“Ngger, kurasa sudah saatnya aku meninggalkanmu dan kaupun
harus segera pergi karena sebuah tugas besar telah menantimu. Gunakan ilmu yang
kau peroleh ini untuk kebaikan. Ada
saatnya nanti ilmumu akan diuji dalam penderitaan dan kesengsaraan yang kau
alami. Jika kau bisa bersabar, maka kau akan memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan
di dunia dan di akhirat. Pelajari terus dan latihlah jurus-jurus ini setiap hari. Pelajari lagi
cara-cara mengendalikan dan menggunakan kekuatan ini agar tidak membahayakan
dirimu dan orang lain,” pesan Mpu Sengkala.
“Baik Guru, aku akan melatihnya setiap hari,” jawab Wiraksara.
“Ingat ya,
jurus-jurus yang kuberikan kepadamu ini harus digunakan untuk kebaikan, jangan
dipakai untuk kejahatan. Sekarang aku pergi dulu,” kata Mpu Sengkala.
Mpu Sengkala berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Wiraksara,
tak lama kemudian tubuhnya lenyap tak berbekas.
Mendadak Wiraksara merasa tubuhnya begitu ringan bagai
kapas, setelah itu dia merasakan tubuhnya terasa melayang dan terlempar ke
dunia nyata. Kini tubuhnya kembali terbaring di di pasir pantai di bawah pohon
tempat dia pertama kali menemukan tubuh pria misterius yang penuh luka. Namun
sosok pria itu sudah tidak lagi berada di situ. Wiraksara melihat matahari
bersinar terang, sinarnya menerobos pepohonan di sekitarnya.
“Huh ternyata aku menginap di pantai, tapi kemana pria itu
pergi ya?”
Pemuda itu tiba-tiba merasa tubuhnya sangat letih dan
perutnya sangat lapar.
Hari ini pasti ibu sudah memasak Mangut Iwak Manyung
kesukaanku, aku harus segera pulang, batin Wiraksara.
Teringat masakan ibunya yang lezat, dia segera berjalan
pulang ke rumahnya ingin segera mandi dan makan kemudian tidur lagi. Setibanya
di rumah, betapa terkejutnya Wiraksara melihat pendopo rumahnya sudah dipenuhi
tamu.
Lho, kenapa rumahku jadi penuh tamu? Pikir Wiraksara.
Wiraksara melangkah masuk halaman rumah dan ketika
orang-orang itu melihat Wiraksara mereka segera menghampiri dan berteriak ribut
“Wiraksara sudah pulang, dia sudah kembali …!”
Wiraksara kebingungan melihat orang-orang itu begitu ribut
menyambutnya. Tak lama kemudian bapak ibunya keluar dari rumah. Ibunya
menyambutnya sambil menangis
“Oalaah Ngger, kemana saja kamu selama ini?”
Wiraksara yang kebingungan hanya menjawab
“Ibu ada apa ini? Aku kan cuma pergi ke pantai, lagipula aku
hanya pergi semalam, kenapa sampai heboh begini?” Tanya Wiraksara.
“Huh dasar bocah mbolang, kamu itu sudah meninggalkan rumah
selama 5 hari tanpa kabar. Kupikir kamu sudah kembali bekerja di istana. Tetapi
ketika utusan Patih Gajah Lembana mencarimu kemari, aku baru sadar kamu tidak
pulang ke Wilwatikta tetapi mbolang gak jelas kemana,” kata Brajasela ayahnya dengan
marah.
“Tunggu Romo, tadi kau bilang aku pergi meninggalkan rumah
selama 5 hari? Padahal aku hanya pergi meninggalkan rumah baru semalam. Kemarin
aku pergi ke pantai di sore hari melihat matahari terbenam,” ujar Wiraksara.
“Ngger, 3 hari yang lalu kami sudah berusaha mencarimu
kemana-mana, tetapi keberadaanmu masih tetap belum di temukan. Bahkan kami sudah
ke pantai tempat tujuanmu nongkrong di sore hari. Kami sudah mencarimu di
setiap jengkal lahannya, tetapi kamu tidak ditemukan di sana. Kami malah menemukan mayat laki-laki tak di
kenal dengan tubuh penuh luka, entah siapa yang membuang jenazahnya di situ. Hari
ini di saat kami mengadakan acara doa bersama mendoakanmu, akhirnya kamu baru
pulang. Ya sudah, kamu mandi dulu sana, nanti kita makan bersama-sama,” kata bapaknya.
Wiraksara ingin menceritakan perihal pertemuannya dengan Mpu
Sengkala dan pria yang mati dalam keadaan mengenaskan di pantai itu, namun dia
khawatir ceritanya tidak dipercaya orang tuannya atau malah justru menambah
masalah baru karena adanya korban pembunuhan. Maka dia memilih untuk diam.
Saat makan bersama mulailah Brajasela bercerita
“Pada hari ke2 setelah kamu pergi, seorang utusan dari Patih
Gajah Lembana kemari mencarimu. Dia mengatakan bahwa kamu ditugasi Raja pergi
ke China menghadap Kaisar Yong Le untuk meminta maaf karena telah membunuh 170
delegasi dari China. Besok kamu harus segera berangkat ke Hujung Galuh, kapalmu
sudah menunggumu di sana. Ini surat perintah tugasnya,” kata Brajasela sambil
memberikan lontar kepada Wiraksara.
Dengan enggan Wiraksara membuka lontar itu dan membaca
penugasannya.
“Baiklah Romo, besok aku segera pergi ke Hujung Galuh,” kata
Wiraksara.
Malam harinya, Wiraksara merasa gelisah tidak dapat tidur,
energi ajian Maha Aji di dalam tubuhnya membuatnya kepanasan hingga
tubuhnya berkeringat. Wiraksara mencoba mengatur kembali hawa murninya di dalam
tubuhnya untuk meredakan rasa panas di tubuhnya namun tak juga berhasil. Dia
tidak bisa mengendalikan energi dahsyat yang bergejolak di dalam tubuhnya. Wiraksara
mencoba berendam di dalam kolam pemandian di belakang rumah, namun hawa panas
itu masih saja menguasai tubuhnya bahkan air di dalam kolam itu kini menjadi
hangat.
Gagal mendinginkan tubuhnya akhirnya Wiraksara memutuskan
untuk berendam di sungai. Wiraksara berangkat ke sungai di dekat rumahnya.
Malam itu suasana sungai begitu gelap, hanya terdengar desau angin dan derik
serangga malam. Angin malam yang dingin bertiup mendinginkan tubuh Wiraksara
malam itu. Wiraksara segera menceburkan
dirinya di dalam sungai.
“Byuuur!”
“Huuh, lega, di sini sedikit lebih baik, airnya lebih dingin
dan jumlahnya lebih banyak sehingga panasnya bisa menyebar ke seluruh sungai,”
gumam Wiraksara.
Wiraksara sangat menikmati dinginnya air sungai, sekarang,
rasa panas di tubuhnya mulai berkurang. Tiba- tiba munculah sebuah sosok
laki-laki di depannya yang berwajah mirip dirinya, berpakaian serba putih dan tubuhnya
bercahaya. Sosok itu tertawa melihat tingkah Wiraksara.
“Kau ini bagaimana sudah diajari cara mengendalikan energi Maha
Aji tetapi masih saja kau belum mampu mengendalikannya. Lihat, air sungai di sekitarmu
sekarang menghangat padahal saat ini cuaca dingin,” kata sosok itu.
“Aku belum bisa mengendalikan energi yang mengalir di
tubuhku, tolong aku Guru bantu aku mengendalikan panas ini,” kata Wiraksara
dengan wajah memelas.
“Jika kau tidak bisa mengendalikannya, kau bisa berendam di
air dan mengerahkan kelebihan energi itu di telapak kaki dan tanganmu supaya
bisa berpindah panasnya ke media yang lain yaitu air tempatmu berendam,” ujar
Prabu Mpu Sengkala yang langsung lenyap dari pandangan Wiraksara usai
berbicara.
****
Pagi-pagi buta, Wiraksara sudah berangkat naik kapal menuju
Hujung Galuh, sesampainya di Hujung Galuh, hari sudah menjelang maghrib. Sebuah
kapal besar milik kerajaan Majapahit sudah berlabuh di dermaga menunggu
kedatangan Wiraksara.
Wah, ternyata mereka sudah lama menungguku. Huh, gara-gara
bertemu Mpu Sengkala aku jadi berkelana di dunia gaib selama 5 hari, batin Wiraksara.
Ketika naik ke kapal, Wiraksara melihat Gajah Lembana sudah
menunggu kedatangannya. Sang Mahapatih Majapahit itu tampak gelisah mondar-mandir
di atas di atas kapal menunggu kedatangan Wiraksara dengan gelisah. Sudah 2 hari ini Gajah Lembana sering
mengunjungi kapal yang akan memberangkatkannya ke China, menunggu
kedatangan Wiraksara untuk menyampaikan pesan dari Sang Nata sekaligus
memberikan pengarahan tentang apa yang harus di lakukan ketika bertemu Kaisar
Yong Le.
“Rahayu Gusti Patih,” sapa Wiraksara sambil memberi hormat
kepada Gajah Lembana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Dani Mardani
mantappp
2023-08-29
0
Tamburelo
Lah... tombak apa pedang ya.
2023-07-10
1