Chapter 3

Acara wisuda baru saja selesai terlaksana, membuat Mesya begitupun Aldrich dan Mina serta Rima yang memang di wisuda di hari yang sama amat bahagia. Kebahagian Mesya bertambah saat Rama sang Ayah dan juga Nasya sang adik yang sudah lama tak bertemu ikut hadir dalam acara wisudanya. Begitu juga Nilam yang tak lain adalah istri baru sang ayah yang dinikahinya lima tahun lalu ikut hadir meski tidak sama sekali ia harapkan.

Setelah selesai berfoto bersama keluarganya kini giliran Mesya berfoto dengan sang kekasih juga sahabat-sahabatnya secara bergantian. Buket bunga juga boneka yang Aldrich berikan selalu dalam genggaman Mesya hingga selesai berfoto bahkan ada juga foto dengan pose seperti mereka tengah melakukan pre-wedd juga lamaran dimana Aldrich yang berlutut di depan Mesya yang tengah berdiri sambil mengulurkan sebuah buket bunga mawar yang dirangkai begitu cantik.

Selesai dengan semua itu akhirnya mereka bubar bersama orang tua masing-masing. Mesya selesai berpamitan dengan Aldrich dan ibu juga adik-adiknya langsung menghampiri sang bunda yang sudah menunggu di parkiran.

Nasya, adik Mesya kini sudah berumur 17 tahun baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan baru tahun ini akan masuk kuliah memutuskan untuk satu mobil bersama kakak juga sang bunda, sedangkan Rama satu mobil bersama istri juga anaknya yang berusia empat tahun.

“Kak Sya, Bang Radit gimana kabarnya?”

Tubuh Mesya sejenak menegang kemudian perempuan cantik itu mengalihkan tatapannya ke arah samping dan menyandarkan kepalanya pada jendela, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan sang adik. Rasti yang menyadari keadaan anak pertamanya yang berubah murung segera menoleh pada anak bungsunya dan menggeleng kecil. Helaan napas pelan Nasya keluarkan kemudian ia mengangguk mengerti dengan maksud sang ibu.

Tiga puluh menit kemudian mobil yang di kendarai Pak Maman yang tak lain adalah supir Rasti menghentikan mobilnya tepat di depan restoran mengikuti mobil Rama yang lebih dulu berhenti di parkiran.

Rasti asyik mengobrol dengan Nilam begitu akrab, terlihat seperti sahabat. Tidak ada canggung sebagaimana seharusnya mantan istri dengan istri baru yang kebanyakan mungkin akan saling membenci. Nasya asyik bersama adik tirinya yang entah siapa namanya, karena Mesya tidak pernah peduli dengan itu.

Semenjak perceraian kedua orang tuanya dan kabar bahwa sang ayah menikah lagi membuat Mesya kecewa dan hingga saat ini hubungan ayah anak itu tidak terlalu baik. Berbeda dengan Nasya yang lebih bisa menerima dan dapat berlaku baik-baik saja. Entah benci atau apa yang Mesya rasakan kepada sang ayah karena buktinya hingga saat ini Mesya tidak pernah menolak kehadiran Rama juga tidak menentang pernikahan ayahnya dengan wanita dewasa yang berusia dua tahun di bawah sang Bunda, hanya saja semenjak perpisahan itu terjadi Mesya lebih banyak diam dan hanya akan mengeluarkan suara ketika di tanya itu pun hanya jawaban singkat.

Rama jelas memperhatikan raut murung di wajah cantik putri pertamanya, makanan yang ada di depannya hanya ia aduk-aduk dengan tidak bernapsu, kepalanya menunduk tidak menikmati makan siang yang tengah mereka lakukan saat ini.

“Kak, kamu kenapa?” tanya Rama yang sudah gatal sedari tadi. Tak ada jawaban meski hanya anggukan atau pun gelengan.

“Syasa?” panggil Rama sekali lagi. Wanita cantik berusia dua puluh dua tahun itu mendongak menatap sang ayah.

“Kamu kenapa? Gak enak badan?” tanya Rama dengan raut khawatir.

Mesya menggeleng. “Sya, baik-baik aja kok, Yah.” Jawabnya tersenyum singkat lalu meneguk jus pisang di depannya.

Nasya yang tengah menyuapi es krim pada adik tirinya itu langsung menoleh pada Mesya yang duduk di sebelahnya. Memperhatikan sang kakak yang sepertinya tengah melamun. Teringat akan pertanyaan yang tadi ia keluarkan saat di mobil membuat Nasya meringis kecil menyalahkan dirinya sendiri yang sempat menyebutkan nama laki-laki yang selalu membuat mood sang kakak memburuk.

“Habis ini kamu mau langsung kerja apa istirahat dulu?” tanya Rama setelah menyelesaikan makannya.

“Sya mau langsung kerja, Yah.”

Senyum Rama terbit begitu sempurna kemudian berkata, “ya udah, besok senin kamu langsung ke kantor. Ayah sudah siapkan posisi untuk kamu tempati.”

“Syasa mau melamar kerja ke kantor lain, bukan kantor Ayah.” Jawabannya sukses menyurutkan senyum Rama dengan perlahan.

“Kenapa?”

“Sya pengen mandiri, Yah.”

“Ayah gak akan larang kamu untuk mandiri, Kak. Kamu akan Ayah tempatkan kamu jadi karyawan biasa dulu untuk belajar, nanti setelah kamu di rasa cukup mampu baru akan menggantikan Ayah di kantor.”

Mesya menggelengkan kepala. Sekali lagi ia menolak. “Di kantor Ayah hampir semua karyawan mengenal Sya, dan kemungkinan besar mereka akan merasa segan dan sungkan. Tolong, Yah, jangan paksa Syasa. Sya juga pengen ngerasain susahnya mendapat pekerjaan, berjuang bersama calon-calon pekerja lainnya dan mendapat perlakuan yang seharusnya didapat seorang karyawan.”

Rama menghela napas dengan berat, sedikit merasa kecewa dengan keinginan sang putri tertua meski terselip rasa bangga. Rasti menoleh pada mantan suaminya itu menatapnya dengan memohon agar menyetujui keinginan Mesya. Ia cukup tahu bagaimana anak gadis pertamanya yang memang tidak pernah bisa merubah apa yang sudah di putuskan.

Pukul empat sore Mesya dan Rasti baru saja sampai di rumah. Hari ini Mesya benar-benar tidak banyak mengeluarkan kata, perempuan cantik itu lebih banyak melamun dan wajahnya pun selalu murung. Perayaan yang sebenarnya di tujukan untuk sang anak tertua pun tidak begitu berjalan dengan lancar karena sang ratu acara malah lebih memilih diam. Itu sebabnya Rasti memilih untuk membawa Mesya pulang meskipun Rama berencana untuk mengajak jalan-jalan dulu.

“Bunda, Kakak ke kamar ya, mau istirahat.” Pamit Mesya mengecup pipi sang bunda dengan singkat kemudian menaiki tangga tanpa menunggu jawaban Rasti.

Sesampainya di kamar Mesya langsung membaringkan tubuhnya setelah mengunci pintu kamar terlebih dulu. Hanya berdiam diri menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Pikirannya sedari tadi bertanya-tanya tentang bagaimana kabar laki-laki itu. Pertanyaan yang sama dengan yang di tanyakan sang adik tadi siang.

Drett… drett… dret.

Deringan yang berasal dari ponsel di dalam tas kecil yang tergeletak begitu saja di ranjang mengalihkan Mesya dari lamunannya. Sebuah pesan dari Aldrich yang mengatakan bahwa pria itu akan datang kerumahnya besok malam. Dengan cepat Mesya membalas, menyetujui kedatangan kekasihnya itu. Setelah pesan terkirim, Mesya bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi membesihkan make up yang di kenakannya sedari tadi pagi juga membersihkan tubuhnya yang sudah lengket karena keringat.

Sambil mengeringkan wajah ia melangkah menuju jendela, membuka lebar-lebar kaca bening itu hingga menampakan sebuah taman samping yang di rawat dengan baik oleh Rasti. Kaca jendela di seberang sana masih juga tertutup, sama seperti empat tahun yang lalu. Waktu itu Radit pernah berkata bahwa rumah itu akan di jual, tapi ternyata tidak ada juga keluarga baru yang pindah mengisi rumah itu.

Hanya sesekali Mesya melihat dua orang paruh baya yang datang dan saat Mesya tanya mengatakan bahwa wanita baya dan lelaki baya itu akan membersihkan rumah tersebut sesuai titah sang pemilik rumah. Mesya hanya mengangguk dan tidak bertanya lebih banyak.

Puas menatap Mesya kembali menutup jendela juga gordennya karena hari memang sudah beranjak malam. Empat tahun berlalu nyatanya ingatan tentang Radit tidak sepenuhnya lenyap dari pikiran dan hati Mesya apalagi ketika ada seseorang yang menyinggung tentang laki-laki itu.

♥♥♥

Dengan wajah yang lebih segar akibat air dingin yang ia usapkan sendiri pada wajahnya, Mesya menuruni anak tangga masih dengan pakaian tidurnya. Berjalan menuju dapur dan mendapati Rasti yang baru saja menyimpan mangkuk kaca berukuran cukup besar berisi nasi goreng yang masih mengepul dengan bau harum yang membuat perut Mesya berbunyi dengan nyaring.

“Selamat pagi, Bunda,” sapa Mesya mengecup pipi kiri Rasti sebelum akhirnya duduk di kursi makan.

“Pagi juga sayang.” Balas Rasti tersenyum lembut kemudian ikut duduk berhadapan dengan Mesya.

“Bunda, nanti malam katanya Aldrich mau main ke sini,” ucap Mesya di tengah-tengah suapannya.

“Ya udah, kalau gitu nanti Bunda masakin sup ikan Nila sama orek telur kesukaan pacarmu itu.”

“Masa yang di masak kesukaan dia aja, kesukaan aku enggak!” protes Mesya cemberut. Rasti hanya terkekeh kecil mendengar protesan yang dilayangkan anak tertuanya itu. Anak gadis berusia dua puluh dua tahunnya ini selalu protes jika Rasti mengatakan akan memasakan makanan favorit dari kekasihnya.

“Kamu ‘kan Bunda masakin setiap hari, Kak. Masih aja cemburu Bunda masakin pacar kamu.” Rasti menggeleng-gelengkan kepalanya seraya kembali melanjutkan makannya.

“Kak, kemungkinan besar Radit juga sudah selesaikan kuliahnya, apa dia masih gak ada ngehubungin kamu? Siapa tahu dia pulang lagi ke sini,” ujar Rasti. Mesya yang baru saja menyuapkan makanannya langsung tersedak mendengar ucapan sang bunda. Menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu dengan tatapan memohon.

“Kalau seandainya dia benar-benar kembali bagaimana?” tanya Rasti tidak menyadari raut wajah anak tertuanya yang sudah berubah murung.

“Bunda, please jangan buat Kakak bad mood!”

Terpopuler

Comments

Praised93

Praised93

terima kasih

2023-11-01

0

Netty S

Netty S

ksihan Al klo Mesya kmbali PDA Radit,,secara Al kliatan tulus

2022-01-03

1

Suhargi Ani

Suhargi Ani

susah nya melupakan mantan

2021-07-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!