"Kosong, Pak!" lapor pria berbadan tegap yang baru masuk dan duduk di balik kemudi. Raut wajahnya terlihat ketakutan, tetapi dia segera mengambil ponsel untuk memeriksa alamat yang dibagikan oleh seseorang di partai.
"Sudah pasti di sini, kan?!" Alvin memandang berang sebuah rumah yang tampak kosong. Padahal ketika berangkat ke sini, dia ingin langsung meratakan tempat ini, ingin mencabik si Olla itu hingga lumpuh kalau bisa. Bahkan, Alvin membawa tongkat baseball kesayangannya, sudah dipoles hingga mengkilap.
Tapi sial sekali, ketika tiba di sini, baunya Olla saja dia tidak tercium sama sekali. Terpaksa Alvin menahan diri, jika tidak ... mereka akan ketahuan pernah kemari dan hanya akan membuat mangsa makin waspada, hingga akhirnya susah ditemukan.
Alvin menghitung jarak antara kedatangan Olla dengannya. Harusnya jarak mereka tiba tidak terlalu lama, tapi ini sudah hampir setengah jam tidak ada tanda-tanda munculnya ujung hidung wanita tesebut.
"Hei jawab!" bentak Alvin seraya menendang belakang kursi kemudi, tepat di bagian kepala.
"Saya sudah memastikan dengan pihak partai yang mempekerjakan Dokter Olla, Pak ... saya yakin sekali—"
"Tapi apa buktinya?!" Alvin makin geram sehingga langsung menempeleng kepala sopir sekaligus mata-matanya ini. "Kau sudah membuang waktuku, kau tau?!"
Pria bernama Sony itu menunduk, gemetar hingga nafasnya susah keluar, "Saya tidak bermaksud, Pak ... tapi, saya sungguh tidak salah baca atau salah lihat. Saya menemui orang partai itu secara langsung!"
"Bodoh!" sembur Alvin. Bisa-bisanya malah datang terang-terangan. "Kau tahu kan, kita siapa?"
"Maaf, Pak!" Sony sekali lagi menunduk dan memejamkan mata rapat-rapat. Dia yakin, dia tidak ketahuan, dan tidak salah baca. Dia melakukannya dengan mulus.
Alvin makin meradang hingga dia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia mendengkuskan napas keras sampai Sony tidak berani bernapas.
"Biar saya tanya ke warga sekitar dulu, Pak!" Sony berusaha menenangkan bosnya. Perlahan dia turun, tanpa membuat suara sedikit pun.
Alvin hanya melirik sekilas Sony. Terserah saja mau melakukan apa, Alvin tidak peduli. Yang dia tahu, rumah itu kosong dan Olla masih tersangkut entah kemana. Sialan wanita itu!
Tak selang sepuluh menit, Sony datang dengan tangan dan tubuh makin gemetar. Dan Alvin tidak perlu bertanya untuk mengetahui apa hasilnya.
"Shiiiiiit!" Kakinya yang panjang kembali menerjang jok di depannya. Jika saja tidak malu, ingin rasanya Alvin menangis saking frustrasinya, tetapi baginya menangis adalah kelemahan.
Dia harus bagaimana untuk membuat ibunya tersenyum di surga? Wanita cantik kesayangannya itu pasti tersiksa melihat keserakahan suaminya dan ketidakberdayaan anak satu-satunya ini.
"Olla sialan! Dimana kamu sembunyi, brengsek!" geram Alvin.
"Tolong jangan umpat istri berharga anda, Pak," pinta Sony takut-takut. Wanita secantik itu kenapa di umpat begini, sayang bener.
Alvin mendelik kesal seraya memajukan tubuh ke depan. Ia meraih kerah baju Sony dan mengayunkan tinjunya.
Sony ketakutan hingga memejamkan matanya rapat.
Alvin berdesis marah dan menarik lagi tangannya. Haish ...!! Peruma juga menghajar Sony. Dia tahu, Sony sudah berusaha.
***
"Entah ini pilihan yang benar atau tidak, tapi rasanya terlalu berat bagiku!" Olla memijat lengannya yang sakit dan kaku, setelah semalam digunakan sebagai bantal. Dia tidur di bangku kayu panjang, digigit nyamuk hingga pipi dan kakinya banyak bekas merah juga barut akibat digaruk.
Mata Olla menatap kosong ke jalanan yang mulai ramai. Polisi juga entah pergi kemana. Sesekali ia menggosok hidungnya yang mampet. Rasanya dia akan terkena flu. Haish ... menyebalkan. Menyerah saja nggak sih? Kembali ke rumah dan menjadi ....
Olla langsung berdiri, membeliak dan dendam menyala lagi di matanya begitu ingat Alvin beserta kekejamannya. "Nggak! Nggak bisa begini!"
Tapi ... kalau nekat ke desa itu, dia masih akan di sini sampai entah kapan!
Olla terduduk lemas. "Ya ampun! Kenapa aku baru merasa nggak berdaya sekarang sih?" Ya, betapa lemahnya dia.
"Kenapa aku nggak kabur aja sih? Ngapain aku bengong di sini?" Olla berdiri dan mengikat rambutnya yang berantakan. Ia meraih tas dan memeriksa isinya. Memang ada gunting dan perlengkapan medis lain, yang akan ia gunakan untuk bekerja selama di desa. Ia hanya berjaga kalau membutuhkan alat tersebut nanti.
Olla bisa menunjukkan kalau dia dokter, hanya dia tidak punya surat tugas atau semacamnya. Lagipula, dia bisa ke sini karena bantuan seseorang di partai dan Vincent. Jadi ... karena terdesak dia terpaksa meminta bantuan Vincent—terpaksa sekali ya, ingat—walau dia benci pria itu setengah mati.
Pria itu memang punya pengetahuan yang bagus soal lowongan kerja, terkenal di kalangan dokter, tetapi pria itu selalu saja bersikap dingin dan tidak mudah. Olla malas berdekatan dengannya. Sumpah.
"Cih, dasar pria aneh!" maki Olla seraya membuang ludah. Meski dia tetap berterimakasih, tapi mumpung Vincent tidak melihat jadi tidak masalah meluapkan kekesalan.
"Ah, kebetulan—"
"Oo-oow!" Olla terhuyung mundur saking kagetnya saat seorang polisi muncul begitu saja di depannya. Polisi itu juga sama kagetnya dengan Olla.
"Ya ampun, Bu Dokter!" Polisi itu mengusap dadanya. "Ngagetin aja!"
"Bapak yang ngagetin!" bentak Olla seraya menguasai dirinya kembali. "Jadi saya boleh pergi, kan, Pak?"
Polisi itu tertawa kecil. "Boleh-boleh! Kami akan antar ke kota tujuan dengan selamat sebagai bentuk permintaan maaf!"
"Saya bisa naik bis, Pak ... nggak usah repot! Lagian saya nggak apa-apa—haatcing!"
Olla bersin sangat keras.
"Nah kan, Bu Dokter nggak usah sungkan. Sudah kewajiban kami untuk melindungi warga kami!" Polisi itu tersenyum seraya menyilakan Olla keluar.
Olla mendengkus tak suka. Tapi dia tetap berjalan keluar.
"Mari Bu Dokter." Polisi itu membukakan pintu segala, tersenyum seperti seorang sopir penjilat yang ada di film-film.
Olla menatap sekeliling. Polisi lain juga tersenyum.
Ya sudah sih, nggak mungkin Polisi berniat jahat padanya. Dia dokter. Pasti bisa melakukan sesuatu nanti. Tasnya penuh benda tajam. Em, maksudnya gunting tadi. Dia tidak punya pisau bedah, karena dia bukan dokter bedah.
Begitu Olla naik, polisi di luar sana langsung berbicara satu sama lain.
"Dia dokter dari partai P, yang kerja sama dengan pejabat di kota itu. Mengingat ada beberapa desa yang belum ada dokternya, jadi Dokter ini yang ngisi. Ya taulah, tahun depan kan pemilu. Jadi mereka sedang ambil hati agar banyak yang milih."
Olla mendengarnya dengan jelas sebab kaca mobil tidak tertutup sepenuhnya.
"Selain itu, aku khawatir dia bukan orang sembarangan, lalu menuntut balik karena salah tangkap. Lagian semalam agak menakutkan, kan? Kelihatannya dia bukan orang yang lemah dan menyerah gitu aja! Lihat semalam dia bahkan nggak merengek atau apa. Tidur saja tenang gitu, padahal dia orang kota!"
Olla tersenyum sinis. Jadi begini biar terlihat tangguh? Jadi apa sikapnya dulu membuatnya terlihat lemah? Ah, boleh dipraktekkan sikapnya yang ini. Tidak mengeluh, tidak merengek, dan tenang.
"Kita berangkat ya, Bu!"
Olla dan polisi itu saling pandang melalui kaca spion tengah. Mereka saling melempar senyum. Olla tersenyum licik, sementara polisi itu sedikit takut.
"Bapak tau kan, saya bisa melaporkan balik tindakan Bapak semalam?"
Polisi itu membeku. "Bu—"
"Tapi bisa saja tidak kalau Bapak mau bantu saya."
Keduanya saling pandang lagi. Lagi-lagi, senyum licik Olla keluar. Dan membuat polisi itu sedikit gemetar. Apa mau wanita ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ayachi
Oll, brani Skali kmu😭 Polisi loh itu yg kamu ancemm😭😭
2024-07-31
0
irfah albeghyttu
ayo olla manfaatkan ketakutan pak polisi...
2023-06-04
3
Ratu Tety Haryati
Kayaknya Alvin-Olla memang jodohnya
Dua2nya dibuat menderita karena orangtua yg serakah. Tapi jika mereka mau bekerjasama separtinya bisa melibas orang2 yg licik
Bakal gantian Pak Polisi sekarang yg apes dikerjai Olla😂
2023-06-04
3