Satu meja

Arumi berjalan ke arah meja makan, sembari membawa semangkuk sup. Dia kemudian meletakan mangkuk itu di atas meja makan.

Pak Mahendra dan Arkan menatap Arumi tak biasa. Nampaknya mereka heran dengan penampilan Arumi saat ini.

Biasanya rambut panjang Arumi selalu di ikat ke atas. Dan saat ini, Arumi membiarkan rambutnya tanpa ikatan.

Arumi juga tidak pernah menggunakan syal. Dan sekarang dia menggunakan syal. Semua orang tidak tahu, kalau Arumi sedang menutupi tanda merah di lehernya.

"Arumi. Kamu kenapa? kamu sakit?" tanya Pak Mahendra pada Arumi.

Arumi menggeleng.

"Aku tidak apa-apa Tuan," jawab Arumi.

"Kalau kamu sakit, minum obat dong. Dan nggak usah ke kampus dulu," ucap Pak Mahendra.

Pak Mahendra memang selalu perhatian pada semua pembantunya. Apalagi itu Arumi. Dia sudah menganggap Lira dan Arumi seperti anaknya sendiri. Karena Pak Mahendra tidak punya anak perempuan.

"Iya Tuan."

Setelah meletakkan mangkuk itu di atas meja, Arumi memutar tubuhnya. Dia akan melangkah pergi, namun Pak Mahendra buru-buru memanggilnya.

"Arumi."

Arumi menoleh ke arah Pak Mahendra.

"Iya Tuan."

"Arumi, kamu mau ke mana?" tanya Pak Mahendra.

"Aku mau bantu ibu. Pekerjaan ibu masih banyak di dapur Tuan."

"Arumi. Nanti kamu ke sini lagi ya. Kita sarapan bareng. Kamu pasti belum sarapan kan?"

Arumi terkejut saat mendengar ucapan Pak Mahendra. Seumur-umur baru kali ini, Pak Mahendra mengajak Arumi untuk makan bareng bersama mereka.

"Arumi bisa makan di belakang Tuan," tolak Arumi yang merasa tidak enak, harus makan satu meja dengan majikannya. Apalagi dengan Arkan.

"Arumi, tidak apa-apa. Ini perintah saya."

"Baik Tuan. Saya tidak akan mungkin menolak perintah dari Tuan. Kalau begitu saya ke dapur dulu Tuan."

"Iya. Silahkan."

Arumi kemudian kembali ke dapur untuk mengambil beberapa makanan yang akan dia hidangkan di meja makan.

"Pa, untuk apa sih, Papa nyuruh Arumi makan bareng kita," ucap Arkan.

Dia tampak tidak suka dengan sikap ayahnya yang terlalu baik pada Arumi.

"Nggak apa-apa Arkan. Sekali-kalilah ajak Arumi makan bareng kita."

"Tapi aku nggak suka Pa. Dia nggak pantas makan satu meja dengan kita. Karena dia kan cuma anak pembantu."

"Arkan, jangan bicara begitu. Bik Hesti dan Mang Tama udah lama kerja di sini. Arumi dan Lira juga sudah lama tinggal di sini. Papa juga udah menganggap anak-anak Bu Hesti anak papa sendiri."

***

Setelah semua makanan, sudah tersaji di atas meja makan, Arumi kemudian mendekat ke meja makan seperti apa yang Pak Mahendra perintahkan.

"Arumi, ayo duduk Arumi!" pinta Pak Mahendra.

Ada angin apa ya Tuan nyuruh aku sarapan satu meja dengannya, batin Arumi.

Arumi masih berdiri dan masih ragu untuk duduk di sisi Arkan. Dia masih takut dan trauma dengan kejadian yang semalam menimpanya.

"Arumi kenapa masih berdiri. Ayo duduk Arumi. Temani kami makan!"

"Ta-tapi... rasanya saya tidak pantas untuk makan bersama Tuan di sini."

Pak Mahendra tersenyum.

"Arumi. Saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri. Jadi jangan malu-malu Arumi. Ayo duduk !" pinta Pak Mahendra untuk yang ke tiga kalinya.

"Baik Tuan."

Arumi sudah tidak bisa menolak majikannya lagi. akhirnya Arumi mau juga duduk di sisi Arkan.

Arkan sejak tadi masih diam. Dia masih sibuk menatap ke layar ponselnya. Sementara Arumi masih tampak gugup saat bertemu lagi dengan Arkan. Semua rasa sudah bercampur menjadi satu di hati Arumi saat ini.

Setelah makanannya habis, Arkan mengambil susu hangat yang ada di atas meja dan lantas meminumnya.

"Pa, aku mau langsung ke kantor aja ya," ucap Arkan.

"Kamu nggak mau berangkat bareng Papa?" tanya Pak Mahendra pada anaknya.

Arkan menggeleng.

"Arkan bawa mobil sendiri aja Pa. Papa mau sama Mang Tama kan?"

"Iya."

Selesai makan, Arkan bangkit dari duduk. Dia melangkah pergi meninggalkan meja makan. Dia keluar dari rumah untuk mengambil mobilnya yang terparkir di garasi rumahnya. Setelah itu, Arkan pun meluncur pergi dengan mobilnya.

Pak Mahendra menatap Arumi lekat.

"Arumi, bagaimana kuliah kamu?" tanya Pak Mahendra.

"Kuliah aku, baik-baik aja Tuan."

"Satu tahun lagi kan, kamu lulus?"

Arumi mengangguk. "Iya."

"Nanti kalau udah lulus kuliah, kerja ya di kantor saya sama Arkan dan kakak kamu."

"Iya Tuan. Insya Allah."

"Lira mana? kok nggak kelihatan?"

"Mbak udah pergi dari tadi pagi Tuan."

"Oh. Gesit banget ya kakak kamu. Saya suka dengan kinerja kakak kamu."

Arumi hanya tersenyum.

Pak Mahendra memang orang yang baik. Dia sangat ramah pada semua orang dan pandai bergaul.

Berbeda dari Arkan anaknya. Dia sosok yang pendiam, serius, dan terkenal arogan. Tidak ada satu pun yang berani sama Arkan karena dia kejam. Dia tidak akan pernah main-main untuk membalas orang yang menyakitinya.

Bahkan tak ada satu pun wanita yang berani untuk mendekatinya. Mereka hanya bisa menganggumi ketampanan lelaki itu dari jauh.

****

Pagi ini, Kenzo sudah sampai duluan di kampusnya. Lelaki tampan itu, sejak tadi masih menatap Arumi dari kejauhan.

Dia tersenyum saat melihat kekasihnya sudah sampai di kampus. Tanpa butuh waktu lama, Kenzo mendekati Arumi. Dengan sekejap, Kenzo sudah berdiri di depan Arumi.

"Sayang," ucap Kenzo tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya.

"Ken, kamu udah ada di sini?" tanya Arumi.

Kenzo mengangguk.

"Iya sayang. Aku lagi nungguin kamu. Aku kangen sama kamu."

Kenzo menatap Arumi lekat. Seperti ada yang berbeda dengan penampilan Arumi.

"Tumben kamu pakai syal? kamu kedinginan?"

"Aku nggak apa-apa Ken. Aku cuma pengin pakai aja. Udah lama juga, syal ini ada di lemari. Sayang kalau nggak di pakai."

"Tapi kamu lebih cantik dengan penampilan kamu seperti ini sayang," puji Kenzo yang hanya di tanggapi Arumi dengan senyum.

"Ya udah yuk sayang, kita ke sana!" ajak Kenzo.

Kenzo meraih tangan Arumi dan menggandengnya.

Kenzo adalah kekasih Arumi. Usianya sudah 21 tahun sepantaran Arumi. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan.

Kenzo sangat mencintai Arumi, walau dia tahu kalau status Arumi adalah anak pembantu. Sementara dia anak orang kaya.

Tetap saja, Arumi merasa minder saat jalan dengan Kenzo. Karena menurut Arumi, dia tidak pantas saja pacaran dengan Kenzo.

Tapi, kampus Arumi adalah kampus orang-orang elit, semua yang sekolah di sana adalah anak-anak orang kaya. Dan Arumi bisa masuk ke sekolah itu, karena Pak Mahendra.

***

Siang ini, Arkan masih duduk di kursi kebesarannya. Dia masih melamun memikirkan kejadian semalam.

"Kenapa sih, aku sampai tidak sadar, kalau aku udah menyentuh gadis kampung itu. Bagaimana kalau Mami dan Papi tahu, aku sudah menodai Arumi. Mereka akan marah besar sama aku," ucap Arkan.

Saat ini, Arkan memang sangat bingung. Dia tidak tahu dengan apa yang akan dia lakukan sekarang.

Bagaimana kalau Arumi hamil. Apa yang akan aku lakukan. Aku benar-benar bodoh...

Sejak tadi, Arkan masih merutuki dirinya sendiri karena kesalahannya.

Tok tok tok...

Suara ketukan dari luar ruangan Arkan membuyarkan Arkan dari lamunannya.

"Masuk...!" seru Arkan.

Seorang lelaki masuk ke dalam ruangan Arkan. Sepertinya lelaki itu adalah karyawan di kantor Arkan.

"Selamat pagi Pak Arkan," ucap lelaki itu.

"Pagi."

"Pak Arkan, sudah di tunggu di ruang meeting."

"Pak Mahendra sudah ada di sana?" tanya Arkan.

"Iya. Dia juga sedang menunggu anda."

"Baik. Sebentar lagi saya ke sana."

"Iya."

Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan ruangan Arkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!