Hari ini, adalah hari yang buruk dalam hidup Shanum. Bagaimana tidak, disaat semua wanita berbahagia menyambut kelahiran bayi mereka tapi tidak dengan Shanum. Perasaan cemas dan bingung membuatnya pusing dan stres. Suaminya Devan Agya Mahendra berkata; akan menceraikan Shanum kali ini, jika anak yang dilahirkannya berjenis kelamin perempuan lagi.
Hari kedua Shanum dirumah sakit, pasca melahirkan. Namun wanita itu tetap tidak mau melihat anaknya, apalagi menyusuinya.
"Shanum, sudah merasa lebih baik?" tanya dokter Hana siang itu, saat hendak mengontrol kondisi Shanum.
"Tubuhku baik-baik saja, dok! Aku ingin secepatnya pulang," rengek Shanum.
"Bagaimana, apakah keputusanmu sudah bulat, untuk menyerahkan bayimu pada orang lain," ulang dokter Hana lagi.
Shanum diam sejenak. Matanya kembali berkaca-kaca, lalu dia berkata,"Ya Dok, aku yakin, aku tidak akan membawa anakku pulang kerumah."
"Bagaimana jika suamimu menanyakannya?"
Shanum tersenyum getir.
"Dia tidak akan peduli, dok! aku akan bilang kalau anakku meninggal," Shanum memandang dengan nanar keluar jendela kamar tempat dia dirawat. Jahat dan egois, itulah yang ada pada diri Shanum sekarang.
"Aku terpaksa melakukannya, dok! demi kebaikan dan kebahagiaan anakku. Seandainya, jika aku membawa bayi itu kedalam keluarga Mahendra, pastilah nyonya Sonia tidak akan mengizinkanku merawatnya. Seperti yang dilakukan nyonya Sonia terhadap ketiga anakku sebelumnya,"tutur Shanum.
Dokter Hana menarik nafas perlahan, dia memahami apa yang telah terjadi pada diri Shanum. Dokter Hana mengangguk pelan.
"Aku sudah menemukan orang tua adopsi yang tepat untuknya, tapi ada surat pernyataan yang harus kau tandatangani," ujar dokter Hana.
"Aku akan menandatanganinya, Dok!"
"Kalau begitu, besok sebelum pulang, datanglah ke ruanganku!" titah dokter Hana.
"Baik, Dok!" jawab Shanum.
Shanum melangkah dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit, menuju ruangan dokter Hana yang berada di sayap kiri komplek Rumah Sakit Bersalin Sayang Bunda tersebut.
"Silahkan ditandatangani, Shanum!" perintah dokter Hana, sambil menyodorkan selembar kertas dan pena. Dengan cepat Shanum menandatangani surat pernyataan adopsi itu, tanpa membaca lagi isinya. Shanum tidak ingin mengetahuinya.
"Kau tidak ingin melihat anakmu sekali saja!" tawar Dokter Hana. Lagi-lagi Shanum menggeleng. Shanum merasa, lebih baik baginya, untuk tidak melihat bayi itu, agar hatinya tidak meragu.
Setelah menandatangani surat pernyataan dan membayar seluruh biaya rumah sakit, Shanum segera keluar dari ruangan itu dan bersiap untuk pulang.
...****************...
Dengan langkah tertatih-tatih, Shanum berjalan memasuki rumah besar kediaman keluarga Mahendra. Sebuah mobil Range Rover berwarna putih, terparkir dihalaman rumah. Sepertinya Devan ada dirumah siang itu, setelah tidak pulang sejak beberapa hari yang lalu.
"BUNDAAA ...!" panggil sikembar Shera dan Shena, menyambut kedatangan Shanum didepan pintu masuk rumah. Semua yang ada diruang tamu melihat kearah Shanum. Disana juga duduk seorang wanita cantik dan sexy berambut panjang duduk bersama Devan dan Nyonya Sonia serta putri sulungnya, Jasmine. Wanita itu menatap sinis kearah Shanum.
"Sayang, kalian baik-baik saja, kan!" Shanum memeluk kedua putrinya itu erat.
"Iya, Bunda! mana adek bayinya ?" tanya sikecil Shena.
"Maafkan Bunda, nak! adek bayinya sudah dijemput oleh Allah dan dibawa ke surga," kata Shanum sedih.
"Kenapa adik bayi dibawa ke surga, Bunda? kenapa Bunda tidak membawanya pulang?" si kembar Shena menarik tangan Shanum, sepertinya anak itu itu tidak mengerti apa yang Bundanya maksudkan.
"Adik bayinya meninggal, Shena. Dia sudah pergi meninggalkan kita," ucap Shanum membelai wajah putri kembarnya yang sudah berusia 4 tahun.
"Adik bayinya laki-laki atau perempuan, Bunda!" tanya Sheira.
"Adiknya laki-laki sayang, tapi dia pergi karena tidak ada yang menginginkan kehadirannya dirumah ini, " ujar Shanum dengan sengaja menaikkan nada suaranya. Devan menatap tajam kearahnya, laki-laki itu bangkit dan menghampiri Shanum.
"Apa katamu? bayimu laki-laki ? lalu mana jasadnya?" bentak Devan menarik tangan Shanum dengan kasar.
"Sudah di makamkan oleh pihak rumah sakit!" ujar Shanum ketus.
Devan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Sayang, jangan marah begitu pada Shanum, sebentar lagi anak kita akan lahir, anak kita sudah pasti laki-laki, kan," Wanita yang bersama Nyonya Sonia itu, menghampiri Devan dengan senyum jahatnya.
Shanum memandang kearah wanita itu dan mencoba untuk tetap tenang, namun jauh di lubuk hatinya merasakan sakit yang tidak terlukiskan. Dia ternyata adalah istri pilihan Nyonya Sonia, bernama Vania.
"Devan, ceraikan aku!" ujar Shanum, Shanum menghamba. Laki-laki itu diam tak bergeming.
"Aku tidak tahan lagi, Devan ! biarkan aku pergi, aku akan membawa sikembar bersamaku,"
"Kau tidak boleh membawa keturunan keluarga Mahendra keluar dari rumah ini, kalau kau ingin pergi, pergi saja!" Sarkas Tuan Adam Mahendra keluar dari kamarnya, saat mendengar suara ribut diruang tamu.
Shanum hampir tidak percaya dengan ucapan laki-laki Arogan itu.
"KENAPA KALIAN TEGA MEMISAHKAN KU DARI ANAK-ANAKKU, APA SALAHKU !" Teriak Shanum marah.
"KARENA KAU TIDAK AKAN MAMPU MERAWAT MEREKA, KAU HANYA SEORANG PEREMPUAN KAMPUNG YANG TIDAK BERPENDIDIKAN !" cela nyonya Sonia dengan keras.
"SIAPA BILANG AKU TIDAK BISA MERAWAT ANAKKU!, KALIAN YANG TIDAK MENGIZINKANKU MENYENTUH MEREKA, MENJADI SEORANG IBU TIDAK MEMERLUKAN IJAZAH NYONYA SONIA YANG TERHORMAT!" tantang Shanum.
"CUKUP SHANUM...! AKU AKAN Menceraikan mu, TALAK TIGA!" ucap Devan menekankan. Membuat Nyonya Sonia tersenyum lebar. Begitu juga dengan Vania, istri barunya. Sementara Jasmine putri sulung Shanum, hanya memandangi drama keluarga itu dari lantai atas.
"Dengan senang hati, aku pergi dari neraka ini, Tuan Devan Agya Mahendra. Terima kasih, sudah memberiku pelajaran hidup yang berharga ini, aku tidak akan melupakannya," ucap Shanum dengan tegar. Wanita itu berbalik, dan pergi tanpa menoleh lagi kebelakang, menyeret tas kopernya yang dibawa sejak dari rumah sakit. Tanpa menghiraukan kedua putri kembarnya yang menangis memanggil Bundanya.
Shanum menaiki sebuah Taxi yang kebetulan lewat didepannya. Tangisnya pecah begitu duduk didalam Taxi, membuat sang sopir kaget dan heran. Namun sopir itu hanya diam sambil menyodorkan tisu ketangan Shanum.
"Terimakasih, pak !" ucap Shanum sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.
"Mau kemana, Non ?" tanya sang supir, setelah tangisan Shanum mereda.
"Ke terminal, Pak !"
"Baik Bu...!"
...----------------...
POV SHANUM
Namaku Shanum Anindira, orang-orang memanggilku dengan nama Shanum. Aku adalah seorang anak yatim piatu, sejak aku berumur 12 tahun. Kedua orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan jalan raya, saat hendak pergi ke acara pernikahan teman kantor ayah dikota Bandung. Hidup sendirian, membuatku harus berhenti sekolah dan berjuang untuk mencari nafkah sendiri sekedar untuk makan dan membayar tagihan listrik dan air. Untunglah tetangga rumahku sangat baik dan mengasihi ku.
"Shanum...! ini mak bawain nasi uduk buat kamu," Mak Ningsih menghampiriku, saat aku sedang menyapu di teras rumah.
"Terimakasih, Mak! Dagangannya dah habis Mak?"tanyaku.
"Alhamdulillah laris manis," sebuah senyuman terlukis diwajah tua itu.
"Syukurlah Mak, oh ya Mak, ada kerjaan nggak buat Shanum?" kataku pada Mak Ningsih yang masih berdiri didepan rumahku.
"Mmmh, kerja apa ya Num ? " Mak Ningsih tampak berfikir sejenak.
"Apa saja boleh, Mak! asal halal," ujarku.
"Besok Mak tanyain dulu sama orang-orang di pasar, kalau ada yang mau memberimu pekerjaan." lanjut Mak Ningsih.
"Ya Mak ...!" jawabku singkat.
Di Usiaku yang masih muda, aku sudah bekerja untuk mendapatkan uang. Aku bekerja disebuah Cafe, pemiliknya adalah seorang wanita bernama Bibi Soraya, aku memanggilnya Bibi Raya.
Awalnya, dicafe milik bibi Raya aku bekerja sebagai tukang cuci piring dan membantu bibi Raya membersihkan sayuran dan lauk pauk yang mau dimasak. Tapi sekarang aku sudah bisa masak dan meracik minuman yang enak untuk bisa dijual kembali.
Aku betah bekerja ditempat bibi Raya, wanita berusia 60 tahun itu sangat baik padaku, dan memperlakukanku seperti putrinya sendiri.
"Shanum, kamu sudah bisa masak nasi goreng ?" tanya bibi Raya, siang itu saat jam istirahat.
"Sudah bi,...aku bisa belajar dengan cepat, karena bibi mengajariku dengan sabar," ucapku tulus.
"Baguslah kalau begitu, bibi sekarang bisa mengandalkan mu, jika suatu saat bibi pergi, kamu bisa menggantikan bibi dicafe !" tutur Bibi Raya tersenyum manis padaku.
"Memangnya, bibi mau kemana?" tanyaku ingin tahu.
"Ke Jakarta, soalnya, anak bibi ada yang mau lahiran, jadi bibi harus kesana. Mungkin sekitar 3 bulan lagi!"
"Oh, masih lama ya bi, aku masih bisa banyak belajar...aku pasti bisa !" tekadku.
"Bibi senang dengan semangatmu, Num, mudah-mudahan kamu bisa sukses nantinya jika bibi tidak ada disini !"
Bibi Raya, selalu mengajarkan bukan hanya tentang memasak, tapi juga tentang hidup dan cara berbisnis kuliner. Dan dia bangga dengan kemampuanku dalam mempelajari semua yang wanita cantik itu ajarkan.
Awalnya, dicafe milik bibi Raya aku bekerja sebagai tukang cuci piring, dan membantu bibi Raya membersihkan sayuran dan lauk pauk yang mau dimasak. Tapi sekarang aku sudah bisa masak dan meracik minuman yang enak untuk bisa dijual di cafe bibi Raya.
Dengan bekerja di cafe, setidaknya aku tidak pusing untuk memikirkan uang makan, karena bibi Raya memberiku jatah makan siang dan juga makan malam. Dan jika ada ada makanan yang berlebih, aku akan membawakannya untuk Mak Ningsih, tetanggaku yang juga tinggal seorang diri.
Saat ini, aku sudah berusia 22 tahun, ...aku tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan mempesona. Banyak pria di desa yang ingin melamar ku menjadi istri mereka. Namun aku tidak menggubris rayuan itu, karena aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai.
POV OFF
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Gupron Gupron
thor saya ingatkan kalau buat novel jabg pake pov pemeran utama gak enak dibaca pake kata aki jadi males asu
2024-11-17
0