Pagi itu Sang Nata yang sedang murka membuka pertemuan itu dan berbicara dengan nada marah
“Kita telah melakukan kesalahan besar ketika penyerbuan ke Keraton Majapahit Timur dengan membunuh 170 rombongan Laksamana Cheng Ho. Padahal mereka tidak tahu menahu mengenai permasalahan kita. Aku akan mengirim utusan untuk meminta maaf kepada Kaisar Yongle. Atas insiden ini.”
Suasana hening, semua orang tertunduk tidak berani menatap
wajah Sang Nata yang sedang murka.
“Lalu siapa yang akan Gusti Prabu perintahkan sebagai utusan
kita ke China?” tanya Patih Gajah Lembana.
Wikramawardhana tampak berpikir.
“Siapa diantara para pejabat kita yang biasa kita perintahkan
berhubungan dengan China?”
Patih Gajah Lembana tampak berpikir sejenak kemudian dia
berbicara sebentar dengan beberapa Nayaka Praja di sampingnya
“Kukira Wiraksara adalah orang yang tepat. Dia bisa mewakili
kita untuk menyampaikan permintaan maaf kita ke China. Selama ini Wiraksara
sudah sering mewakili delegasi kita ke China. Dia sangat fasih berbahasa
China,” kata Patih Gajah Lembana.
“Wiraksara? Ah, mengapa kau tidak memilih orang lain saja
yang lebih senior?” Tanya Wikramawardhana.
“Ampun Gusti Prabu, saya
kuatir Kaisar Yongle akan mengambil tindakan kepada kita. Bagaimana jika Kaisar
Yongle kemudian menawan utusan kita untuk membalas dendam kematian para utusannya? Kalau kita memerintahkan utusan yang lebih
senior berangkat ke China, saya kuatir dia tidak mampu menanggung resikonya. Wiraksara masih muda dan kuat, seandainya terjadi sesuatu di sana dia
mampu menghadapinya. Biar dia saja yang berangkat ke China.”
Wikramawardhana berpikir sejenak lalu bertitah
“Baiklah, kita akan memerintahkannya pergi secepatnya ke
China mumpung angin muson Utara masih ada. Panggil orangnya kemari!”
Gajah Lembana tertegun, ada satu hal yang lupa
disampaikannya
“Mohon amoun Gusti Prabu, hamba lupa menyampaikan, hari ini Wiraksara
tidak masuk kerja,” jawab Patih Gajah Lembana dengan suara perlahan.
Prabu Wikramawardhana tertegun sejenak
“Hah … apa maksudmu tidak masuk kerja?”
“Iiyaa … Gusti Prabu, kemarin dia pamit cuti pulang ke
Lasem.”
“Lalu mengapa kau mengijinkannya cuti di saat kita habis
perang begini, waduuh, bukankah aku sudah mengatakan tidak boleh ada pejabat
yang cuti dalam keadaan darurat ini?” Prabu Wikramawardhana mulai marah.
Patih Gajah Lembana kembali menjawab
“Ampun Gusti Prabu, saya memang tidak mengijinkannya pergi,
tetapi anak itu ngeyel nekat tidak masuk. Dia memang lebih suka mengurus bisnis
perdagangannya dengan para saudagar mancanegara di Lasem daripada mengurus
negara. Itulah sebabnya saya merasa lebih baik dia saja yang berangkat ke
China, karena di sinipun dia tidak banyak berguna.”
“Kalau begitu berarti anak itu membolos tidak masuk kerja
bukan cuti karena kau tidak memberinya izin untuk cuti. Ah sudahlah aku tidak
mau tahu, jemput anak itu kemari. Kalau tidak mau, seret paksa dia kemari. Aku
mau dia yang menangani masalah ini sampai beres!”
Para Nayaka Praja di paseban hanya bisa geleng-geleng kepala
mendengar kelakuan Wiraksara. Anak itu memang cerdas namun terkadang sikapnya
kurang disiplin membuat teman-temannya yang lebih senior merasa kesal. Tetapi
berhubung dia masih keponakan Raja Wikramawardhana, tidak ada yang berani
memarahi atau menegurnya.
Wiraksara adalah seorang diplomat dengan sebutan jabatannya
di Majapahit adalah Arya Dwipantara, menguasai sedikit ilmu beladiri sekedar
untuk memenuhi kewajiban saja. Karena sebagai seorang pejabat negara, dia harus
menguasai ilmu bela diri. Wiraksara bukanlah seorang yang memiliki ilmu
kanuragan yang tinggi. Dia mendapat jabatan Arya Dwipantara semata-mata karena
kecerdasannya yang trampil dalam berdiplomasi dan bernegosiasi dengan
negara-negara asing.
Ketika pihak istana sibuk mencari dirinya di Trowulan, sore
itu Wiraksara asyik bersantai di bawah pohon Nyiur sambil menggigit sebatang
bunga ilalang, merenung di tepi pantai Lasem sambil menikmati keindahan
matahari yang sedang tenggelam di ufuk barat dan mendengarkan suara deburan
ombak pantai Lasem yang selalu dirindukannya.
“Indah sekali pemandangan sore ini, aku bosan berada di istana
bersama pejabat-pejabat korup yang hanya tahu mencari muka saja. Lebih baik di
sini bisa bersantai di pantai dan berdagang, bertemu dengan teman-teman
mancanegara di pelabuhan,” gumamnya.
Menjelang maghrib, dia memutuskan pulang karena dia ingat,
dia ada janji bertemu dengan teman-temannya di kedai tuak. Pantai itu bukanlah
pantai yang ramai, tidak banyak orang yang berkunjung di situ, namun pantai itu
adalah pantai favoritnya, Pantainya bersih dan banyak pepohonan yang rimbun.
Air lautnya bening sehingga jika berlayar sampai ke tengah lautan, dia bisa
melihat ikan dan udang yang berenang di sela-sela terumbu karang.
Selagi dia berjalan pulang, dari kerimbunan semak-semak
terdengar suara orang mengeluh kesakitan. Wiraksara tertegun mendengarnya, segera
dia menghampiri sumber suara tersebut dan alangkah terkejutnya dia ketika
melihat seorang laki-laki berusia 40 tahunan. Tubuhnya berlumuran darah duduk
bersandar di bawah pohon. Kulitnya penuh luka cacahan pedang yang terus menerus
mengalirkan darah, dan mungkin juga dia menderita luka dalam yang parah karena
di beberapa bagian tubuhnya terdapat lebam-lebam berwarna biru kehitaman tanda
dahsyatnya pukulan yang dialaminya. Wiraksara dengan cemas segera menghampiri
orang itu dan berseru
“Ki Sanak, Ki Sanak apa yang terjadi? Mari aku bantu antar
ke tabib,” kata Wiraksara berusaha membangunkan dan memapah orang itu.
Namun orang itu menggeleng dan berkata
“Tidak, tidak perlu, sebentar lagi aku akan mati, tak ada
gunanya membawaku ke tabib. Aku seorang pendosa yang memang tidak pantas hidup,
Para pengeroyokku para pendekar berilmu tinggi itu sudah menghajarku tanpa
ampun,”katanya sambil menatap Wiraksara dengan pandangan tajam.
Terdengar suara orang misterius itu berbicara lagi.
“Tulangmu tubuhmu bagus dan kepalamu bentuknya juga bagus,
kau adalah tipe tubuh pendekar yang ideal yang hanya dimiliki sedikit manusia
di dunia ini dan otakmu pasti cerdas.”
Wiraksara kebingungan lalu bertanya kepada orang itu
“Apa maksudmu dengan tubuh pendekar yang ideal dan bentuk kepala
yang bagus? Kurasa kepalaku biasa-biasa saja seperti kepala orang pada umumnya
dan aku juga bukan seorang petarung yang tangguh. Tapi memang sih orang bilang
aku orang yang cerdas dan tampan, he he he.”
Namun orang itu tidak peduli dengan kata-kata Wiraksara, dia
berbicara lagi dengan sisa-sisa tenaganya yang masih tersisa.
“Kemarilah mendekatlah padaku dan duduklah di depanku Ngger,
aku sudah tidak punya waktu lagi.”
Tiba-tiba tangan orang itu meraih bahunya dan
mencengkeramnya dengan kuat membuat Wiraksara marah dan berteriak
“Hei, apa yang kau lakukan? Hentikan atau aku akan
membunuhmu!”
Wiraksara tidak meneruskan kata-katanya karena dia merasakan
bahunya seperti di sengat ribuan tawon.
“Aaaarrrggghh…!”
Wiraksara berteriak keras tetapi tidak ada orang yang
mendengarnya karena hari sudah menjelang maghrib dan tidak ada orang di pantai
itu. Setelah itu tubuh Wiraksara lunglai tak bertenaga, Dia sudah pasrah jika
kemudian orang itu membunuhnya.
“Aku telah mewariskan ilmu tenaga dalam Maha Aji itu
untukmu. Kini kau menjadi seoprang pendekar yang memiliki tenaga dalam yang
sangat besar, Tetapi kau harus mampu mengendalikannya,” ujar pria misterius
itu.
Pria itu kemudian duduk bersila dan menangkupkan tangannya,
tiba-tiba dari tangannya munculah sebuah pedang yang bersinar. Wiraksara terkejut melihatnya,
Orang ini seperti penyihir, tiba-tiba saja tangannya sudah
menggenggam sebuah pedang, batin
Wiraksara dengan kagum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Eko Subagyo
sepertinya bagus cerita silat Nusantara berlatarbelakang sejarah dan tetap semangat Thor 👍❤️🙏
2023-09-02
0
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow
2023-06-22
0