...Recognize You by VizcaVida...
...Happy reading...
...🌼🌼🌼...
Ade menyiapkan sebuah kemeja dan celana yang hendak ia pergunakan ke kantor. Kemarin malam setelah melakukan panggilan telepon, Erika sempat menghubunginya dan memberitahu jika istrinya itu sudah menyiapkan setelan kerja yang bisa dikenakan oleh Ade untuk hari ini. Sebuah kemeja biru langit, sebuah celana biru dongker dan jas berwarna senada. Tidak lupa dasi yang juga sudah di setrika licin tinggal pasang.
Ia tau, istrinya itu seorang wanita yang menyukai kebersihan dan kerapian, dengan kata lain perfeksionis dalam hal apapun. Untuk itu, Erika selalu memadu padankan apa yang cocok dan tidak di badan Ade. Wanita itu bahkan tidak keberatan kehilangan uang untuk membeli perlengkapan yang diperlukan Ade agar terlihat sempurna di tempat kerjanya.
Terlepas dari itu, Erika juga bisa menjadi sosok yang posesif jika Ade terlihat sering pulang malam. Ia tidak mau kecolongan kalau-kalau Ade main belakang, alih-alih bicara jujur minta nikah lagi.
Memikirkan hal itu, ucapan Erika semalam kembali terbesit dalam ingatan dan pendengaran Ade.
Erika berkata jika dia akan memberikan izin jika memang Ade menginginkan seorang anak, yang tentu saja bukan dari rahim Erika. Mereka juga pernah membahasnya belum lama ini, namun harus berakhir dengan perbedaan pendapat, saling tidak saling sapa, dan juga diam beberapa hari.
Ade menyugar rambutnya dengan Pomade, lalu menatanya dengan jari sebelum menyisirnya. Tidak ada yang membantah ketampanannya, namun Ade sendiri tidak pernah menghiraukan itu. Pujian sembunyi-sembunyi yang sering ia dengar di kantor, tak pernah ia gubris. Bahkan jika ada yang terang-terangan mendekatinya, Ade akan dengan terang-terangan juga mengultimatum dengan penolakan. Baginya, Erika tidak akan tergantikan.
Nama Erika, lagi-lagi membuatnya ingat akan sesuatu. Istrinya itu belum memberi kabar atau mengirim pesan kepadanya. Tumben?
Masih ada sisa waktu lima belas menit sebelum dirinya harus bergegas berangkat jika tidak ingin terjebak macet. Dia akan mencoba mengirim pesan singkat agar tidak merasa was-was akan terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan.
Pagi, sayang
Sudah. Pesan sesingkat itu ia kirim dengan harapan akan segera dibalas, tanpa menunggu. Tapi ternyata, sampai mobilnya melesat setengah jalan menuju kantor, pesan tersebut bahkan belum dibuka. Atau memang sengaja diabaikan?
Ade mendecak kesal. Dia paham apa yang sedang terjadi sekarang, Erika sedang tidak baik-baik saja padanya. Wanita itu mengabaikannya, namun berusaha terlihat tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa sih?” gumam Ade, mencoba menyambungkan panggilannya pada nomor Erika yang ternyata, justru tidak aktif. Rasa gelisah dan khawatir memuncak. Ade pun mencari kontak kakak Erika dan menghubunginya tanpa ragu.
Tiga nada hubung menjadi sapaan kepada Ade sebelum suara seorang pria menyapanya. “Halo,”
“Halo, mas sibuk?” tanya Ade pada si kakak ipar.
“Enggak. Kenapa De?”
“Bisa saya bicara sebentar dengan Erika, mas? Kok saya telepon ngga nyambung ya?”
“Lho, dia udah pamit pulang sekitar sejam yang lalu, De. Mungkin perjalanan.”
Biasanya, nomor Erika akan tetap aktif dalam situasi apapun. Tapi entah mengapa sekarang tiba-tiba dia bersikap seperti itu?
“Oh begitu ya mas. Ya sudah kalau begitu, nanti saya telepon Erika lagi.”
“Oke.”
***
Bagaimanapun, suasana hati Ade masih tetap tidak nyaman. Ia kepikiran Erika saat bekerja. Konsentrasinya terpecah antara keberadaan Erika dan riwehnya pekerjaan di akhir bulan.
Kata Yuni tadi pagi, sepuluh orang yang baru saja direkrut oleh instansi akan datang hari ini. Lebih tepatnya jam sepuluh pagi. Mereka akan diberikan bimbingan singkat, dan juga pengenalan tempat serta petinggi instansi, yang tidak lain adalah Ade.
Ade memejamkan matanya sejenak saat jari telunjuk dan ibu jarinya memijat pelipis juga perpotongan hidung. Mengesampingkan masalah keluarga dengan pekerjaan itu, cukup sulit. Namun ia dituntut untuk profesional agar kinerja tetap bagus. Ke-profesionalannya dalam bekerja harus menjadi prioritas saat di kantor.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Ia menoleh setelah pijatan di pelipisnya itu ia lepas.
“Masuk.”
Pintu terayun terbuka, dan Yuni muncul dari balik bilah kaca tebal dan buram yang menjadi sekat antara ruangan kepala instansi dengan kubikel tempat staff di luar sana.
“Sepuluh orang sudah berkumpul di ruang meeting, pak. Mereka menunggu anda.” kata Yuli penuh kesopanan. Ia tau, meskipun Ade adalah orang yang seangkatan dan cukup dekat dengannya, jabatan mereka berbeda. Yuni harus menghormati Ade sebagai atasannya.
“Eumm ya. Aku akan kesana.” jawab Ade yang sontak membuat Yuni undur diri untuk kembali ke ruang meeting. Yuni juga termasuk salah satu bagian penting hari ini. Dia lah yang akan mendampingi Ade untuk melakukan pengenalan bidang pekerjaan dan training sampai tiga hari kedepan.
“Saya ke ruang meeting dulu kalau begitu.”
Ade menganggukkan kepala.
Seperginya Yuni dari ruangan, Ade menyambar jas kerjanya lalu ia kenakan. Tak lupa mengecek sejenak penampilan dan membenarkan posisi name tag yang menempel di dadanya. Kemudian, dia meraih ponselnya untuk ia letakkan pada salah satu laci, dan menguncinya.
Sepatu pantofel hitam itu mengetuk lantai lobby yang akan membawanya menuju ruang meeting. Tak sedikit yang menyapa saat ia berjalan bersama wibawanya yang terasa begitu jelas melekat pada dirinya. Tampan, berwibawa, baik, dan tegas, adalah pribadi seorang Made Pratama saat di kantor.
Setelah melewati dua pintu tempat wakil dan sekretaris, Ade kini sampai didepan sebuah pintu kayu yang terbuat dari jati tebal dan dirancang khusus dengan bahan kedap suara.
Didorongnya bilah kayu itu hingga seluruh presensi disana menoleh. Wajah-wajah ini tidak begitu asing dimata Ade, karena sebelumnya dia sudah melihat mereka semua dari surat lamaran yang ada.
Pandangannya kini fokus pada dua orang, Andra—si pemilik IPK hampir sempurna, dan satu orang lainnya Refana—si cantik yang ternyata jauh lebih cantik jika di lihat secara langsung.
Ade sempat berdehem samar sembari mengerjap kecil saat melihat presensi gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Rambutnya diikat rapi dengan poni menyamping ke arah kanan. Alisnya yang tebal, mata kucingnya yang terlihat begitu menggemaskan, bulu mata lentik, hidung mancung, bentuk bibir begitu sempurna dan ranum, serta leher jenjang yang terlihat sangat indah saat mengenakan blazer.
Astaga.
Ade buru-buru mengalihkan isi otaknya yang mulai meneliti detail gadis bernama Refana Tristanti itu.
Seisi ruangan tak menghentikan tatapan mereka hingga Ade sampai di kursi utama dan duduk setelah merapikan jasnya.
Yuni mulai membuka acara perkenalan, dan mempersilahkan Ade untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.
“Baiklah.” kata Ade sedikit mende-sah dan berdiri dari duduknya. “Perkenalkan, nama saya Made Pratama. Tapi semua staff disini memanggil saya dengan nama Ade.”
Pandangan Ade mulai memperhatikan satu persatu peserta training yang kini juga memperhatikan dirinya tanpa melakukan pergerakan sedikitpun.
“Saya disini sebagai kepala kantor yang bertanggung jawab penuh atas semua kegiatan didalam instansi ini. Jadi, mohon kerja sama kalian. Jika tidak mengerti atau kurang paham, tanyakan. Jangan malu, atau nanti akhirnya membuat kesalahan fatal untuk instansi.”
Seluruh peserta training mengangguk paham. Mereka tau, sebesar apa tanggung jawab seorang pimpinan. Terutama tentang sebuah reputasi. Ya, reputasi. Seorang pimpinan harus menjaga reputasinya didepan seluruh bawahan yang dipimpinnya agar seluruh kegiatan berjalan dengan baik.
Setelah Ade dan Yuni memperkenalkan diri beserta jabatan mereka masing-masing, para calon pegawaipun melakukan hal yang sama. Mereka memperkenalkan diri secara bergantian didepan Ade dan juga Yuni, serta memberitahu devisi apa yang akan mereka tempati nantinya saat mulai bekerja.
Selain reputasi, ada lagi satu hal yang akan selalu disorot dari bawah oleh anak buahnya. Yakni tindak-tanduk yang dilakukan, harus mencerminkan kebaikan yang nantinya akan menjadi panutan seluruh staff yang ada.
“Kalian sudah tau akan mengemban tanggung jawab seperti apa di tempat kerja dan devisi kalian masing-masing nanti, kan?”
“Ya pak.” jawab mereka serempak.
“Terima kasih sudah bersedia paham lebih dahulu sebelum terjun ke dunia kerja.”
Ade mendorong mundur kursi yang tadi ia duduki, lantas berjalan memutar untuk menyalakan sebuah proyektor.
“Tentang visi misi, dan aturan instansi, sudah paham kan? Saudari Yuni pasti sudah menjelaskan secara detail kepada kalian. Tapi, disini saya akan mengulanginya dengan versi saya.” tanya Ade memastikan.
Tidak tau mengapa, pandangan Ade tiba-tiba tertuju pada Refana. “Perlu kalian catat juga, ya.” kata Ade yang sudah memutus tatapan singkatnya pada Refana, lantas kembali berjalan kedepan menuju papan putih yang menjadi objek presentasi singkatnya yang akan segera ia mulai. “Surat perjanjian kontrak kerja yang kalian tanda tangani itu, sudah tercantum aturan-aturan yang harus kalian patuhi selama menjadi bagian dari instansi di bawah kepemimpinan saya ini.”
“Ya, pak.”
Ade tersenyum singkat, lalu memulai presentasinya. Membahas dengan tuntas banyak hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjadi pegawai di instansi yang dipimpinnya.
“Ada yang kurang faham? Silahkan bertanya.”
Ade menatap satu persatu calon pegawai baru di kantor ini, lantas pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang mengangkat satu lengannya ke udara. Sosok cantik yang sempat membuatnya berkedip cepat, tadi.
“Ya. Silahkan.”
“Pada poin ‘tidak diperbolehkan menjalin hubungan dalam lingkup instansi’, apa sangsi yang akan diterima jika hal itu terjadi, pak?”
Ade menyorot lurus sosok gadis bersuara madu itu, lantas menjawab dengan tegas. “Pemecatan.” []
Bersambung
🌼🌼🌼
###
Hayo Ade,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
VizcaVida
typo 🤦🏻♀️
2023-06-06
0