"Haish!" Olla benar-benar kesal saat berada di pos polisi tak jauh dari lokasi bis berhenti. Ia menatap satu-persatu penumpang yang kembali naik ke bis. Dia barusan diinterogasi, pun dengan beberapa penumpang sebagai saksi juga pelapor.
"Ayo-ayo, cepat! Jangan sampai ada yang tertinggal!" perintah kondektur bis. "Kita lanjutkan perjalanan dengan tenang. Kita sudah aman!"
Olla mendelik mendengar ucapan kondektur tersebut. "Hei, maksud kamu apa? Kamu pikir aku ancaman?!"
Kondektur tersebut mengabaikan Olla sepenuhnya.
"Hei jangan ngawur! Ini salah paham! Aku bukan penjahat!" teriaknya histeris.
"Ck, kalau penjahat ngaku, penjara penuh dan polisi nggak ada kerjaan!" gumam sang kondektur sambil terus memastikan penumpangnya naik semua.
"Tapi aku beneran bukan penjahat!" Olla frustrasi.
"Oke, sudah lengkap semuanya! Berangkat yo!"
"Hey, apa maksudmu? Aku masih diinterogasi gara-gara kalian! Tungguin lah, kenapa malah mau ditinggal?!" Olla berlari lebih dekat ke bis.
Kondektur itu memutar tubuhnya dengan malas. "Apa kami sudah nggak waras, mau bawa penjahat lagi ke bis kami!?"
"Tapi, Pak—!"
"Mbak, kamu itu nggak bisa nelpon keluarga atau sodara kamu, dan nggak ada yang percaya sama kamu di sini! Jadi, polisi masih akan nahan kamu di sini sampai kamu terbukti salah atau enggak!" jelas si Kondektur menahan sabar.
"A-apa?" Astaga ... sial sekali!
Lagian dia sedang kabur, kalau nelpon orang rumah, pasti ketahuan kan? Olla berpikir cepat. Dia tidak akan begini jika bukan karena ulah bocah kurang ajar di sebelahnya tadi.
"Hei-hei ... mana bocah ingusan yang bibirnya lower tadi?!" Olla berjinjit demi mencari lelaki yang kelihatan masih muda tadi.
"Hei—kamu!" teriak Olla, "Kamu yang duduk sebelahan sama aku! Keluar kalau berani! Ini semua gara-gara kamu, ya! Sini turun hadapi aku!"
Si Kondektur yang tak tahan dengan suara Olla yang berisik, akhirnya menarik Olla menjauh dari bis
"Mbak udah!" ucap si kondektur pelan. "Saran saya, Mbak kasih tau keluarga Embak, biar dilepas sama polisi. Lagian selama belum masuk ke laporan resmi, kemungkinan bebas besar!" Kondektur itu terkekeh penuh arti.
Olla berdecih seraya membuang muka. Orang ini tidak tahu apa-apa, tapi sok tahu.
"Tidur di pos juga bukan sesuatu yang buruk kalau Mbak mau!' KOndektur itu menaikkan kedua alisnya, lalu berjalan mendekati pintu. "Yok, brangkat!"
Olla membeliak kaget. "hei! Nggak bisa gini dong!"
Ia mendongak, tepat saat seorang pemuda yang duduk di sebelahnya tadi mengintip dari tirai jendela.
"Hei, kamu!" Olla menuding pemuda itu seraya melotot. Astaga, dia kesal sekali pada anak kurang ajar yang langsung menarik lagi kepalanya dari jendela begitu ketahuan Olla.
"Hei!" Olla menggedor badan bis. "Berhenti!"
Tapi, tak seorangpun mengindahkannya. Olla benar-benar ditinggalkan di sini, sementara jarak ke kota tujuan masih sekitar 4 jam lagi.
"Astaga!"
Kualat gue!
Olla membatin seraya menatap sekeliling, kalut dan takut. Dia menguras ATM Alvin yang dengan bodohnya hanya diberi pin standart. Tanggal ulang tahun pria tersebut. Lalu mengambil uang di dompet dan makan di resto hotel dengan tagihan dibebankan ke Alvin.
Belum, ia berbelanja pakaian menggunakan kartu kredit pria itu. Haish sial!
"Bu Olla, bagaimana?"
Olla tersentak mendengar suara polisi di belakangnya. Ia langsung memutar badan dan berusaha bersikap normal.
"Keluarga sudah ada yang bisa dihubungi?" tanya polisi itu lembut.
Olla menggigit bibir saking galau bin dilema. Ini adalah jalannya menuju kebebasan dan hidup baru, apa iya dia harus kembali?
Bayangkan Mamanya?
Bayangkan orang-orang di sekelilingya?
Bayangkan si monster kepala botak itu! Haish, bisa-bisanya dia membuat mahkotanya rusak parah! Bahkan Olla harus membeli obat agar di sana tidak terasa nyeri.
"Nggak!' batin Olla mantap. "Aku harus bertahan! Jika memang harus bermalam di sini, maka mari kita jalani dan lalui sepenuh hati!"
Ingat kata Spongebob dan Squidward: dunia luar itu mengerikan. Alam bebas dan liar itu berbahaya, jadi biasakanlah.
"Maaf, Pak! Saya sebatang kara, tidak ada kerabat yang bisa saya hubungi, karena saya dianggap anak pembawa sial! Huhuhu!"
Olla menangis sehingga mengundang simpati si polisi. "Mbaknya di sini aman, besok setelah memastikan Mbak ngga bersalah, Mbak bisa lanjutkan perjalanan!"
Olla mencebik memelas, memeluk tas ranselnya erat-erat. Ugh, dia sudah mirip gelandangan.
Gelandangan kaya raya.
"Ya, Mas Alvin sudah menafkahi aku sebagai suami yang baik. Ckck, bahkan tidak bekerja selama 20 tahun juga tidak akan kelaparan!" Olla membatin seraya membayangkan uang yang ditabungkan Nahwa untuknya. Bahkan Nahwa mau membatu mengembangkan uang miliknya—uang Alvin maksudnya, sehingga dia bisa menadapat keuntungan secara berkala.
"Ah, Nahwa ... gimana aku balas kebaikan kamu."
***
"Gimana?" Alvin menghubungi seseorang yang begitu dia percaya. Dia masih di hotel dengan segala kekacauan buatannya.
Ia menyesap rokok kuat-kuat sampai tulang di lehernya terlihat semua sambil mendengar penjelasan dari orang di seberang. Tangan Alvin dibalut kain seadanya sebab terkena pecahan meja kaca yang dihancurkannya tadi.
"Sudah dapat lokasi tepatnya dengan pasti? Yakin ini bukan tipuan wanita brengsek itu?" Dia hanya memastikan. Sebagai orang yang terlihat lemah dan bodoh juga tidak berdaya, ia tidak boleh terlihat punya teman apalagi orang kepercayaan. Bahkan tak seorangpun tahu, Alvin punya perusahaan transportasi online juga ekspedisi. Sekarang, selain fokus merebut usaha milik ibunya, Alvin juga masuk ke jajaran pemegang saham terbesar di perusahaan timah.
Ckck, mereka tidak boleh tahu sekaya dan secerdas apa seorang Alvin ini. Dia super power, tapi belum selebar ayahnya dalam urusan lobi. Dia menjalankan usahanya sembunyi-sembunyi.
"Awasi terus wanita itu, aku sendiri yang akan menyeretnya kembali ke sini!" Alvin mematikan panggilan dengan kasar lalu meremas ponsel kuat-kuat. Mata pria itu menyiratkan kemarahan yang tak bisa padam meski hujan terus turun selama setahun.
"Lebih mudah kalau mereka berdua aku tembak isi kepalanya dari pada pakai cara halus begini! Sial, aku benci terlihat lemah dan bodoh seperti ini!" batin Alvin semakin erat meremas ponselnya, hingga luka yang semula kering, kini meneteskan darah kembali.
"Haish!" Alvin meninju tembok hingga tangannya mati rasa. "Sial!"
Dia benci jalan yang dianggap baik dan bermoral. Seorang ALvin lebih suka tindakan matikan di tempat dan diam-diam. Baik menggunakan taktik maupun senjata.
Alvin membuang napasnya kuat-kuat, lalu berbalik menuju sofa dan memakai jas untuk menutupi citra dirinya yang berantakan. Dia sudah mengurus check-out sejak tadi serta menyatakan kesediaan membayar kerugian.
Namun, baru saja memasukkan sebelah lengan ke jas, telepon kamar berdering. Alvin bergegas mengankatnya.
"Ya ...!?"
"Maaf, Pak Alvin ... Istri anda tadi makan di restoran dan billnya baru sampai ke saya. Jadi anda harus mentransfer lagi 3 juta rupiah."
Alvin mengeratkan gigi dan bibirnya. Seakan semuanya belum selesai, ketika telepon belum dimatikan, pintu terbuka, menampakkan sosok Devon—orang kepercayannya, dengan ekspresi tegang dan mengerikan.
"Dia menguras uang anda, Pak!"
"Shiiit!" Alvin berteriak seraya menendang apa saj ayang ada di dekatnya."Kita datangi wanita sialan itu sekarang juga!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Daniah Andini
Karena tujuan pernikahannya dari awal sudah salah, Ola capek ke ibunya, Alvin untuk syarat mengambil harta warisan ibunya
2024-11-01
0
yanti auliamom
Sebenarnya mereka berdua ini, kalau saling tau luka dan apa yang sedang di hadapi masing² malah bisa saling mengisi, menyembuhkan dan saling membahagiakan.
Dua²nya kasihan... mungkin perlu berkomunikasi dari hati ke hati agar saling tau.
Ga ada salah nya menjalani hubungan dengan baik dan bahagia.
2023-06-11
1
Sutiya
gaya bahasa kamu itu Lo tor....bikin nagih liat karya lain lain nya gitu
2023-06-03
2