Tokyo, Jepang.
Ini bukan pertama kali Kana menginjakkan kaki di Tokyo, Jepang, tapi setiap kali berada di Jepang ia selalu diselimuti rasa kagum. Terutama ketika musim semi seperti saat ini. Baru turun dari pesawat saja, Kana sudah memiliki rencana tempat-tempat yang akan ditujunya.
Pertama mengunjungi Asukayama Park di Kita, Kana akan piknik dan menikmati bunga sakura yang bermekaran. Lalu ke Ueno Park di mana terdapat 1000 pohon sakura yang membuat pemandangan taman tersebut seperti lautan merah muda. Kemudian mengunjungi Tokyo Skytree Observation Deck dan menikmati pemandangan bunga sakura di malam hari di Rikugien Gardens.
Tak lupa menyantap berbagai makanan khas musim semi, seperti mochi sakura, ume, tai, takenoko, dan ichigo daifuku. Kana tidak akan melewatkan semua makanan khas tersebut serta berbagai jenis makanan yang tengah viral lainnya. Bahkan Kana sudah membuat daftar makanan yang hendak dicobanya.
Namun, untuk bisa menikmati itu semua dengan santai, Kana harus bisa menghilangkan semua gangguan, termasuk pria yang berada di sampingnya saat ini. Mereka sedang berada di dalam mobil yang akan mengantar mereka ke hotel.
“Kenapa menatapku seperti itu, hanii?”
“Kubilang berhenti menyebutku seperti itu,” sahut Kana tak senang. Rencana liburan menyenangkan di Jepang akan terjegal dengan kehadiran Ray. Meskipun pria itu yang menjadi alasan mengapa Kana sekarang bisa berada di Jepang.
“Lalu kau mau kupanggil apa?”
“Aku punya nama.”
“Kana Levronka, nama yang bagus, artinya gadis yang kuat dan penuh semangat. Papa dan mama memberikan nama yang tepat, kau memang selalu terlihat penuh semangat.”
Biasanya, Kana tidak terlalu menyukai namanya. Ia lebih berharap diberi nama Bella, Cleo, atau nama lainnya dengan arti cantik. Namun, perkataan Ray membuat Kana sedikit lebih menyukai namanya.
“Kana, sadarlah, kau tidak boleh menyukai apa pun yang berkaitan dengan Rayshiva Paramayoga.”
Kana mengingatkan diri sendiri sembari menepuk kedua pipinya dengan keras hingga mengaduh kesakitan.
“Hei, apa yang kau lakukan.” Ray menyentuh pipi Kana kemudian mengelusnya perlahan. Bukannya membuat keadaan pipi Kana membaik, sentuhan Ray justru membuat pipi Kana semakin memerah.
“Aku baik-baik saja.” Kana segera menjauhkan wajahnya.
“Tapi pipimu memerah, kau menepuknya terlalu keras, hanni.”
“Bukan urusanmu,” sahut Kana ketus.
“Baiklah.” Ray menjauhkan tangan dari wajah Kana. “Sebentar lagi kita sampai, kita akan beristirahat sebentar. Setelah itu kita bisa pergi ke Rikugien Gardens.”
Kana benar-benar senang akan pergi ke Rikugien Gardens untuk melihat pohon sakura setinggi 23 meter yang berusia ratusan tahun. Namun, kesenangan itu sirna ketika ada kata kita terselip dalam kalimat Ray. Artinya, Kana tidak akan pergi sendiri.
“Aku sudah memesan tiketnya, jadi kita bisa─”
“Aku ingin pergi sendiri,” sambar Kana sebelum Ray selesai bicara.
“Kau tidak bisa pergi sendiri,” ujar Ray dengan lembut.
“Aku bisa,” sahut Kana, “kalau harus denganmu, aku lebih baik tidak pergi.” Kana mendengar helaan napas di sebelahnya, dalam hati merasa menang karena Ray tidak mendebatnya. Namun, kemudian ada perasaan hampa, karena terlalu menang tanpa perdebatan.
Mobil berhenti beberapa saat kemudian di depan sebuah hotel internasional ternama di Tokyo. Kana dan Ray disambut staf hotel yang langsung mengantarkan mereka ke kamar suite.
Setelah staf hotel pergi, Kana langsung berkata, “Aku tidak mau sekamar denganmu.”
“Tidak bisa, kita hanya memesan satu kamar,” jawab Ray sambil membuka koper dan mengambil pakaian ganti serta perlengkapan mandi. Untuk seorang yang hanya memiliki satu tangan, Ray bisa mengerjakan pekerjaan basic tersebut tanpa kesulitan. Satu sisi yang membuat Kana kagum, karena Ray bisa mandiri dalam keterbatasannya.
“Kalau begitu aku akan pesan satu kamar lagi,” ujar Kana.
Ray hanya menoleh sesaat pada Kana, kemudian melanjutkan kegiatannya.
Entah mengapa Kana sebal Ray mengabaikannya. Paling tidak, Ray melarangnya, tapi pria itu tidak mengatakan apa-apa. Dengan perasaan dongkol, Kana keluar kamar. Rencananya langsung menuju resepsionis untuk memesan satu kamar tambahan. Bisa saja ia memesan dari layanan kamar, tapi Kana ingin menjauh dari Ray. Tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan suaminya itu.
Namun, Kana harus kecewa karena saat ingin memesan kamar, resepsionis memberitahukan bahwa hotel tersebut sudah penuh dan Kana harus mencari hotel lain. Dengan perasaan yang sudah berkali lipat kesalnya, Kana keluar dari hotel dan memasuki kafe pertama yang ditemukannya.
Kana memanjakan diri dengan berbagai desert cantik dan manis, berusaha menghilangkan kekesalannya dengan mengonsumsi makanan manis. Setelah menghabiskan sepuluh macam desert, Kana menyerahkan kartu kreditnya untuk membayar.
Mood Kana yang mulai membaik kembali rusak sepenuhnya setelah mendapati semua kartu kredit dan debit yang dimilikinya tidak dapat digunakan. Ditambah lagi saat mengeluhkan hal itu pada ayahnya, Aris hanya berkata bahwa mulai sekarang tidak akan memberikan uang saku pada Kana lagi.
“Sekarang kau sudah punya suami, Ray akan bertanggung jawab atas semua pengeluaranmu. Jadi, mintalah uang padanya.”
Akhirnya, Kana terpaksa menghubungi Ray untuk datang dan membayar tagihan.
Ray datang sepuluh menit kemudian dan langsung membayar tagihan Kana. Saat Ray datang, Kana menyadari perhatian orang-orang tertuju pada Ray, beberapa bahkan berbisik-bisik dan memandang penuh simpati. Ada yang sampai berkata, “Dia ganteng, tapi sayang cacat.”
Ya, Kana juga berpikir demikian. Ray ganteng, benar-benar ganteng apalagi berada di usia awal 30-an membuat pria itu terlihat matang. Tidak diragukan, Kana pasti akan jatuh cinta lagi pada Ray, andai saja pria itu tidak kehilangan satu tangannya.
Kana tahu, Ray pun tidak menginginkan menjadi cacat, tapi kecelakaan itu sudah terjadi dan harus diterima. Namun, setidaknya Ray bisa berpura-pura menjadi normal dengan menggunakan tangan palsu sehingga Kana tidak merasa malu saat berjalan bersisian dengan suaminya itu, seperti saat ini.
“Hanii, kau mau pergi ke suatu tempat? Kita bisa ke Rikugien Gardens, kata Mama kau sangat menyukai tempat itu. Kau selalu mengunjunginya jika ke Jepang,” Ray menawarkan.
Kana hanya mendelik sebal, lalu melangkah cepat mendahului Ray. Ia tidak tahu menuju ke mana, hanya berjalan saja.
“Hanii, jalannya pelan sedikit,” ujar Ray sembari mencoba menjajari langkah Kana. “Sebenarnya, apa yang membuatmu marah?”
Kana tidak menyahut. Ia masih sangat kesal. Jika orang lain memasuki kehidupan rumah tangga dengan perasaan bahagian, Kana sebaliknya. Ia sangat kesal dan ingin sekali kembali ke kehidupan gadisnya.
“Hanii, apa yang membuatmu tak senang?” Ray kembali bertanya. Dengan langkah lebar, Ray sama sekali tidak kesulitan menjajari langkah Kana.
Tiba-tiba Kana menghentikan langkah dan berputar ke arah Ray yang juga berhenti satu langkah di belakang Kana.
“Kau mau tahu apa yang membuatku kesal?”
Ray mengangguk.
“Kau.” Telunjuk Kana mengarah ke dada Ray, lalu bergeser ke tangan kiri Ray yang tidak ada. “Dan tangan buntungmu itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments