"Thank you, Lana. Aku sudah transfer ya," kata Yugo seraya memperlihatkan bukti transaksinya dari m-banking padaku.
Aku mengangguk seraya tersenyum. "Wah, thank you. Aku tak percaya kau membayarku dengan harga yang fantastis." Aku menatapnya takjub. "Apalagi kau membayarku pada Tomi juga, aku tak percaya kalau uangmu mengalir deras layaknya air dari keran." imbuhku seraya terkekeh.
"Ya, itu semua aku lakukan karena kau juga sudah bersedia untuk menjadi pacar pura-puraku. Dan aku juga khawatir mucikari itu akan mengambil keuntungan lebih sementara kau tak dapat apa-apa." ucapnya dengan begitu perhatian hingga membuatku sangat begitu terharu karena mendapati klien yang sangat begitu peka. "Oh ya, aku boleh minta nomor whatsapp mu, 'kan?"
"Untuk?" tanyaku memastikan.
"Ya, siapa tahu aku memang membutuhkan bantuanmu lagi." jawabnya seraya tersenyum.
Tanpa berpikir panjang maka aku pun langsung merogoh ponselku dan memberikan ponselku, sementara Yugo langsung meng-scan kode QR dari aplikasi whatsapp.
Setelah itu, Yugo kembali fokus menyetir sementara aku terdiam seraya memainkan ponsel.
"Sejak kapan kau bekerja seperti ini?" tanya Yugo membuka suara.
"Sudah lama," jawabku apa adanya.
"Alasannya?" tanyanya lagi.
Aku terdiam dan larut dalam pikiranku sendiri, jujur aku sama sekali tak ingin mengingat-ingat kembali apa alasan utama aku terjun dengan pekerjaanku ini.
Seakan mengerti sesuatu akhirnya Yugo pun mengalihkan topik pembicaraan dan berusaha untuk tidak menyinggung pekerjaanku.
"Ah, lupakan saja. Aku sama sekali tak bermaksud apa-apa." ucapnya seraya tersenyum tak enak.
"Tidak masalah," sahutku pendek.
Kami sama-sama diam, sebelum akhirnya secara bersamaan kami saling melirik satu sama lain lalu pada akhirnya kami sama-sama tertawa entah karena apa.
Dan sepulangnya aku, aku bergegas menuju apartemen sampai akhirnya aku dibuat terkejut saat mendapati Tomi sedang duduk di sofa dengan kedua kaki diselonjorkan di atas meja, sambil merokok. Aku menghela nafas kasar, alih-alih ingin beristirahat ternyata pria dungu itu sudah ada di dalam apartemenku. Aku lupa kalau Tomi memiliki kunci duplikat apartemenku dan rasanya aku sama sekali takkan pernah akan lolos darinya.
"Akhirnya kau datang juga," sambutnya tanpa menoleh ke arah ku sedikitpun.
Ku tutup pintu apartemen, membuka high heelsku lalu berjalan ke arahnya dengan wajah lelahku.
"Ada apalagi, Tom? Aku ingin istirahat hari ini," keluhku seraya mendesah lelah, berharap Tomi bisa memberiku pengertian sedikit saja.
"Malam ini ada pekerjaan untukmu sebagai penari skriptis di klub, aku harap kau datang."
"Apa?" kejutku seraya terperangah.
Tomi menyesap rokoknya kemudian menghembuskan asap rokok itu di udara. "Kenapa? Apa kau akan menolak?"
"Tapi aku lelah hari ini, Tom. Seharian aku—"
"Seharian apa, hem? Kau hanya dapat satu klien hari ini dan kau bilang kau lelah? Manja sekali dirimu, kalau kau ingin kaya raya maka kau jangan pernah malas bekerja!" sindirnya hingga membuatku geram.
"Tapi, Tom." rengekku mencoba meminta belas kasihan dengan memampangkan wajah memelas.
Tomi menatapku tajam, ia langsung bangkit dari posisinya sebelumnya kemudian menghampiriku dan dengan cepat langsung mencengkram rahangku kuat-kuat hingga membuatku kesulitan untuk bicara.
"Jangan pernah membantah, atau kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal dariku!" ancamnya kemudian melepaskan cengkramannya dengan kasar hingga membuatku langsung tersungkur pada ubin yang dingin.
"Ah,"
Tomi berjongkok lalu menarik rambutku hingga kepalaku tengadah dalam satu tarikan, sementara aku meringis kesakitan.
"Aku beri waktu untuk kau beristirahat sebentar lalu setelah itu kau harus bersiap-siap dan kita berangkat!" Tomi melepaskan tangannya dari rambutku dengan kasar lalu ia pun berlalu menuju meja pantry.
Aku meringis seraya mengusap kepalaku, rasanya akar dari kulit kepalaku akan tercabut semua saat Tomi menjambakku seperti itu. Gigiku bergemeletuk sementara aku pada akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaanku yang seperti ini.
Aku bergegas bangkit dari posisiku, kaki telanjangku berjalan di ubin menuju kamar. Ku tutup pintu kamarku lalu aku pun meleparkan tasku sembarang arah dan menghempaskan diriku diatas tempat tidur dengan helaan nafas panjang.
Ku menerawang langit-langit kamar, sampai akhirnya tanpa sadar air mataku pun jatuh berlinang membasahi pipi. Rasanya aku ingin mengakhiri semuanya namun entah mengapa sampai detik ini aku masih diberikan umur yang panjang. Aku tak tahu rencana apa yang sedang Tuhan persiapkan untuk wanita pendosa sepertiku, aku hanya meminta pada-Nya agar nyawaku segera dicabut saat ini juga, namun doaku tak pernah dikabulkan.
Krining .. Krining ..
Suara ponselku berdering dan aku pun segera menyambar tas ku lalu merogoh ponsel di dalamnya. Aku duduk di bibir kasur dan mendapati nomor ibuku yang kini menelpon. Aku terdiam sebentar seraya berpikir sebelum akhirnya aku pun memutuskan untuk menggeser simbol warna hijau dan mengangkat telepon.
"Halo?" sapaku setelah sambungan telepon kami aktif.
"Halo, Nak? Apakabar, Ibu sangat merindukanmu dan entah mengapa hari ini pikiran Ibu hanya dipenuhi dengan bayang-bayangmu. Apa kau baik-baik saja disana?" sambutnya diseberang sana dengan suara tersedu-sedu dan aku yakin ibu pasti sedang menangis.
"Ibu, aku baik-baik saja disini dan Ibu tak perlu mengkhawatirkan diriku. Lalu bagaimana keadaan Ibu di sana?" tanyaku lembut.
"Jujur, Ibu sama sekali sedang tidak baik-baik saja. Nak, bisakah kau pulang tahun ini? Ah, maksud Ibu bisakah kau pulang besok ke kampung. Ibu sangat begitu merindukanmu, sudah bertahun-tahun lamanya kau tak pernah pulang, Ibu ingin melihat keadaanmu secara langsung. Belakangan ini, Ibu sering mimpi buruk. Ibu … Ibu sangat merindukanmu, pulanglah, Nak." pintanya memohon-mohon di seberang sana di sela isak tangisnya yang semakin merebak.
Aku menghela nafas berat, ku hapus air mataku yang kembali berlinang. Dan jujur, permintaan ini adalah hal yang paling berat. Bukannya aku sama sekali tak merindukan ibuku tapi hatiku masih belum sembuh dari trauma, aku sama sekali masih belum bisa menerima keadaanku sampai detik ini. Jika aku bisa menghilang, aku ingin menghilang saja.
"Ibu, aku juga sangat merindukan Ibu berkali-kali lipat. Tapi, aku minta maaf karena aku masih belum bisa kembali. Mentalku masih belum bisa sembuh dari rasa traumaku, aku tak bisa memungkirinya. Hal ini mungkin terdengar egois bagi Ibu, tapi aku sama sekali tak bisa mengelak bahwa aku masih kesulitan dengan keadaanku. Apa Ibu mau tinggal denganku disini?" tawarku setelah aku berbicara dengan panjang lebar, setidaknya Ibu bisa mengerti tentang apa yang aku rasakan saat ini.
"Ibu tidak bisa, Ibu sudah terlalu tua untuk kesana-kemari. Ibu hanya ingin tenang dan melihat wajahmu setelah sekian lama, kalau hanya secara virtual seperti ini. Ibu sama sekali tak pernah puas, Ibu hanya ingin melihatmu secara langsung, Nak." mohonnya sambil sesegukan.
Lagi-lagi aku menghela nafas berat, ku pijat pelipis pelan. Rasanya terlalu pusing untuk dipikirkan, aku sama sekali tak bisa mengambil keputusan atau mengabulkan apa yang ibuku minta. Mungkin aku terdengar kejam namun aku sama sekali belum bisa berdamai dengan masa laluku. Aku hanya ingin tenang meskipun bayang-bayang terburukku selalu saja menghantui.
"I'm so sorry, tapi aku sama sekali tak bisa, Bu. Ini adalah hal terberat bagiku dan aku harap Ibu bisa mengerti." ucapku dengan nada rendah serta ekspresi wajahku yang penuh penyesalan.
Saat itu juga kudengar tangisan ibuku semakin menyayat hati hingga membuatku tak tega mendengarnya. Aku hanya bisa mendengarkan tangisan ibu yang seperti kesakitan batinnya, sementara dengan aku sendiri aku hanya bisa menangis dalam diam. Sungguh, aku tak ingin ibuku mendengar tangisanku juga karena aku tahu tangisanku malah akan membuatnya menderita.
"Aku sayang Ibu dan aku harap Ibu mengerti keadaanku dan menerima keputusanku," imbuhku serupa dengan lirihan lalu ku putus sambungan telepon itu secara sepihak. Karena jujur, aku semakin tak kuasa mendengar ibuku menangis seperti itu.
Lalu detik berikutnya giliranku yang langsung menangis histeris, membungkukan punggung lalu mengacak rambutku dengan sangat begitu frustasi bak wanita gila yang sudah kehilangan arah.
"Arghhhh!" teriakku dengan kepala tengadah dan urat leher yang timbul, setidaknya dengan cara seperti ini aku bisa meluapkan amarahku yang begitu menggebu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments