"Orang gila! ngapain coba ikut campur, terus nyalahin pula.."
Aku terus menggerutu sepanjang jalan menuju ke tempat dimana sepeda pancal ku parkir kan.
Aku berjalan sambil menundukkan kepala, menatap kakiku yang menendang-nendang pasir. Tanpa khawatir akan menabrak orang.
brukk~
"Aww~ kesialan apa lagi ini!?"
"Abisnya mbak ngoceh-ngoceh gak jelas.. mana sambil nunduk pula!"
Aku menengadahkan kepala ku. Ternyata itu Hendra, adik sepupuku.
Aku masih mengusap hidungku yang mungkin sudah berubah wujud. Ku tatap Hendra yang beberapa senti lebih tinggi dariku itu.
Dia tumbuh dengan baik, buktinya dadanya bisa sekeras itu.
plak~
Ku pukul pelan dada nya itu, "Kalo hidung mbak pesek gimana? kamu mau tukeran hidung?" tegur ku yang ditanggapi tawa olehnya.
"Emang udah pesek.." ujar Hendra seraya mencubit hidung ku dan kabur setelahnya.
"Dasar bocah kurang ajar! berhenti gak kamu!" teriakku.
Langkah pendek ku tidak dapat menyamai langkah kakinya yang lebar. Ditambah lagi dengan pasir pantai yang membuat langkahku terasa berat.
"Hendra! berhenti di sana! awas aja kalo kena.." ancam ku.
"Blweekk! nangkap aja gak bisa kok ngancam.."
Dia menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. Argh..dia membuat ku semakin kesal. Aku menyerahkan seluruh tenagaku untuk berlari.
Sedikit lagi Luna.. aku mengulurkan tanganku sambil terus berlari. Lari ku semakin kencang setelah keluar dari kawasan berpasir itu.
hap!
Yes! kena dia.
"Kena kan!" seru ku.
Tubuhnya membungkuk menyamai tinggiku, dengan kepala yang berada di bawa tempeleng ku. Puas sekali aku..
Aku tertawa bangga karena berhasil menangkapnya, dia pun ikut tertawa.
Mungkin aku terlalu angkuh, aku terlalu bebas. Sampai-sampai aku lupa dengan perkataan apa yang selalu ku dapatkan. Lupa bahwa ada tali pengekang di leherku.
"Luna!"
Suara bentakan itu mengagetkan ku dan Hendra. Senyum di wajah kami mulai memudar saat melihat sosok yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang kami.
"Tertawa seperti itu untuk apa!?"
"Kamu itu janda, jangan gatelan.. ketawa sembarangan di sana sini, siapa yang ingin kau rayu!?"
Baskara Subandono. Anggap saja beliau keluarga ku satu-satunya saat ini. Beliau adalah adik kandung satu-satunya dari almarhumah Ibuku, yang tidak lain adalah Om ku.
Setelah Surya meninggal dan Ayahku yang menghilangkan jejak, Anik yang merupakan istri Om ku itu mengajakku untuk tinggal bersama di rumah mereka.
Aku tidak ada pilihan lain lagi selain mengikuti nya. Karena aku sudah tidak memiliki apa-apa. Harta peninggalan Surya semuanya dirampas oleh Ibu tirinya.
Beliau bilang aku tidak berhak mendapatkan sepeserpun karena aku tidak mempunyai keturunan dengan Surya.
Rumah yang ku tinggali bersama Surya, hanya itu yang tersisa. Karena Surya membeli rumah itu atas namaku. Aku juga baru mengetahuinya saat Ibu tiri Surya merampas sertifikat rumah itu.
Namun aku tidak ingin tinggal di sana. Aku tidak ingin tinggal di sana sendiri dengan bayang-bayang nya. Aku tidak ingin menghukum diriku sendiri karena merasa bersalah.
Aku mengikuti keluarga Om ku tanpa tahu jelas, sisi lain seperti apa yang ada pada diri mereka. Dan ternyata sifat itu cukup membebani ku.
Gila kehormatan.
Seorang janda yang selalu mendapat cacian dari mereka ini tidak dapat melakukan apapun selain diam.
"Ayah kok ngomong kayak gitu sih sama mbak Luna!?" tegur Hendra yang membuatku mengangkat kepala saking kagetnya.
"Kamu juga! jangan ikut campur urusan orang dewasa. Ayah cariin kamu kemana-mana ternyata main ke sini! Minggu depan kamu sudah ujian kenaikan kelas, bukannya belajar malah keluyuran!" tegas Om ku pada putranya itu.
Ayolah Dra, tidak bisakah kamu diam saja? Kita pergi saja dengan tenang, jangan memancing emosinya. Tapi hal itu tidak dapat ku harapkan dari anak 17 tahun yang masih labil itu.
Aku menggenggam pergelangan tangannya berencana mengajaknya pergi sebelum masalah ini semakin panjang.
"Ini salah Luna, Om. Luna yang ajak Hendra ke sini. Maaf. Luna akan ajak dia pulang sekarang,"
Aku membungkuk meminta maaf, kemudian menarik Hendra pergi. Namun kekuatan yang cukup besar itu berhasil menghentikan langkah ku.
"Enggak!"
Hendra menghempas tangan ku. Dia berbalik dan menghadap Ayahnya dengan tatapan yang tegas dan berani.
"Hendra yang ajak mbak Luna kesini karena setiap hari dia hanya mengurung diri di kamarnya. Dia bukan hewan yah, dia juga bukan tahanan, ayah tidak berhak unt~"
plak!!
Aku membelalakkan mata. Tidak menyangka Om akan melakukan hal kasar seperti itu. Om menampar Hendra. Dapat ku lihat cap tangan merah di wajah rupawan nya itu.
"Ayah tidak pernah mengajarkan mu untuk menatap orang tua seperti itu!" bentak Om.
Karena suara keras Om, hampir semua tatapan tertuju pada kami layaknya tontonan seru.
Hendra menundukkan kepalanya. Namun sesuatu yang tampak berbahaya di bawah sana membuatku khawatir.
Tangannya mengepal kuat-kuat hingga otot tangannya menonjol jelas. Hendra anak yang nekad, jika aku membiarkannya saja mungkin dia akan melakukan hal di luar perkiraan ku.
"Kami pulang dulu, Om.."
Aku menarik Hendra untuk pergi. Dia sempat menolak dan malah menatap mata Ayahnya dengan tajam.
Aku dalam masalah besar jika ini terus berlanjut. Aku menutup matanya dengan telapak tanganku, dengan sebelah tanganku yang lain menempeleng kepalanya. Lalu membawanya pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments