Pendapat Salma

Salma terkejut saat membuka pintu toilet mendapati ibu Habibah berdiri tepat di depan layar kaca. Sepasang netranya memantul, menatap lekat ke arahnya. Jika sudah seperti itu, dia yakin ada hal yang ingin dibicarakan oleh beliau.

"Ibu, gimana kabarnya?" Sejujurnya Salma malas menyapa perempuan itu. Raut wajahnya yang terlihat menghina adalah tanda sejak dulu wanita itu memang tidak menyukainya.

"Cuti besok Sabda mau tunangan. Dan cuti berikutnya dia akan menikah."

Kan? bukannya menjawab pertanyaan darinya, justru membahas topik lain. "Ya, syukur Alhamdulillah, Bu. Akhirnya Mas Sabda bisa menemukan pengganti Salma." Salma membuka kran wastafel, mencari kegiatan apapun yang bisa mengalihkan fokusnya terhadap wanita di sampingnya ini.

"Tapi bukan itu yang inginku bahas!"

Kening Salma berkerut, kepalanya menoleh menatap mertuanya. "Lalu apa, Bu?" tanya Salma berusaha ramah.

"Kamu, kan sudah berkeluarga. Jadi, jangan minta uang ke Sabda lagi. Mungkin saat ini belum, tapi sebentar lagi dia juga memiliki kehidupan baru, dia pasti juga akan memiliki anak. Dan aku yakin pelan-pelan dia akan lupa dengan Ody."

Salma menarik napas dalam-dalam. Lalu berkata, "Seharusnya kalimat seperti itu, Ibu berikan sama Mas Sabda; Sabda stop ngasih nafkah ke anakmu!" Salma tersenyum smirk setelah berhasil memberi contoh mantan mertuanya, dan sekarang dia bisa melihat raut kesal di wajah Bu Habibah. "Salma sama mas Endra masih mampu membiayai kehidupan Ody. Jadi buat apa harus minta ke mas Sabda?!"

"Oh jadi benar, dia masih sering ngirim uang ke kamu? Berapa?! Berapa juga dia ngirim uang ke kalian?!"

"Ibu Habibah yang terhormat. Ody adalah tanggungjawab ayahnya. Mas Sabda sendiri yang sadar akan hal itu. Jadi, tanpa diingatkan pun mas Sabda sudah tahu kewajibannya. Dan tolong digaris bawahi, kalau Salma dan Ody tidak pernah meminta uang dari Mas Sabda. Paham?" Emosi Salma terpancing, saat dia hendak keluar dari toilet kalimat Bu Habibah kembali mengusik ketenangannya.

"Bujuk Ody buat tidur di rumahku. Dia harus dekat dengan calon mama sambungnya!"

Salma tidak bisa memaksa Aundy, jangankan orang lain dirinya aja kesusahan setiap kali membujuk Aundy. Dia memiliki sikap keras kepala, sama ayah kandungnya. Tapi dia ingin pertemuannya dengan sang mantan mertua segera selesai. "Salma akan berusaha, Bu. Permisi ...." Dia kemudian berlalu, ke foodcourt yang ditempati Aundy.

Saat jarak dengan meja foodcourt semakin dekat, Salma tiba-tiba menahan langkahnya, dia tengah mengamati Aundy yang sedang tertawa bersama Hani. Hati kecil Salma mencelos, mendadak udara di sekitar seperti hilang tak tersisa, ada rasa takut yang tiba-tiba memeluk erat tubuhnya. Dia khawatir Aundy lebih nyaman dengan mama sambungnya.

"Apaan sih kamu, Sal!" Gumamnya seraya melanjutkan langkah, dia bergabung dengan Aundy dan Hani.

Karena masih begitu senang bermain dengan Hani, Salma pun mengurungkan niatnya untuk membawa Aundy pulang. Dia justru memerhatikan cara Hani berbicara dengan Aundy.

Andai dia dilahirkan dari keluarga terhormat, pasti juga akan mendapat sambutan hangat dari ibu Habibah. Sayangnya Arif Wicaksana hanyalah pendiri bengkel kampung. Yang menurut keluarga Sabda tidak selevel dengan juragan beras. Tapi apapun latarnya, dia bersyukur setidaknya dia masih mendapatkan kasih sayang berlimpah dari keluarganya.

"Bunda ayo pulang, Ody capek!" Ajakan itu membuat kesadaran Salma kembali, dia menatap Aundy dan Hani bergantian.

"Ayo! Salim dulu sama Tante Hani, sama embah juga!" Perintah Salma yang langsung dituruti Aundy.

Setelah selesai berpamitan, Salma membawa Aundy pergi dari hadapan mereka. Belum juga taksi yang mereka tumpangi sampai di rumah, Aundy sudah terlelap dalam pangkuan Salma.

Berbeda dengan Salma, saat tiba di rumah dia justru merasa kesepian. Dua pekan Endra berada di rumah dan harus pergi lagi, dia seperti menyeting ulang hatinya supaya lebih tahan lagi disiksa kerinduan.

Dering panggilan suara masuk mengalihkan perhatian Salma. Dia segera mengambil benda pipih itu, meredam suaranya agar tidak membangunkan Aundy. Telepon yang dia pikir dari Endra, rupanya salah, panggilan itu dari "Mas Sabda"

Salma memejamkan mata sejenak, memikirkan untuk menerima atau menolak panggilan itu. Akhirnya, dia menggeser kursor terima di layar, lalu menempelkan ponsel itu ke telinga, menunggu Sabda berbicara.

"Hallo, Sal. Ody ada?"

Percayalah itu hanya kalimat basa-basi yang digunakan Sabda setiap ingin bicara padanya.

"Ody? Ody tidur siang, Mas. Ada yang ingin disampaikan?"

"Kata ibu, tadi kalian ketemu Hani di mall?"

Ternyata secepat itu laporan Bu Habibah, astaga! "Em, iya," jawab Salma singkat.

"Menurutmu gimana, Sal? Ibu sudah ngasih tahu kan kalau dia calonku?"

Salma heran, kenapa harus menurut dengan pendapatnya? Bukankah mereka yang akan menjalani.

"Ya terserah sama mas Sabda." Salma menarik napas dalam.

"Bu—bukan begitu! Maksudku, dia pantas eh salah—dia bisa enggak menyayangi Ody. Karena mencari jodoh dengan status duda itu sulit, bukan hanya yang bisa mencintai satu orang saja, tapi harus sepaket, plus anaknya dan aku enggak mau salah pilih."

Perkataan Sabda seakan mengingatkan Salma, dia lekas intropeksi diri, selama ini Endra menyayangi Ody kan? Dia mencintai keduanya kok bukan dirinya saja?

"Aku rasa bisa ... Ody juga nyaman kok ngobrol sama dia. Semua kan tergantung kamu nya. Seusia Ody cuma bisa nurut sama apa yang ada di depan mata. Belum berani protes ini itu! bisanya cuma mendem aja!"

"Gitu?"

"Hum ...."

"Bunda mau minum ...." Rengekan itu memecah obrolan Sabda dan Salma.

Salma menolah ke arah kedatangan Aundy, lalu mengulurkan ponselnya. "Mau telpon ayah Sabda?" tawarnya.

Wajah Aundy yang semula lesu kini berbinar, dia langsung mengambil ponsel itu dari tangan Salma.

"Ayah Sabda kapan pulang?" tanya Aundy begitu bersemangat.

"Insya Allah habis lebaran."

"Nanti liburan kan, Yah? Ajak bunda juga ya? Ayah tahu enggak tadi Ody ketemu sama Tante Hani ... Kata embah dia calon mamanya Ody ...." Aundy bercerita penuh antusias, bahkan tidak memberi ruang bagi Sabda untuk menjawab pertanyaannya.

Mendengar keduanya sibuk berbicara Salma memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

Dan saat kembali Salma masih melihat seberapa niatnya Aundy bercerita. "Udah Ody, ayahmu masuk malam loh!" Salma berusaha mengingatkan, khawatir Aundy akan mengganggu waktu istirahat Sabda.

"Enggak kok, Bun. Ayah bilang dia masuk pagi," ucap Aundy. lalu mulutnya tertutup rapat, ekspresinya seperti mendengar ucapan dari seberang panggilan. "Alatnya ayah breakdown."

Tanpa dikasih tahu lagi Salma sudah paham jika alat yang digunakan Sabda sedang rusak jadi dia bisa berlama-lama melepas rindu pada putrinya.

Melihat keduanya masih sibuk ngobrol, Salma memilih masuk kamar, mengumpulkan pakaian kotornya. Sudah lama dia tidak mencuci pakaian, saat Endra di rumah dia justru mengantar pakaian kotornya ke laundry.

Salma paham waktu bersamanya dengan Endra sangat berharga. Jadi, dia berusaha memaksimalkan waktunya untuk menemani pria itu.

Seperti biasa, Salma membongkar setiap saku untuk memeriksa uang yang mungkin lupa diletakan, dan benar saja. Banyak koin dan uang kertas di setiap saku pakaiannya.

Salma mengumpulkan benda-benda yang ditemukan dari saku celana. Dan setelah selesai semua dia membaca kertas lusuh yang sudah tidak begitu terlihat tulisannya.

Mata Salma memicing saat menyadari tulisan itu adalah bill dari salah satu hotel yang ada di sekitar Dieng. Dia berusaha mengingat lagi, selama Endra cuti mereka tidak pernah pergi ke Dieng. "Apa dia pergi sama teman-temannya?"

Terpopuler

Comments

Esther Lestari

Esther Lestari

jangan2 Endra selingkuh ?

2023-12-17

1

choowie

choowie

bujuk aza sendiri🤪

2023-10-12

0

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

hadehhhhhhh

2023-10-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!