Pov. Ayuna Maharani
BRAKKKK!!!!
Aku membanting pintu dengan kuat, ketika aku melihat dirinya sedang duduk santai di dalam rumah dengan menghisap rok*k. Bisa-bisanya ia bersikap biasa saja seperti itu, seolah tak ada dosa atau rasa bersalah sedikitpun. Melihatnya begini, emosiku semakin membuncah.
"Ayuna, nggak bisa lebih kenceng lagi??"
Mas Bagus menatapku, seakan menantang akan perbuatanku ini. Karena aku sedang berada di puncak emosi, aku pun meladeninya. Baiklah, akan ku luapkan semua unek-unek yang ada di dalam hati ini.
"Untuk apa kamu pulang, hah??"
"Yuna, bukannya kamu yang nyuruh aku pulang. Kamu lupa??"
"Percuma, nggak ada gunanya kamu pulang, Mas. Itu nggak akan bisa mengubah keadaan dan ngembaliin Dinda!!!!"
Aku sungguh kesal, saking kesalnya aku pun kembali meneteskan air mata. Ingin sekali aku mencakar dan mencabik-cabik wajah Mas Bagus saat ini juga. Karena aku tidak melihat perasaan sesal sedikitpun dari wajahnya.
"Yuna, apa maksud kamu??"
Pertanyaan macam apa itu? Apa dia pura-pura tidak tahu jika aku telah kehilangan anakku? Dia benar-benar suami yang sangat tega. Kuurungkan niat awalku untuk meladeninya, aku memilih menuju ke dalam kamar karena tubuhku ini masih lelah dan butuh istirahat.
"Yuna, di mana Dinda?" Mas Bagus menarik tanganku, ketika aku ingin pergi menuju ke dalam kamar.
"Di Semarang," ucapku diiringi tangisan sesegukan.
"Kenapa? Kenapa kamu bawa Dinda ke Semarang?"
Suami macam apa Mas Bagus ini, dia benar-benar tidak peka atau hanya bersikap pura-pura? Banyak sekali dosa yang telah aku tumpuk akibat terlalu sering mengumpat dirinya. Ya Tuhan, maafkan aku.
"Pergi kamu, Mas!!!"
Aku mendorong tubuh Mas Bagus dengan kuat. Aku tidak ingin menjelaskan apapun, karena semua itu dirasa percuma Mas Bagus tidak akan pernah mengerti.
"Yuna, aku lelah. Kenapa kamu ngajak aku berantem terus, sih?"
Mas Bagus menghela nafas panjang, dengan meraup wajahnya kasar.
"Aku capek, jauh-jauh aku dateng dari Bandung, sampe rumah kamu malah marah-marah dan ngajak berantem. Di mana sih letak hati nurani kamu, Yuna??"
Kenapa Mas Bagus menyalahkanku? Apa ini adalah trik liciknya untuk lepas dari kesalahannya? Aku juga baru datang dari jauh, Mas, bahkan lebih jauh dari Bandung.
"Mas, kamu sadar nggak? Ada atau nggak ada kamu, sama aja! Aku lebih baik sendiri."
"Kamu ngelantur, hah? Kamu udah ngerasa sok, karena kamu bisa cari uang? Kamu itu benar-benar sudah jadi istri durhaka!"
Suara Mas Bagus terdengar ngilu, bisa-bisanya dia menyebutku 'istri durhaka'. Apakah dia tidak sadar, suami macam apa dirinya?
"Lalu kamu apa, Mas? Apa kamu udah ngerasa jadi suami yang baik, padahal saat pemakaman anaknya sendiri pun kamu nggak dateng??"
"A-apa? Pemakaman??"
Aku benci melihat wajah Mas Bagus saat ini. Bahkan, rasa cintaku sudah tertutup oleh besarnya rasa benciku. Sekali lagi, Tuhan, maafkan aku.
"Ayuna, apa yang terjadi dengan Dinda?"
"Kamu nanya?? Nggak ada guna lagi, Mas. Dinda udah pergi, saran aku lebih baik kamu doain Dinda, semoga dia mau maafin kamu!!"
Aku tidak tahan lagi. Aku memilih masuk ke dalam kamar daripada terus berhadapan dengan Mas Bagus. Itu semua hanya akan semakin menambah dosaku lagi.
"AYUNAAAA!!!!"
Dari luar, Mas Bagus menggedor-gedor pintu kamar dengan kuat. Aku tetap tak ingin membukanya. Aku harap, jika ada tetangga yang mendengar pertikaian kami ini, mereka akan memakluminya.
"Buka pintunya, Yuna!!!"
Masih terdengar jelas suara Mas Bagus. Tapi aku lebih memilih tetap diam dan menutup tubuhku dengan selimut.
...****************...
Pagi harinya, aku keluar dari kamar karena merasa amat lelah dan butuh menyiram tubuh dengan air. Semalam, aku tak menyempatkan diri untuk mandi dan makan. Kulihat jam dinding menunjukkan jam empat pagi, setidaknya ini adalah waktu yang baik untukku mandi dan bersiap bekerja kembali.
"Yuna, kenapa kamu nggak bilang soal Dinda?"
Suara itu lagi, aku fikir pagi ini aku bisa bebas tanpa beban di hati. Tetapi aku salah, Mas Bagus masih saja mengusikku.
"YUNA, jangan acuh begitu! Aku masih suamimu, apa kamu nggak takut dosa? Dasar keras kepala!"
"Kamu emang suami yang baik, Mas. Makasih udah ngingetin aku."
Aku lebih baik tak berdebat pagi-pagi begini dengannya, karena takut jika tetangga akan terganggu kembali. Aku juga tak ingin merusak mood yang baik dalam diriku pagi ini.
"Yuna, aku akan ke Semarang."
Biarlah dia pergi ke sana, setidaknya dia menengok tanah kuburan Dinda yang masih merah. Daripada tidak sama sekali. Semoga saja Dinda memaklumi keterlambatan Papanya ini.
Tok! Tok!
Berapa kali terdengar suara ketukan pintu. Aku mengurungkan niat untuk pergi ke kamar mandi. Karena tidak mungkin ada tamu sepagi ini jika tidak terlalu penting.
Aku mengumpulkan keberanian untuk membuka pintu depan. Aku pun menyiapkan tameng agar bisa tetap sabar menghadapi orang di luar. Dan benar saja ketika ku buka pintu itu, tamu yang tak diundang telah datang.
"Selamat pagi, kami dari kepolisian mendapat perintah untuk menahan Bapak Bagus Prasetyo atas kasus penggunaan obat-obatan terlarang," sembari menunjukkan tanda pengenal dan surat perintah, salah seorang lelaki berbicara tegas kepadaku.
Bagai di sambar petir di siang bolong, hatiku hancur berkeping-keping. Inikah kisah hidupku? Cobaan apalagi yang Tuhan berikan padaku? Aku rasa, aku sungguh tak sanggup lagi memikulnya.
Mas Bagus mengelak, namun ketiga polisi itu langsung meringkusnya, kemudian memborgol kedua tangannya.
Aku hanya bisa mematung, menyaksikan penangkapan suamiku. Tak bisa berbuat apa-apa, karena setiap kesalahan pasti akan mendapat ganjarannya masing-masing.
"Yuna, apa ini yang kamu inginkan? Tega kamu!!"
Ucapan Mas Bagus seolah menyalahkanku lagi. Padahal aku benar-benar tidak tahu tentang ketiga polisi yang datang itu. Karena bukan aku yang melaporkan suamiku kepihak kepolisian.
"Yuna, kamu akan menyesal kalo nggak membebaskanku,"
"Cepat jalan! Jika ingin memberikan keterangan, maka ikut kami ke kantor!" Perintah satu diantara polisi yang menangkap Mas Bagus dengan suara keras.
Lidahku rasanya mati rasa, tidak ada kata-kata lagi yang mampu aku ucapkan. Apakah ini sebuah awal perpisahanku dengan Mas Bagus?
Karena aku diminta untuk datang ke kantor polisi, aku sempat minta izin pada Satria untuk masuk kerja sedikit siang. Namun aku tak memberitahu hal yang sebenarnya, aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimana pun aku harus menutupnya rapat-rapat, meski aku tahu lambat laun, suatu hari nanti semua orang pasti mengetahuinya.
Aku diberi berbagai macam pertanyaan oleh pihak kepolisian. Pertanyaan-pertanyaan yang akan digunakan untuk menyelidiki kasus Mas Bagus. Polisi juga membawaku sebagai saksi, beruntunglah aku setidaknya tidak ikut terjerumus dengan kasus Mas Bagus.
Setelah selesai memberikan keterangan sejujur-jujurnya, aku membesuk Mas Bagus. Aku duduk tepat didepan Mas Bagus yang kini terlihat kucal dan lesu.
"Yuna, apa kamu membenciku?"
"SANGAT!" Ucapku yakin, karena saat ini aku memang membencinya apalagi kelakuannya.
"Jadi, kamu yang laporin aku ke polisi?" Mas Bagus sedikit berbisik.
"Bukan!"
"Jangan bohong, Yuna!!" Mas Bagus mulai mengeluarkan otot-otot lehernya, dia berbicara sangat keras hingga membuat beberapa polisi menoleh ke arah kami.
"Apa kamu nggak bisa terus menyalahkanku, Mas? Kenapa nggak kamu terima aja hukuman ini sebagai penebus kesalahan kamu sendiri?"
"Kurang ajar!" Mas Bagus hendak melayangkan tangannya ke arahku, namun entah apa yang membuatnya menghentikan aksinya itu, padahal aku sudah memasang wajahku siap menerima pukulannya yang kedua.
"Kenapa kamu nggak pukul aku, Mas?"
"Ayuna, aku coba buat terus sabar, tapi kamu malah semakin ngelunjak!"
"Heuh, kamu yang nyakitin aku tapi kamu yang ngerasa seolah tersakiti!"
Aku bangun dari dudukku, melihat jam sudah semakin siang dan aku harus segera pergi ke kantor. Kuputuskan untuk pergi tanpa pamit dengan Mas Bagus. Sikapku begini karena masih amat kesal dengannya.
"Yuna!!!"
Teriakan itu tak menjadi penghalang, aku tetap pergi meninggalkan Mas Bagus di sana.
Bukan senang atas tertangkapnya Mas Bagus, tapi aku bersyukur setidaknya dia akan menyesali perbuatannya dan bertaubat setelah mendapat hukuman ini.
Setibanya di kantor, aku mendudukkan tubuhku di kursi kerja yang sudah beberapa hari tak ku duduki. Keadaan di dalam ruangan begitu sepi, ternyata ini sudah waktunya istirahat. Mungkin seisi ruangan tengah makan siang.
Aku benar-benar lelah, bahkan perutku pun tak meronta sama sekali meski sejak semalam aku tak mengkonsumsi apapun kecuali air putih.
Lelah hati, fikiran dan ragaku ini tak bisa diungkapkan lagi. Apalagi jika ku ingat perihal Mas Bagus. Semua tentang dia begitu menyakitkan bagiku. Segala tentangnya membuatku semakin rapuh dan hancur. Mengapa nasibku begini?
Lagi, aku kembali meneteskan air mata dan menangis sesak tanpa suara di dalam ruangan yang tak ada siapapun kecuali diriku sendiri. Anakku, Dinda. Jika mengingat dia, rasa sesak ini terus mengganjal di dadaku. Sekali lagi, aku merasa telah gagal menjadi seorang Ibu yang baik.
Kuangkat kepalaku keatas, berharap air mata itu tak mengalir lagi. Namun nyatanya sia-sia, hingga aku pun memutuskan menutup wajahku dengan kedua tangan. Tangisku pun semakin tumpah-ruah. Siapapun yang pernah mengalami, tentu akan tahu bagaimana rasanya menangis tanpa suara, itu lebih sakit rasanya.
Setelah merasa lelah dan cukup, aku pun membuka kedua telapak tangan dari wajahku. Namun mataku membola seketika melihat seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri di depanku dengan menyodorkan sebotol minuman.
"Minumlah,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments