Sendiri tanpa suami.

Hadiah terbaik adalah apa yang kamu miliki.Kurangin ngeluh, banyakin syukur!.

Jika waktu menjadi rahasia bahkan untuk detik- detik selanjutnya, maka Aisyah hanya perlu menunggu dan menghitung maju. Akan seperti apa kisah rumah tangga dadakannya ini menjadi cerita.Apakah akan lebih banyak airmata ataukah terselip canda dan tawa dalam perjalanannya? Entahlah. Nyatanya mereka masih sebagai dua orang yang merasa belum memiliki keterikatan satu sama lainnya.

Aisyah mungkin saja sudah mulai merasakan arti hadir pria tersebut disampingnya, dia akan lebih merasa nyaman jika melihat dan mendengar suara suaminya.Tapi Ale? Sepertinya pria itu belum merasakan getaran apapun saat bersamanya.

Hati mencoba menata seluruh asa yang dahulu selalu ia damba. Kedua adik perempuannya haruslah bisa hidup berdikari menggapai masa depan untuk hidup yang jauh lebih dan lebih lagi.

Peluh dan airmata kedua orang tuanya adalah hakikat cinta dalam iringan doa.Tak pernah tersirat lara. Namun,mata jelas mampu mengeja, betapa mereka berjuang bukan hanya dengan ungkapan sayang umpana para kaum dari kasta Brahmana.

"Sedang menunggu yang katanya indah pada waktunya," gumamnya seraya menata semua peralatan makan yang baru selesai dicucinya.

Tak ada yang ditunggunya malam ini. Sang suami yang biasanya pulang menjelang azan berkumandang, nyatanya sudah pamit pagi tadi.

Pov Aisyah.

"Kakak kapan pulang? Ini sudah lebih dari tiga bulan lho Kak," Aku menarik nafasku lelah saat membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Inayah Adik bungsuku yang sebentar lagi akan menyelesaikan sekolah menengah pertamanya.

Aku sebagai anak pertama sekaligus Kakak tertua untuknya.Belum lagi aku selesai mengetik kalimat balasan, sebuah pesan kembali masuk. Kali ini dari Alya adik pertamaku.

"Kak, besok Alya mulai masuk kuliah. Doakan Alya ya semoga Kakak seniornya ganteng- ganteng dan juga baik hati,"isi pesan dari Alya yang diakhiri dengan emoticon pipi bersemu merahnya. Kedua adik perempuanku dengan kepribadian yang berbeda.

Alya yang cantik dan berlesung pipi, dia sedikit centil. Berbanding terbalik dengan Inayah,adik bungsuku yang manis dan lebih pendiam. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berbagai macam kegiatan organisasi di sekolahnya.

"Nggak usah kecentilan! Ingat tujuanmu kuliah itu untuk apa!" balasku pada pesan singkat Alya.

"Kita ini kan sama-sama gadis Kak. Nanti kalau Alya ingin curhat,sama Kak Ais aja ya, masa iya aku curhatnya sama Ibu, Ibu mana ngerti.Ibu sama Ayah menikahnya tanpa pacaran tanpa cinta Kak."

Aku seperti tertampar saat membaca pesan adik pertamaku itu. Aku Kakak yang disanjung- sanjungnya,menjadi panutan untuknya. Diam-diam sudah menjadi istri orang. Akulah yang mewarisi kisah Ayah dan Ibu yang menikah tanpa cinta apalagi pacaran. Akankah rumah tanggaku sebahagia Ayah dan Ibu dengan ketiga buah hati mereka?

Aku tak menampik jika Pak CFO suamiku itu sangatlah sempurna bentuk fisiknya. Akupun tak pernah bermimpi bisa bersuamikan pria sesempurna dirinya. Tampan?Tentu dia adalah definisi tampan yang sesungguhnya. Aku rasa aku tidak sedang jatuh cinta saat mendeskripsikan tentang dirinya.

Tinggi badannya bahkan lebih tinggi dari pintu rumahku, kulitnya yang kuning langsat membuat mataku rasanya ingin kuganjal saja menggunakan selotip agar tak berkedip saat melihatnya. Alisnya yang tebal laksana semut yang berbaris, hidung bangir lalu bibir merahnya yang emm, seperti permen dengan aroma buah yang bertuliskan kalimat- kalimat cinta pada kemasannya.Manis dan harum. Dan aku hanya mampu memandanginya saja, itupun ketika si empunyanya sedang terlelap. Jika ia terjaga akupun pura-pura tidak mengaguminya.

Lalu aku? Entah seperti apa penilaiannya tentang diriku. Nanti dululah untuk menilai sikapku, karena pada kenyataannya semua orang akan melihat fisik kita terlebih dahulu, barulah kemudian menjalar pada inner beautynya.

"Iya cerita aja, Kakak selalu ada untuk kalian," balasku yang tak kunjung dibaca oleh Alya, mungkin dia sudah tidur.

Malam ini aku tak dapat memejamkan mataku barang sedetik saja. Takut, jelas aku takut. Sendirian di dalam gedung bertingkat,entah berapa akupun tak ada waktu untuk menghitungnya. Sungguh rasanya aku ingin kabur saja jika tidak ingat pesan dari Pak Ale tadi.

Aku mondar-mandir sudah seperti setrika arang cap ayam kini. Duduk salah, berdiri salah, berbaring apalagi, jelas makin serbasalah.

Pak Ale yang berjanji akan menghubungiku nyatanya tak kunjung kudengar suaranya. Mungkin dia sedang ada acara dengan keluarga besarnya. Secara orang kaya, minum teh tubruk saja make-up nya melebihi pengantin yang akan berganti gaun lamanya.

Baru saja aku akan berbaring, ponselku berdering. Besar harapan bahwa itu adalah panggilan dari Pak Ale. Aku hembuskan nafas kecewa saat melihat nama Amel temanku saat bekerja sebagai room service hotel waktu itu yang muncul.

"Iya Mel" ucapku menyapanya singkat.

"Ai, kamu beneran udah resign ya, kenapa Ai?" tanyanya bertubi-tubi.

"Iya Mel, maaf ya nggak sempat pamit ke kamu. Semua mendadak Mel," ucapku meminta maaf dengan alasan yang mudah- mudahan saja bisa diterima oleh logika.

"Terus kamu tinggal dan kerja di mana sekarang Ai?" tanyanya lagi.

"Aku masih di tempat lama Mel, sementara ini jadi beban negara dulu," ucapku berseloroh agar tak terlalu serius juga obrolan kami ini.

Setelah panggilan berakhir, aku hempaskan benda pipih yang sudah retak sejuta itu biar jadi semiliyar sekalian di atas ranjang empuk suamiku. Ah suamiku, kenapa rasanya seperti ini, baru juga hitungan hari dia menjadi suamiku, kenapa rasanya aku tak ingin jauh darinya. Ah murahan sekali jatuh cintaku jika benar seperti itu.

ponselku kembali berdering.Daripada kecewa, karena kenyataan tak sesuai khayalan, kubiarkan saja benda pintar itu berkedip- kedip genit pada layarnya.

Senyumku mengembang sempurna seperti adonan kue yang dilapisi margarin,saat melihat nama suamiku yang muncul di sana.

"Assalamualaikum Pak" ucapku canggung, sudah seperti bawahan kepada atasannya saja.

"Waalaikumussalam, belum tidur kamu, ini udah larut malam lho," tanyanya lembut yang membuat jantungku seperti orang habis lari maraton.

"Belum Pak, saya nggak bisa tidur,"jawabku jujur.

"Nungguin saya ya," godanya. Dan aku dapat mendengar suara tawa lirihnya yang membuatku tiba-tiba terkena serangan penyakit asma kini. Sesak nafas karena menahan malu.

"Bapak yang janji," ucapku jujur karena tak sanggup juga untuk tidak mengakuinya.

"Sekarang sudah saya telepon, mau ngomong apa?" tanyanya yang terdengar seperti alunan dawai pujangga yang malah membuat otakku jadi berkelana tak tahu rimbahnya.

Baru saja aku akan bicara, tiba-tiba aku mendengar suara perempuan memanggil namanya.

"Mas Ale."

"Saya tutup dulu sebentar ya, sepertinya Mama memanggil," ucapnya segera mengakhiri panggilan suara kami yang baru saja akan dimulai.

Sudah lebih dari satu jam aku menunggu, nyatanya dia tak kunjung menghubungi.

"Nasib istri sah rasa simpanan ya seperti ini, entah kapan ada titik-titiknya,"keluhku pasrah seraya memeluk guling empuk milik Pak Ale.

*

*

*

Happy reading all.

Terimakasih 🥰.

Terpopuler

Comments

վմղíα | HV💕

վմղíα | HV💕

KK bawa iklan

2023-06-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!