Bagian 4

Ijab sudah diucapkan, penolakan tak bisa lagi Kana ucapkan. Semua orang tampak bahagia, hanya Kana yang tidak bisa tersenyum saat kata sah itu diucapkan. Ia ingin menangis, bukan karena bahagia, justru menangisi nasib sialnya.

Hari ini, kali pertama Kana menangisi nasibnya sebagai anak tunggal. Jika saja ia punya saudara perempuan, mungkin tanggung jawab menikah demi menyelamatkan sang ayah bisa diserahkan kepada saudaranya itu. Atau jika ada saudara laki-laki mungkin bisa membantu mencari jalan keluar agar perusahaan ayahnya bisa diselamatkan.

Alasan Kana menerima pernikahan meskipun sudah memantapkan hati menolaknya disebabkan pengakuan sang ayah mengenai keadaan perusahaan retail yang dimiliki Daniswara Group. Ternyata, keadaan keuangan perusahaan sedang tidak baik-baik saja.

Beberapa cabang terpaksa ditutup dan banyak karyawan dirumahkan, karena kondisi tersebut. Efek pandemi selama dua tahun lebih ternyata sangat besar pada perusahaan retail Daniswara Group. Hampir saja Aris menyatakan diri pailit. Untungnya sebelum itu terjadi, Rakasha Abimanyu Hauf mengulurkan bantuan dengan memberikan dana segar pada Daniswara Group.

Namun, ternyata bantuan tersebut bukannya tanpa pamrih. Rakasha ternyata menagih janji perjodohan yang sempat terlupakan. Mau tidak mau Aris mengikuti permintaan Rakasha dan akhirnya Kana harus duduk di pelaminan bersama pria yang tidak diinginkannya.

Selama resepsi pernikahan Kana berusaha mengembangkan senyum di bibirnya hingga mulut dan pipinya terasa sakit. Namun, ia berusaha menahan diri. “Tahan, sebentar lagi selesai.” Berkali-kali Kana mengulang kata-kata itu dalam pikirannya, bahkan sampai membisikkannya.

Sekali-dua Kana mengucapkannya terlalu nyaring sehingga mengundang perhatian Ray. Kemudian Ray mulai melimpahi Kana dengan perhatian, menanyakan apakah ia butuh makanan atau minuman maupun istirahat. Bahkan menawarkan untuk mengakhiri acara resepsi jika Kana kelelahan.

Seharusnya, Kana merasa senang atas perhatian itu, tapi tidak. Ia tidak bisa merasa senang, bahkan semakin marah pada Ray. Semakin melihat Ray, kemarahannya makin menumpuk. Semua kesalahan Kana timpakan pada Ray, kalau saja pria itu tidak cacat, Kana tidak akan harus menanggung malu memilikinya sebagai suami.

Jika Kana merasa terpaksa berada di pelaminan, tersenyum kepada tamu dengan senyum palsu, dan berkali-kali mengeluh, Ray terlihat sebaliknya. Ray terlihat bahagia dan bersemangat juga bangga. Siapa yang tidak bangga bisa memiliki istri secantik Kana.

Kana memiliki semua yang diinginkan wanita agar bisa disebut cantik, kulit putih bersih, wajah kecil berbentuk hati, hidung mancung bibir mungil, dan mata berbentuk seperti kacang kenari. Ditambah dengan perawatan mahal di salon kecantikan, membuat kecantikan alami Kana terawat dengan baik. Jadi, siapapun yang menikah dengan Kana pasti akan amat sangat beruntung.

Apalagi pria tidak sempurna seperti Ray, pastinya pria itu sedang bersorak senang karena berhasil memaksakan keinginannya memiliki Kana. Bahkan Ray tidak malu mempertontonkan kecacatannya. Ray dengan percaya diri menggunakan pakaian khusus yang didesain dengan satu tangan. Padahal bisa saja pria itu memakai tangan palsu sebagai kamuflase, tapi Ray tidak begitu.

Kana yakin sebagian besar tamu membicarakan kecacatan Ray, termasuk teman-temannya yang datang. Kana merasa tak punya muka untuk bertemu teman-temannya setelah itu. Hal itu membuat Kana makin kesal terhadap lelaki yang sudah menjadi suaminya itu.

Menikah dengan Ray benar-benar sebuah kutukan.

*-*

“Sesuai janjiku, kita akan ke bandara setelah menjemput penyelamatmu,” ujar Nala sembari membukakan pintu mobil untuk Kana. Kana masuk ke dalam mobil tanpa menjawab, mukanya ditekuk dan langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil setelah Ray bergabung di sampingnya. Nala masuk paling akhir, menempati kursi pengemudi.

“Bang, kau harus mengawasi baik-baik istrimu ini, dia punya kecenderungan melarikan diri,” ujar Nala sambil memasang sabuk pengaman.

“Dia tidak akan melakukannya lagi,” jawab Ray santai membuat Kana merotasikan bola mata. “Kalaupun dia melakukannya lagi, aku akan berhasil mengagalkannya.” Kalimat terakhir Ray terdengar seperti tantangan bagi Kana. Dalam kepalanya mulai terangkai rencana pelarian yang baru.

Rencana yang baru terangkai sebagian itu kemudian menghilang saat Kana merasakan sesuatu mendarat di puncak kepalanya. Ia mendapati telapak tangan Ray sedang mengacak rambutnya yang sudah bisa digerai setelah semua atribut pengantin terlepas dari tubuhnya.

“Sebaiknya, kau menyusun rencana liburan selama di Jepang daripada menyusun rencana pelarian yang tidak akan berhasil.”

Tatapan Kana terarah pada Ray, bingung bagaimana bisa pria itu membaca pikirannya.

“Sudah kubilang kau itu polos, Hanii, terlalu mudah dibaca.”

Kana memberengut. “Aku tidak suka dipanggil hanii, jangan panggil aku seperti itu.” Kana kembali melengos dan memusatkan tatapannya ke luar jendela mobil.

“Memangnya kenapa dengan hanii, itu panggilan yang bagus,” Nala menyahut dari kursi pengemudi.

“Bisa diam, nggak? Kau nggak diajak ngomong,” sahut Kana dengan posisi masih menghadap ke luar jendela.

“Orang punya mulut, dipakai buat ngomonglah.” Nala tak mau kalah.

“Mulutmu itu pakai buat makan aja!” Kana menyahut.

Terdengar decit kesal dari Nala. Kemudian pria yang usianya terpaut 2 tahun lebih tua dari Kana itu beralih pada Ray. “Tahu nggak, Bang, istrimu ini tadi ganti baju di mobil.”

Kalimat Nala langsung menarik perhatian Kana. Ia mencoba menutup mulut Nala agar tidak melanjutkan bicara.

“Dia tetap ganti baju meski aku ada di kursi depan, bikin nggak konsen nyetir. Untung tadi─”

“Bukan begitu ceritanya!” protes Kana.

Kana membuat Nala tidak bisa melanjutkan kata-kata dengan serangan tangan yang bergerak hendak menutup mulut pria itu.

“Ragnala, berhenti mengganggu kakak iparmu.”

Kana membeku di tempat, kepalanya tertoleh kepada Ray. Protes sudah berada di ujung lidah, tapi urung dikatakan. Kemudian Kana kembali ke tempatnya semula, terlihat salah tingkah setelah Ray menyebutnya “kakak ipar” Nala. Meskipun pernikahan ini tidak diinginkan Kana, tapi kenyataan statusnya kini sudah menjadi istri Ray tidak bisa diubah.

“Hanii, kau baik-baik saja?”

“Ya,” sahut Kana sembari mencoba menenangkan diri dan mengingatkan diri bahwa pernikahan dengan Ray adalah hal yang dibencinya.

“Sebaiknya, kau antar kami sekarang. Jangan sampai kami terlambat naik pesawat,” kata Ray pada Nala.

Nala terkekeh. “Kayak naik pesawat komersil aja bisa ketinggalan pesawat,” ujar pria itu sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan kendaraan.

Ray menurunkan kaca mobil, mengucapkan salam perpisahan pada keluarga yang masih berdiri di beranda rumah. Mau tak mau Kana ikut mengucapkan selamat tinggal dan melambai pada orangtuanya serta mertuanya. Mata Kana sempat berserobok dengan mata sang ayah. Mata pria yang sangat Kana sayangi itu terlihat sedih. Meskipun memaksa Kana menikah, sepertinya Aris juga tidak tega pada Kana.

Kana menyunggingkan senyum, berusaha memberikan semangat pada ayahnya. Dalam hati Kana berjanji akan membuat Ray menyesal sudah memaksakan pernikahan ini terjadi.

Ya, Kana tidak akan mencoba kabur lagi, tapi akan membuat Ray merasakan kehidupan rumah tangga yang seperti neraka. Hatinya tidak akan goyah. Ia akan membalas dendam pada Ray.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!