Chapter 18

Radit meminta sang supir untuk lebih dulu mengantarkan Mesya ke rumahnya meski sebenarnya ia sangat ingin membawa perempuan itu untuk pulang bersama ke rumahnya, tapi setelah turun dari pesawat tadi Rasti menelpon dan menanyakan kepulangan putrinya, ditambah melihat wajah lelah Mesya yang begitu ketara membuat Radit akhirnya mengalah dan menyimpan keinginannya.

Sampai di kediaman Mesya, Radit ikut turun bersama perempuan itu, membawa koper Mesya yang berada di bagasi. Matanya menatap sekeliling, mengamati komplek perumahannya dulu, dan tatapannya berhenti tepat di rumah yang dulu ia tempati bersama orang tuannya. Radit tersenyum kecil saat mengingat bahwa di rumah itu banyak sekali kenangan indah yang dulu dirinya lakukan dengan Mesya kecil hingga remaja.

Mengikuti langkah Mesya masuk ke dalam rumah dengan debaran di dada yang tiba-tiba saja bertambah ritmenya, padahal dulu ia biasa saja saat keluar masuk rumah ini, bertemu dengan Rasti juga Rama, tapi entah kenapa kini ia merasa deg-degan.

“Syasa pulang.” Kata itu keluar saat pintu utama Mesya buka. Rumah ini sepi, sama seperti biasanya.

Langkah kecil Mesya semakin masuk ke dalam rumah, diikut oleh langkah Radit yang menarik koper milik gadis itu. Rasti yang keluar dari arah dapur tersenyum saat melihat kehadiran anaknya dan langsung berhambur memeluk putri pertamanya itu dengan penuh sayang. Radit tersenyum kecil melihat pemandangan di depannya.

Sadar dengan keberadaan orang lain Rasti melepaskan pelukannya, menatap ke arah samping dan terkejut saat matanya menemukan wajah tampan yang dirasa dikenalnya. Mata Rasti memicing, sebelum sebuah pekikan dia keluarkan.

“Radit?” tanyanya tak percaya, Radit mengangguk seraya tersenyum ramah dan menyalami punggung tangan wanita paruh baya itu dan kemudian memeluknya dengan hangat. Pelukan Ratih memang masih sehangat dulu, pelukan seorang ibu yang begitu Radit rindukan.

“Kabar Bunda bagaimana?” tanya Radit saat melepaskan pelukannya.

“Bunda baik, Nak. Bagaimana dengan kamu? Bunda gak nyangka akan bertemu lagi. Sudah dewasa sekarang kamu, Dit makin ganteng.” Puji Rasti yang di balas senyuman oleh Radit.

“Radit juga baik Bunda,” jawab Radit. Rasti mengangguk masih tidak menghilangkan senyumnya karena bahagia bisa kembali bertemu dengan laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri. Tidak menyangka bahwa bocah kecilnya dulu yang selalu manja padanya kini sudah beranjak dewasa dengan ketampanan yang membuatnya pangling.

“Bunda lagi masak, kamu makan siang disini ya, Nak?” tawar Rasti yang diangguki Radit dengan suka cita.

“Ya udah, kalian istirahat dulu aja, Bunda mau lanjut masak, nanti kalau udah selesai Bunda panggil kalian.” Radit dan Mesya mengangguk bersamaan dan membiarkan Rasti untuk kembali ke dapur. Setelahnya Mesya mengajak Radit untuk naik mengikutinya.

Menatap sekeliling, Radit tersenyum saat mendapati rumah ini masih sama seperti dulu, tidak banyak berubah meskipun ada beberapa yang asing di penglihatannya. Beberapa pigura tertempel, menampilkan wajah cantik Mesya saat wisuda. Namun satu foto yang membuat Radit mengeraskan rahangnya dimana di sana terpangpang jelas pigura berukuran cukup besar yang menampilkan potret Mesya bersama seorang laki-laki yang Radit jelas tahu bahwa itu adalah mantan tunangan kekasihnya.

Baru tiba di tengah-tengah tangga Radit menarik pelan tangan Mesya agar wanita itu menghentikan langkahnya. “Itu kenapa belum di lepas?” tanya Radit dengan nada tak suka.

Mesya tersenyum kemudian menjawab, “belum sempat.”

Dengusan terdengar keluar dari bibir Radit yang kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Mesya dengan perasaan kesal, masuk ke dalam kamar gadis itu meski sang pemilik masih berada di tempat semula ia meninggalkannya. Hanya gelengan kecil yang menjadi respon Mesya melihat tingkah cemburu kekasihnya itu.

Menutup pintu perlahan Mesya masuk ke dalam kamarnya, terlihat di sana Radit berdiri, meneliti setiap inci kamar bernuansa putih ungu yang terlihat rapi walau di penuhi dengan berbagai macam boneka. Mulai dari keropi, panda, beruang, doraemon, coni, sampai rilakuma semua ada di sana tersusun rapi di lemari kaca dan ada juga yang diletakan di atas tempat tidur dan di lantai yang di lapisi karpet bulu, tersusun dengan apik boneka-boneka berukuran besar.

“Kamarnya masih sama, kamar anak-anak.” Kekehan geli keluar dari mulut Radit.

“Ya, masa aku buangin boneka-bonekanya, kan sayang. Semuanya tersimpan kenangan indah bersama sang pemberi.” Mesya tersenyum kecil. Radit yang melihat itu ikut tersenyum teringat dulu ia sangat suka sekali memberi gadis itu boneka. Mulai dari yang paling kecil hingga yang terbesar.

Dulu Radit selalu menyimpan uang jajannya hanya untuk membeli sebuah boneka untuk ia berikan pada Mesya. Meskipun sebenarnya Mesya tidak terlalu suka dengan barang lucu itu, tapi karena Radit selalu saja memberikannya dengan manis mau tidak mau membuat Mesya harus mengoleksi dan menyukai itu semua.

“Aku masih ingat boneka ini yang pertama kali aku kasih saat kita lagi main ayunan di taman komplek kalau gak salah usia kita masih tujuh tahun. Kamu langsung lempar boneka ini dan menjerit, bilang kalau kamu gak suka boneka dan marah sama aku.” Radit tertawa mengingat semua itu begitu juga dengan Mesya.

“Ya kamu juga udah tahu aku gak suka boneka malah kamu kasih!” Mesya memberengut kesal mengingat kejadian itu, dimana Radit malah dengan sengaja terus menerus membelikannya benda berbulu halus itu.

Radit meletakan koper kecil Mesya yang sedari tadi masih di pegangnya ke sisi dekat lemari kemudian berjalan menuju jendela dan membukanya, menatap ke seberang dimana dulu itu adalah kamarnya. Tersenyum saat lintasan kenangan dulu mampir di benaknya. Radit tersenyum saat ingatan tentang dirinya yang menyatakan perasaan pada Mesya dengan cara berteriak cukup kencang dari kamarnya.

“Sya lo tahu gak?” tanya Radit pada gadis cantik yang berada di seberang jendela kamarnya.

“Gue gak tahu, Dit kan lo belum ngasih tahu.” Jawaban polos yang sedikit menyebalkan di pendengaran Radit.

“Gue suka sama lo, Sya,” ucap Radit dengan suara yang masih sama, tidak keras namun juga tidak pelan. Mesya sempat terdiam sebelum kemudian senyum kecil terbit namun dengan cepat ia sembunyikan.

“Lo bilang apa, Dit, gue gak dengar,” kata Mesya pada remaja tampan seusianya.

“Gue suka sama lo,” ulang Radit sedikit lebih keras.

“Apa sih, Radit! Yang keras dong bicaranya, gue kan gak bisa dengar lo ngomong apa,” balas Mesya yang suaranya sengaja dikeraskan. Dalam hati ia terkekeh melihat dengusan pada gerakan bibir Radit.

“GUE SUKA SAMA LO, MESYA. LO MAU KAN JADI PACAR GUE?” Mesya terkejut mendengar teriakan yang menggelegar itu, bahkan Rasti sampai masuk ke dalam kamarnya sama terkejutnya, beberapa tetangga yang rumah nya berdekatan atau tak sengaja lewat pun mendengar itu dengan jelas. Mesya malu, tapi tidak dengan laki-laki yang harap-harap cemas menunggu jawaban perempuan cantik itu.

Mesya menoleh ke arah sang Bunda, meminta persetujuan. Hingga sebuah anggukan Mesya berikan membuat laki-laki yang berada di seberang sana mengucapkan kata hore dengan cukup keras, menutup jendela juga gorden yang membuat Mesya mengernyit bingung. Belum juga hilang kebingungannya laki-laki itu sudah menerobos masuk ke dalam kamar dengan boneka beruang berukuran besar di tangannya.

“Sekali lagi gue mau pastiin, Sya. Apa lo mau jadi pacar gue?” tanya Radit. Matanya menatap tepat pada mata almon perempuan cantik di depannya, menatap dengan sorot mata yang sarat akan keseriusan atas ucapannya. Mesya mendadak deg-degan, begitu juga dengan Rasti yang ternyata masih berdiri diantara kedua remaja itu.

“Ya, gue mau jadi pacar lo, Dit.” Jawaban Mesya yang sarat akan keseriusan itu pun membuat senyum Radit berkembang sempurna, refleks melempar sembarang boneka yang di bawanya dan memeluk Mesya dengan erat. Jelas Mesya terkejut dengan pelukan tiba-tiba itu, berbeda dengan Rasti yang kini sudah melebarkan senyumnya, ikut bahagia dengan kebahagian kedua remaja kesayangannya itu.

“Jangan lama-lama pelukannya, bukan muhrim.” Rasti menarik lengan Radit yang melingkar di tubuh Mesya. Membuat remaja laki-laki itu cemberut, namun beberapa detik kemudian melayangkan kecupan singkat di pipi kanan Mesya lalu berlari begitu saja sebelum mendapat amukan dari Rasti.

“Kamu kenapa ketawa-tawa gitu, Dit?” tanya Mesya yang baru saja keluar dari kamar mandi, sudah segar dengan wajah basah habis di cuci muka juga pakaian yang sudah ia ganti dengan kaos putih bertuliskan Paris lengan pendek di tubuhnya juga celana jeans yang panjangnya hanya sebatas paha.

Radit menggeleng. “Gak apa-apa,” jawabnya singkat seraya berjalan menghampiri Mesya. Mengecup singkat bibir yang sedikit tebal itu kemudian melemparkan tubuhnya di atas ranjang empuk milik Mesya.

“Sini, Yank,” titah Radit seraya menepuk ranjang, meminta gadis itu untuk berbaring di sebelahnya. Mesya lebih dulu menyampirkan handuk kecil yang baru saja ia gunakan untuk mengeringkan wajahnya pada tempat yang seharusnya, lalu melangkah pelan menuju tempat yang di tunjuk sang kekasih. Baru saja bokongnya mendarat, Radit sudah dengan cepat menarik tubuhnya untuk berbaring. Mesya yang terkejut mendaratkan cubitan pada lengan pria itu dan kemudian mendengus kesal.

“Hobi banget kayaknya cubit-cibit aku,” goda Radit. Mesya semakin mendengus dan berbalik membelakangi pria menyebalkan yang dicintainya itu. Melingkarkan tangan di pinggang ramping Mesya dari belakang kemudian menariknya hingga tidak ada lagi jarak diantara mereka, Radit menyerukan kepalanya di leher Mesya yang bagian belakangnya terekspos karena rambut panjang perempuan itu yang diikat ke atas. Mendaratkan kecupan kecil yang membuat Mesya bergidik dan menahan suara yang hendak keluar.

“Geli Radit!” sentak Mesya kesal, Radit hanya terkekeh kecil tidak merasa bersalah.

“Diam sayang, aku lelah, ingin istirahat. Biarkan seperti ini agar tidurku nyenyak.” Radit berbisik tepat di telinga Mesya saat perempuan cantik itu hendak menyingkirkan tangannya yang melingkar.

Mesya menghentikan gerakannya, membiarkan laki-laki itu memeluknya. Toh, Mesya tidak ingin munafik, bahwa dirinya memang nyaman berada dalam posisi seperti ini. Tak lama helaan napas teratur terdengar dari arah belakangnya, membuat Mesya yakin bahwa kekasihnya itu sudah terlelap.

Entah karena lelah atau memang pelukan Radit yang hangat dan nyaman membuat mata Mesya rasanya berat. Samar-samar suara Rasti yang memanggil untuk makan siang terdengar, tapi karena terlalu malas dan sulit membuka mata membuat Mesya memilih untuk ikut terlelap walau dalam ketidak sadarannya telinga Mesya masih dapat mendengar suara pintu yang terbuka dan beberapa detik kemudian kembali tertutup.

***

Mesya mengerjapkan matanya beberapa kali hingga matanya terbuka sempurna. Masih dalam kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Mesya menatap sekeliling kamarnya, di luar jendela hari sudah mulai gelap Mesya baru menyadari bahwa dirinya selama itu tertidur.

Saat hendak bangkit untuk mengubah posisinya menjadi duduk, gerakannya terhenti begitu dirasakan sesuatu yang berat melingkar di perutnya. Ingatannya kembali ke beberapa jam yang lalu dimana Radit yang menariknya berbaring di atas ranjang. Senyum di bibir Mesya mengembang kemudian menengok sedikit ke arah belakang punggungnya. Radit masih berada di sana dengan posisi yang menghadap punggungnya dan wajah menyeruk di lehernya.

Dengan gerakan pelan ia berbalik menjadi menghadap laki-laki tampan dengan bulu mata lentik, hidung bangir dan bibir tipisnya. Rambut hitamnya yang sudah sedikit panjang menutupi kening laki-laki itu. Entah keberanian dari mana, Mesya mengulurkan tangannya, mengelus lembut rahang tegas Radit hingga sang empunya bergerak terganggu.

Elusan Mesya naik, mengabsen setiap inci wajah Radit yang terpahat sempurna. Kembali merasakan gangguan itu, akhirnya Radit membuka mata perlahan hingga tatapannya terkunci pada manik almon milik sang kekasih yang tengah tersenyum kearahnya.

Radit menarik tubuh Mesya agar semakin dekat dengannya hingga tak ada lagi jarak diantara mereka, menyatukan bibirnya dan Bibir Mesya kemudian melum*tnya lembut. Radit selalu merasakan ada gejolak yang luar biasa saat bibir mereka bersentuhan, perasaan yang tidak dapat ia jabarkan dengan kata.

Tangan Mesya yang berada di dada pria itu meremas kuat kemeja yang dikenakan Radit, tak kala ciumannya semakin dalam. Rasa panas mulai menjalar di tubuh Radit yang kini mulai berkeringat. Tubuhnya berontak meminta lebih dari sekedar ciuman. Namun, Radit masih cukup sadar untuk tidak menuruti nafsunya. Ia tidak ingin menodai perempuan tercintanya meski jujur saja ia sangat ingin melakukan itu saat ini juga.

Sadar nafsunya semakin berada di puncak, dengan cepat Radit melepaskan pangutan bibirnya karena tidak ingin sampai hal yang iya-iya terjadi. Napas keduanya memburu dan dengan rakusnya menghirup oksigen. Radit dapat melihat sorot kecewa dari mata almon itu, ia sadar dengan apa yang diinginkan sang kekasih. Itu tidak bisa dielakan karena mereka memang dua orang dewasa dengan hasrat yang menggebu meminta pelepasan.

“Maaf sayang, aku gak mau kebablasan,” ucap Radit dengan nada menyesal, tatapannya sayu tidak jauh berbeda dengan Mesya. Radit mengecup kedua mata perempuan di depannya bergantian, kemudian turun ke hidung, kedua pipi dan berakhir di bibir sedikit tebal itu, hanya menempel, tapi cukup lama benda kenyal itu bersentuhan.

Setelah mencuci muka, Mesya juga Radit turun ke bawah saat jam makan malam tiba. Dengan menggandeng tangan Mesya, Radit berjalan menuju dapur yang masih sangat jelas ia ingat dimana letaknya. Rasti tersenyum melihat kedatangan dua orang yang di tunggunya semenjak makan siang tadi.

“Nyenyak banget, ya, tidurnya?” tanya Rasti sekedar basa basi pada kedua orang yang belum juga melepaskan genggaman tangannya masing-masing.

“Iya Bunda, Sya lelah banget makanya ketiduran. Maaf gak nemenin Bunda makan siang,” sesal Mesya yang di tanggapi anggukan juga senyuman hangat.

“Iya Bunda tahu kok kalian lelah, makanya Bunda biarin kalian istirahat. Gak nyangka sampai sesore ini. Nyaman banget kayaknya ya tidur sambil pelukan,” ucapan bernada menggoda yang Rasti layangkan membuat wajah Mesya memerah begitu juga dengan Radit.

“Sudah gak usah malu-malu gitu, Bunda tahu kalian sudah dewasa sekarang. Sini duduk, makan yang banyak, Bunda yakin kalian lapar, apa lagi tadi melewatkan makan siangnya.” Kedua orang itu mengangguk dan menuruti ucapan Rasti.

Mesya mengambil piring kosong yang berada di depan Radit, mengisinya dengan nasi komplit dengan lauknya kemudian memberikan pada laki-laki tampan yang duduk di sebelahnya. Radit menerima dengan senyum mengembang di bibirnya dan tak lupa mengucapkan kata terima kasih.

Makan malam kali ini terasa berbeda untuk Radit yang biasanya selalu makan malam seorang diri atau bersama teman-temannya bahkan kolega bisnis. Makan malam ini terasa hangat dan mengingatkan Radit pada keluarganya yang berada di Jerman. Sebelum memberikan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya pada Radit ayahnya mengatakan bahwa laki-laki baya itu ingin menghabiskan masa tuanya bersama istri di Negara kelahiran kakek. Radit tidak bisa menolak karena bagaimana pun orang tuanya membutuhkan kenyamanan di usia tuanya.

Selesai makan malam, Radit dan Rasti mengobrol sebentar membahas tentang bagaimana kabar keluarganya, hingga saat waktu menunjukan pukul sepuluh malam Radit pamit untuk pulang.

Mesya mengantar kekasihnya itu hingga depan dimana mobil Radit terparkir, supirnya yang masih asik mengobrol di pos satpam segera menghampiri Radit, membuka kunci mobil dan masuk lebih dulu.

“Besok kamu jangan berangkat dulu sebelum aku jemput.” Mesya mengangguk mendengar titahan sang kekasih, lagi pula mobil Mesya berada di rumah Pria itu jadi tidak ada alasan untuk Mesya menolak.

“Kamu hati-hati di jalannya, kabari aku kalau udah sampai,” pesan Mesya yang kemudian diangguki pria tampan itu.

Sebelum memasuki mobil, Radit menyempatkan untuk mengecup kening dan juga bibir sang kekasih, setelah itu barulah menaiki mobilnya.

Mesya melambaikan tangan dan memberikan senyum manisnya hingga mobil yang membawa Radit tidak lagi terlihat. Mesya melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam rumah sekaligus mengunci pintu. Rasti ternyata masih duduk di ruang tengah dengan keadaan televisi yang tidak menyala.

“Bunda belum tidur?” tanya Mesya duduk di samping Rasti. Wanita setengah baya itu menggeleng pelan seraya menampilkan senyum hangat khas seorang ibu.

“Bunda nunggu kamu, mau interogasi tentang hubungan kamu sama Radit,” ucap Rasti yang sudah mengalihkan tatapannya pada sang putri pertama, menatap penasaran.

“Kamu pacaran lagi sama Radit, Kak?” langsung Rasti menebak. Mesya mengangguk pelan, membenarkan. Senyum di bibir Rasti mengembang sempurna.

“Sudah Bunda duga. Memang jodoh itu gak akan ke mana, selama apa pun kalian berjauhan, jika memang jodohnya pasti akan kembali. Status kamu padahal sudah menjadi tunangan laki-laki lain, tapi lihatlah jika memang kalian tidak berjodoh tetap saja hubungan yang sudah seerat apapun juga akan dengan mudah terlepas.” Mesya mengangguk membenarkan ucapan sang Bunda

Terpopuler

Comments

Netty S

Netty S

aduh bunda,,anakny TDR ma cowo nyantai bgt,,,😅

2022-01-04

0

Indahsu

Indahsu

Mak nya jaman now banget yaa😅 Mak gue klo liat gue kek gtu dan di siram pakai air, di sidang, trus di nikahkan kali yaa 😅

2021-09-02

0

Nurul Aini

Nurul Aini

up

2021-07-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!