"Jadi selama 5 tahun hubungan kita, 3 tahunnya kamu selingkuh begitu?" Tatapan marah di layangkan Andini ke Alfin.
"Apa maksud kamu hah? Siapa yang selingkuh? Dan siapa yang hubungan 5 tahun sama kamu?" Tanya Mili tak suka pada Andini.
"Tanyakan saja pada kekasihmu itu, bahkan dia kuliah S2 pun semua biayanya dia minta padaku," ucap Andini yang malah membuat wajah Alfin memerah.
"Apa? Kamu yang biayai kuliah Alfin? Gak salah kamu? Itu bukan uang yang sedikit kali. Alfin bisa kuliah S2 ya karena keluarganya orang berada, bukan karena kamu. Kalau ngehalu itu jangan ketinggian dong," sewot Mili.
"Faktanya memang begitu, dan orang kamu bilang orang berada itu nyatanya dulu hanya karyawan biasa di kantornya. Dan keluarganya di kampung juga hanya orang biasa bukan orang terpandang."
Alfin menatap marah pada Andini karena merasa di telangjangi di depan umum. Meski di lantai 3 itu tidak banyak orang, namun tetap saja harga dirinya seakan di injak oleh Andini. Apa lagi ada beberapa orang terpandang yang ikut melihat ke arah mereka.
"Jaga ucapan kamu Andini, aku gak kenal sama kamu dan kita gak punya hubungan apa-apa. Kamulah yang selama ini selalu ngejar-ngejar aku karena aku sukses jadi seorang General Manager. Sedangkan kamu hanya seorang Sekretaris yang gajinya bahkan gak sebanding denganku. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah menggunakan uangmu. Kalau bicara gunakan pikiranmu dengan baik," ucap Alfin dengan emosi.
"Oh, jadi kamu gak kenal denganku? Dan hubungan kita selama 5 tahun ini karena aku ngejar-ngejar kamu. Baik, karena aku masih banyak urusan jadi tunggu saja kejutan dariku nanti." Andini menatap tajam Alfin dan Mili bergantian.
Bukan Andini tidak mau melawan atau takut pada kedua orang itu. Andini hanya tidak memiliki cukup waktu untuk meladeni keduanya. Ada meting penting yang lebih berharga dari sekedar meladeni penghianat.
"Hhuuu ... Dasar perempuan ganjen. Gak laku ya kamu makanya ngaku-ngaku pacaran sama pacarku selama 5 tahun? Trik murahan itu gak akan laku tahu kamu."
Andini mengabaikan teriakan Mili dan masuk ke dalam ruangan di mana Varel sudah di dalam sana menunggu. Pemuda itu tidak ingin terlalu ikut campur dalam masalah yang belum di ketahuinya.
Apa lagi itu bukan urusannya juga, jadi Varel lebih memilih masuk ke dalam ruangan yang sudah di pesan dan memesan makanan.
"Huh! Tunggu kamu penghianat, aku bakalan tuntut kamu. Aku akan balas kamu lebih sakit dari yang aku rasakana," marah Andini sembari menyambar kue di hadapannya lalu makan dengan cepat.
Varel sampai melongo melihat pasta di piring yang memang di pesannya untuk Andini sudah habis. Amarah meningkatkan nafsu makan batin Varel.
Dalam sekejab saja, semua makanan yang ada di meja sudah habis di makan oleh Andini. Untung saja Varel sudah makan duluan, kalau tidak bisa-bisa pemuda itu tidak jadi makan karena kenyang duluan melihat cara makan Andini.
"Tidak ada cerita galau-galauan, meting kita harus berhasil." Andini hanya mengangguk saja.
Beberapa jam kemudian, meting telah selesai di laksakan dengan hasil yang memuaskan. Andini berdiri dari duduknya sembari membereskan berkas-berkas yang tadi mereka gunakan.
"Bos, saya pamit pulang duluan ya? Ijin Bos," ucap Andini setelah mereka di luar restoran.
Tanpa menunggu jawaban dari Varel, Andini berjalan gontai menuju pinggir jalan sembari memesan taksi online. Gadis itu galau dan sedih karena ternyata cintanya di hianati. Belum lagi pengorbanannya yang sia-sia.
Varel hanya bisa menghela napas panjang melihat sikap Andini yang sedang galau itu. Karena baur kali ini Andini bersikap demikian, maka Varel akan memaklumi dan mengijinkan gadis itu pulang.
Lagian mereka juga tidak punya banyak pekerjaan di kantor. Jadi Varel juga memutuskan untuk pulang. Tapi saat teringat akan satu hal, Varel buru-buru meminta supir untuk mengikuti kemana perginya Andini.
Untung saja gadis itu baru menaiki taksinya, jadi Varel masih sempat untuk mengikuti kemana Amdini pergi. Khawatirnya gadis itu akan melakukan sesuatu yang membahayakan.
Andini terus berpikir apa yang harus di lakukannya untuk membalas Alfin yang sudah menghianatinya. Bahkan hinaan pemuda itu juga membuat Andini merasa sakit hati.
"Dasar kacang lupa kulitnya, memangnya dulu dia siapa sebelum mendapatkan jabatannya yang sekarang. Pantas saja sejak dulu selalu sulit di ajak keluar atau sekedar jalan, ternyata dia punya yang lain di belakangku."
Andini bergumam sendiri di kursi penumpang dengan wajah kesal dan marahnya. Namun sedetik kemudian ia terlihat sedih dan murung. Hingga supir taksi yang membawanya bergidik ngeri karena takut membawa penumpang yang kurang waras.
Sampai akhirnya taksi berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi dan kokoh.
"Kita sudah tiba, Mbak." Andini mengeluarkan uang dari dompetnya lalu menyerahkan pada supir taksi.
"Nih, Pak."
"Ini kebanyakan, Mbak. Yang selembar aja masih ada kembaliannya," ucap supir taksi itu saat menerima 2 lembar uang berwarna merah.
"Ambil aja semua buat, Bapak. Bapak cuma perlu doa in saya supaya tetap kuat dan sabar," kata Andini.
"Oh, terimakasih banyak Mbak. Saya pasti akan selalu doain yang terbaik buat Mbak nya dan semoga selalu bahagia ya, Mbak."
"Terimakasih doanya, Pak."
Andini keluar dari taksi dan segera menuju ke arah gerbang yang di baliknya ada seseorang yang sedang menatap kaget ke datangan Andini.
"Mbak Dini pulang! Ya ampun, ayo masuk Mbak. Jangan di luar, panas."
Satpam yang berjaga di gerbang membuka pintu pagar sedikit untuk Andini masuk.
"Terimakasih, Pak. Saya langsung masuk," ucap Andini di angguki oleh Satpam itu.
"Iya Mbak silahkan, Bapak sama Ibu pasti seneng lihat Mbak pulang."
Andini hanya bergumam sembari berjalan gontai menuju rumah besar di hadapannya. Rumah yang bak istana itu lumayan jauh juga dari gerbang. Hingga Andini merasa lelah sendiri berjalan menuju pintu.
"Siapa sih yang buat halaman selebar ini? Mana pintu rumahnya masih jauh lagi. Gak tahu udah capek apa?" Gerutu Andini.
Padahal jarak yang harus di tempuhnya hanya tinggal beberapa meter saja. Namun karena suasana hati yang tidak baik, membuat Andini merasa segala hal yang menyulitkan serasa semakin menyusahkan.
Setibanya di depan pintu rumah mewah tersebut, Andini mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu. Padahal ada bell di sana, tapi namanya orang sedang patah hati dan patah semangat, malas berpikir dan hanya mencari cara cepat saja.
"Buka pintu ada tamu," ucap Andini malas.
Tidak lama setelah Andini berucap demikian, sebuah mobil mahal berhenti di depan teras. Andini yang melihat mobil itu berhenti, kedua matanya langsung berkaca-kaca.
"Dini! Kamu pulang, Nak?" Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tampak terharu melihat Andini.
Andini berlari kearah mobil dengan merentangkan kedua tangannya. Tapi bukan mendatangi wanita yang tadi memanggilnya.
"Papa!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Zuraida Zuraida
ngakak aku 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-07-21
0
Ani
lah mamanya dicuekin 😆😆😆😆😆
2023-07-15
0