami setiap hari. Malam minggu Mas Bagus pulang, malam senin pun dia harus kembali lagi ke Bandung.

"DRTTTTT ......DRRRTTTTT ....."

Kudengar Ponsel Mas Bagus tak berhenti bergetar. Ya, sepengetahuanku sebagai istrinya selama dua tahun ini, Mas Bagus memang tidak pernah memberi nada panggilan untuk ponselnya. Hanya getaran saja, untuk alasannya aku tidak tahu. Karena aku tidak pernah mengutak-atik ponsel miliknya. Begitu pun sebaliknya, kami memegang teguh sebuah kepercayaan satu sama lain.

"Mas, Hapenya, tuh! Ada yang telepon kayaknya," aku sedikit bersuara tinggi karena Mas Bagus sedang di kamar mandi.

"Udah, biarin aja!" jawab Mas Bagus.

Tapi ponsel mas bagus memang terus saja bergetar, hingga aku tak sabar dan langsung mengambilnya dari dalam tas. Aku hanya khawatir jika itu panggilan penting atau darurat.

Saat panggilan dengan nomor tak dikenal itu aku jawab, tak ada suara seorang pun di sana.

"Hallo, hallllo ... " aku pun memilih meletakkan kembali ponsel Mas Bagus.

Namun saat aku ingin meletakkan ponsel itu, aku melihat sebuah kantung hitam kecil yang menurutku begitu asing.

Aku memberanikan diri mengambil kantung kecil itu, meski ini terlihat lancang. Tapi ini demi membuat rasa penasaranku terbayar.

Aku pun membukanya. Dan betapa terkejutnya aku setelah mengetahui apa isinya.

Marah, kecewa, sedih campur aduk jadi satu. Aku tidak pernah menyangka jika menemukan benda-benda yang biasa digunakan untuk memakai benda terlarang itu ada di dalam tas milik suamiku.

"Ya, Tuhan ... "

Aku tidak bisa lagi menahan gejolak amarah di dalam diriku. Hanya kata prngampunan yang terus aku sebutkan tanpa henti. Berharap Tuhan memberi pengampunan padaku, juga suamiku.

Sesak dan lemas rasanya, ketika aku menganggap jika suamiku ini baik-baik saja. Ternyata dugaanku salah besar, pantas saja semua uang tabungan kami ludes entah kemana, uang bulanan darinya pun semakin berkurang, bahkan dua bulan ini Mas Bagus hanya memberiku seperempat gajinya saja. Atau jika dirupiahkan hanya berkisar lima ratus ribu rupiah sebulan. Lalu sisa lima jutanya kemana??

"Yuna??" panggil Mas Bagus padaku.

"siapa yang telepon?"

"Ini apa, Mas?"

Aku tak menjawab pertanyaanya. Aku malah menunjukkan benda terlarang yang aku temukan tadi dihadapannya dengan penuh amarah dan emosi.

"Yuna!!" Mas Bagus terlihat marah, ia pun merebut kembali benda itu dari tanganku.

"Mas? Jadi bener kamu pake obat terlarang itu??" Tebakku.

"Yuna, ini bukan apa-apa,"

Mas Bagus berusaha memasukkan kembali kantung hitam yang tadi aku temukan, namun aku segera merebutnya dan melemparnya kesembarang arah.

"Mama ... "

Dinda pun mengarah kepada benda yang tadi aku lempar, ia berusaha meraihnya. Namun aku segera mengambilnya, karena aku tak mau mata atau tubuh anakku terkontaminasi dengan barang haram itu.

"Mas, kamu nggak takut nambah dosa?? Apa karena benda ini uang tabungan kita abis? Apa karena ini juga kamu sudah ngurangin jatah bulanan buat anak dan istrimu?!!"

Dengan mata yang memerah dan mengeluarkan air bening, aku luapkan kemarahanku pada Mas Bagus.

"Yuna, bukan gitu." Mas Bagus sepertinya tidak bisa menjelaskan apapun. Dan aku tahu jika dia sudah bersikap seperti itu pertanda dia memang bersalah.

"Aku kecewa sama kamu, Mas!!"

Aku menggendong Dinda, dan membawa benda itu untuk ku buang jauh-jauh. Dengan isakan tangis, Dinda terus saja memperhatikanku tanpa kata. Kali ini mungkin dia tahu jika ibunya sedang tidak baik-baik saja.

"Ayuna!!!" Panggil Bagus dengan keras.

"Apa lagi, Mas? Apa lagi yang mau kamu omongin?"

Aku tidak tahan dengan sikap Mas Bagus. Dia bertindak seenaknya terhadapku. Apa lagi setelah aku mengetahui jika Mas Bagus kini menggunakan barang terlarang. Siapapun akan tahu hukuman berat apa yang diterima jika menggunakan barang itu.

"Jangan karena kamu kerja, kamu jadi istri yang ngelawan sama suami!" Mas Bagus masih berbicara dengan nada tinggi.

Aku benar-benar tidak mengerti mengapa Mas Bagus mengucapkan hal ini, apakah dia hanya ingin membuat pengalihan pada inti pembicaraan kami sebelumnya?

"Aku nggak bermaksud ngelawan kamu, Mas. Kamu yang buat aku bersikap kayak gini, kamu maksa aku untuk terus ngertiin kamu, liat sekarang, Mas?,"

Mas Bagus masih memasang wajah marahnya. Sementara Aku sudah tidak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi terbendung. Belum lagi tangisan Dinda yang membuat Aku semakin pusing.

"Yuna, ini nggak seperti yang kamu fikirin. Dengerin aku dulu," pinta Mas Bagus dengan nada yang sudah melembut.

"Apa yang harus aku dengerin, Mas? Kamu mau ngomong kalo emang bener kamu MAKE obat itu, gitu 'kan?"

Aku sudah terlewat kesal, Mas Bagus mungkin tidak pernah tahu bagaimana amarahku jika sudah keluar.

"Yuna, aku khilaf ..."

"Jadi, kamu ..."

Aku tidak tahan lagi, tubuhku pun terhuyung dan jatuh di atas lantai. Untung saja Dinda yang masih ada dalam gendonganku mampu kutahan.

"Ayuna, ini cuma selingan. Aku nggak akan make lagi," ucap Mas Bagus penuh penyesalan.

Mungkin terdengar menyesal, tapi aku tidak tahu apakah suamiku ini ketergantungan obat itu atau tidak.

"Kamu nyesel?"

Aku menatap mata Mas Bagus dengan tajam. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya.

"YA," ucap Mas Bagus dengan lirih disertai anggukan kecil.

"Terus, di mana uang tabungan kita?"

"Yuna, uang itu sudah ilang. Aku nggak tau,"

"Kamu BOHONG!!!" Sergahku.

Aku tahu, setelah ini Mas Bagus akan terus berbohong dan berbohong lagi untuk menutupi beberapa kebohongannya yang lain. Keyakinan diriku bukan sampai di sini saja, aku pun mempertanyakan perihal dia untuk pindah bekerja dan mencari pekerjaan lain di satu kota yang sama denganku.

"Tinggalin kerjaan kamu, pindah dan cari yang lain di Jakarta!"

"Yuna, nggak bisa gitu. Aku udah lama kerja di sana, aku nggak enak sama atasan yang sudah percaya sama aku selama bertahun-tahun,"

Benar dugaanku, Mas Bagus menolak keinginanku itu. Alasannya pun masih sama. Tak enak dengan atasannya.

"Kamu nggak enak sama boss kamu, tapi kamu bersikap seenaknya sama anak istri!"

Sengaja ku tantang Mas Bagus, aku ingin tahu apa yang akan dia pertahankan. Pekerjaannya di Bandung, atau memilih ikut bersamaku di Jakarta.

"Yuna, kita bisa omongin ini nanti. Aku tau suasana hati kamu lagi panas, nggak bisa diajak kompromi," Mas Bagus memeluk tubuhku pelan. Ia mengambil Dinda dari pangkuanku.

"Dinda, Papa berangkat dulu," Mas Bagus mengecup pipi dan kening Dinda pelan. Memberi pesan seperti biasanya jika ia akan berangkat kerja.

"Aku mau kita tuntasin dulu pembicaraan kita, Mas!" Aku mencegah kepergian Mas Bagus. Aku curiga pamitnya ini hanya untuk menghindar dari topik pembicaraan kami.

"Ayuna! Coba sekali aja kamu nurut sama aku!!!"

Mas Bagus menaruh Dinda di pangkuanku lagi. Sepertinya kali ini ia sudah mulai emosi kembali.

"Aku bukan perempuan penurut, apalagi dengan suami yang terus ngebohongin aku!"

PLAK!!!!!

Pertama kalinya, wajah ini mendapatkan tamparan keras dari suamiku sendiri. Rasa panas di wajah ini masih kalah dengan rasa sakit di dalam hatiku. Tak apa, aku berusaha untuk lebih kuat. Aku kuat. Aku tak selemah yang dia kira.

Dari situ, aku bertekad dan benar-benar bertekad untuk melawannya. Mungkin aku akan disebut istri durhaka, tapi aku tak peduli karena aku bukan tipe wanita yang hanya bisa menangis saat disakiti dan harga diriku yang terus diinjak-injak.

Suara tangisan Dinda kian menggema seisi ruangan, aku pun memilih untuk bangun dan menenangkannya terlebih dahulu.

"Yuna," panggil Mas Bagus dengan menarik tanganku.

Aku tak mempedulikannya, aku menghempas tangannya itu kemudian pergi ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat.

Sejak saat itu, aku tak ingin lagi berbicara dengan Mas Bagus. Bukan karena tamparannya saja, sepertinya masih banyak hal lain yang tak terduga yang telah Mas Bagus sembunyikan dariku.

Episodes
1 Siapa sebenarnya Ayuna?
2 Kebohongan yang terbongkar
3 Kehilangan (Cobaan terberat)
4 Mengapa Nasibku begini?
5 Ingin lebih dekat
6 Semakin dipandang, semakin Cantik!
7 Robert Davidson
8 TALAK
9 Status baru
10 Sebuah kesepakatan
11 Misteri dalam diri
12 Perasaan takut
13 A Film take By ....
14 Prioritas otak dan hati
15 Ayuna, BUKAN Maharani
16 Wanita Es
17 Wanita kutub utara
18 Wanita sekeras batu
19 Ayuna, I'am Sorry
20 Ada aku di sini
21 Ada aku di sini 2
22 Ada aku di sini 3
23 Calon atau Mangsa?
24 Tak bisa menolak
25 Life must goes on
26 Are you okay, Danu?
27 Bukan gebetan Boss
28 Sadar diri, Danu!
29 Antara Gengsi dan jual mahal
30 Antara Gengsi dan jual mahal 2
31 Kali kedua
32 Ada apa antara Danu dan Hana?
33 Seperti kerupuk yang disiram Air
34 Pemendam perasaan
35 Besi berkarat yang rapuh
36 Besi berkarat yang rapuh (2)
37 Pembelaan Danu
38 You are everything
39 You are everything (2)
40 Kali ketiga
41 Rasa yang berbeda
42 Bukan tandinganku!
43 Lima menit, Danu!!!
44 Balas budi semata
45 Aku ingin memilikinya!
46 Lima belas ribu rupiah
47 Lima belas ribu rupiah (2)
48 Obat nyamuk
49 Ungkapan perasaan
50 Satu tujuan
51 Satu tujuan (2)
52 Satu tujuan, satu hati
53 Sebuah harapan
54 Perlakuan lebih
55 Perlakuan lebih (2)
56 Perlakuan lebih (3)
57 Hanya Ayuna
58 Kenyamanan
59 Danu, kamu apakan aku?
60 Pulang atau tetap bersama?
61 Gila karenanya
62 Menjaga tanpa merusaknya.
Episodes

Updated 62 Episodes

1
Siapa sebenarnya Ayuna?
2
Kebohongan yang terbongkar
3
Kehilangan (Cobaan terberat)
4
Mengapa Nasibku begini?
5
Ingin lebih dekat
6
Semakin dipandang, semakin Cantik!
7
Robert Davidson
8
TALAK
9
Status baru
10
Sebuah kesepakatan
11
Misteri dalam diri
12
Perasaan takut
13
A Film take By ....
14
Prioritas otak dan hati
15
Ayuna, BUKAN Maharani
16
Wanita Es
17
Wanita kutub utara
18
Wanita sekeras batu
19
Ayuna, I'am Sorry
20
Ada aku di sini
21
Ada aku di sini 2
22
Ada aku di sini 3
23
Calon atau Mangsa?
24
Tak bisa menolak
25
Life must goes on
26
Are you okay, Danu?
27
Bukan gebetan Boss
28
Sadar diri, Danu!
29
Antara Gengsi dan jual mahal
30
Antara Gengsi dan jual mahal 2
31
Kali kedua
32
Ada apa antara Danu dan Hana?
33
Seperti kerupuk yang disiram Air
34
Pemendam perasaan
35
Besi berkarat yang rapuh
36
Besi berkarat yang rapuh (2)
37
Pembelaan Danu
38
You are everything
39
You are everything (2)
40
Kali ketiga
41
Rasa yang berbeda
42
Bukan tandinganku!
43
Lima menit, Danu!!!
44
Balas budi semata
45
Aku ingin memilikinya!
46
Lima belas ribu rupiah
47
Lima belas ribu rupiah (2)
48
Obat nyamuk
49
Ungkapan perasaan
50
Satu tujuan
51
Satu tujuan (2)
52
Satu tujuan, satu hati
53
Sebuah harapan
54
Perlakuan lebih
55
Perlakuan lebih (2)
56
Perlakuan lebih (3)
57
Hanya Ayuna
58
Kenyamanan
59
Danu, kamu apakan aku?
60
Pulang atau tetap bersama?
61
Gila karenanya
62
Menjaga tanpa merusaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!