Aku Atau Aundy

Malam hari, kota Semarang masih diguyur hujan deras. Hawa dingin terasa menusuk pori-pori kulit Salma yang sedari sore menunggu kehadiran sang suami.

Pukul sembilan malam, Endra tak jua pulang ke rumah. Gelisah mulai hadir, rasa kantuk yang mendera semakin tak tertahankan, tapi Salma— berusaha keras tetap terjaga, menunggu sosok tinggi nan putih itu tiba di rumah.

Tahu akan seperti ini, Salma tidak meminta Aundy tidur di rumah neneknya. Dan sekarang, dia justru kesepian karena tidak ada kawan yang menemani.

Jarum jam semakin mendekat ke angka sepuluh, Salma memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Langkahnya terayun, mendekat ke arah meja—tempat di mana dia meletakan ponselnya.

Sabda : Kenapa dikembalikan uangnya, Sal?

Salma menatap malas pesan balasan dari Sabda. Ya, demi kebaikan pernikahannya dengan Endra, dia memang mengembalikan uang pemberian Sabda. Dia ingin memperbaiki diri dengan taat pada suami.

Sabda : Uang itu buat Ody.

Sabda : Tolong, diterima!🙏

Helaan napas panjang Salma lakukan. Di posisinya saat ini, dia merasa serba salah. Tapi kali ini dia harus tegas, jika tidak ingin rumah tangganya hancur untuk kedua kali. Dia tidak ingin mengecewakan orangtuanya.

Salma : Mas Sabda, mulai bulan ini. Sebaiknya jangan lagi ngirim uang nafkah ke Aundy. Maaf, tapi ini demi kebaikan kita.

Sabda langsung menelpon setelah membaca pesan itu. Tapi Salma, justru mengabaikan panggilannya, hingga nada dering panggilan mati dengan sendirinya.

Sabda : Angkat, Sal! AKU MAU BICARA!

Salma memejamkan mata rapat. Masih mengabaikan pesan yang dikirim Sabda. Berharap setelah ini, Sabda akan berhenti mengganggunya.

Sabda : Kamu kenapa sih, Sal? Bukannya kita udah sepakat buat jadi orang tua yang baik untuk Ody? Kenapa jadi begini!

Salma : Mas, lebih baik uangnya Mas kumpulin untuk persiapan masa depan Mas Sabda. Atau kasih ke ibu.

Sabda : Kok kamu jadi ngatur idupku! aku nggak terima uang ini kamu kembalikan! Satu bulan lagi aku cuti, aku mau kita bertemu.

Ya, Sabda memang bekerja di luar provinsi. Pekerjaannya sama dengan Endra, hanya saja Sabda ditempatkan di Kalimantan Selatan. Tepat setelah membaca pesan terakhir dari Sabda, terdengar suara mobil masuk ke garasi rumah.

Tak ingin pesan itu menjadi bahan pertengkaran baru, Salma lekas menghapus pesan itu. Dia beranjak, menyambut kedatangan Endra.

"Mas Endra sudah makan?" tanya Salma berusaha membuka obrolan, saat melihat pria itu membuka pintu kamarnya.

Namun, Endra mengabaikan pertanyaan Salma. Dia langsung masuk ke kamar mandi, tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Salma.

Lima belas menit menunggu dengan debaran jantung yang begitu cepat, akhirnya Endra keluar dari kamar mandi. Salma bersikap ramah, menebarkan senyuman ke arah pria itu.

Cukup lama mereka saling diam, dan pada akhirnya Salma memutuskan untuk menyapa terlebih dahulu. "Mas Endra mau aku siapin makan malam?"

"Enggak perlu." Endra menjawab singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari benda pipih di tangan. Tidak lama, pria itu berganti posisi dengan memunggungi Salma.

Rasanya tidak nyaman sekali, mereka hanya bertemu selama 14 hari dan hari ini justru hubungan ke duanya tidak baik-baik saja.

"Mas Endra masih marah sama Salma?"

Tidak ada jawaban apapun, Salma berusaha melingkarkan lengannya ke pinggang Endra. Tapi tidak ada respon apapun yang diberikan pria itu.

"Mas Endra, maafin Salma ya ..." ucapnya pelan, dia mengakui kesalahannya. Dan sekarang, Salma bisa melihat Endra menyimpan gawainya ke atas meja. "Mas Endra dari mana? Kok baru pulang?" selidiknya. Paham jika kini Endra sudah fokus, dia mulai berbicara serius.

"Rumah teman."

"Siapa? Ada acara, kok bisa dari siang sampai malam begini?" Belum juga menjawab, Salma kembali melemparkan pertanyaan. "Tumben Mas Endra tidak mengajakku?"

"Udahlah, aku mau tidur mengantuk!" Endra menjauhkan tangan Salma dari tubuhnya.

"Bentar dulu, Mas! kita butuh bicara."

"Bicara apa! Tidak ada yang perlu dibicarakan!"

"Uang. Uang dari Mas Sabda udah Salma kembalikan. Jangan marah lagi!"

Endra hanya berdehem pelan.

"Kebutuhan Aundy Mas yang tanggung, kan?"

"Ya."

Meski jawabannya singkat, Salma lega Endra masih berniat menjawab pertanyaannya. "Mas, besok ke rumah ibu ya—sudah dua hari mas pulang. Tapi belum sempat lihat ibu."

"Hm ...."

Hening, sebenarnya malas juga Salma melayani Endra yang terlihat enggan padanya. Tapi, diam juga bukan solusi karena dia suami nya.

"Mas, Aundy tidur di rumah neneknya." Salma memberitahu, mengingat biasanya mereka selalu diganggu oleh keberadaan Aundy di kamar itu.

"Terus, emangnya mau apa kalau Aundy di rumah ibu?" balas Endra malas.

"Ya, mumpung nggak ada dia, emang mas enggak mau minta jatah! Udah aku lingkarin jadwal masa suburku." Salma menunjuk ke arah kalender yang ada di tembok.

"Tidak dulu, aku capek!" tolak Endra, sembari memejamkan mata.

Mendengar penolakan itu, Salma berusaha menjauhkan tangannya dari pinggang Endra. "Sebenarnya apa yang salah ya, Mas? Perasaan setiap mas Endra cuti, aku juga dalam fase subur. Apa kita perlu datang ke dokter?"

"Mungkin kamu yang sudah enggak subur, kamu kan udah pernah melahirkan!" balas Endra tegas, kemudian memutar posisinya menghadap Salma. "Setiap aku pulang dari Jawa, yang selalu mereka tanyakan adalah kehamilanmu. Aku bingung harus menjawab apa lagi kalau sampai cuti ini tidak ada hasil."

Salma memikirkan ucapan Endra, dia juga tidak ingin seperti ini. "Salma merasa tidak ada masalah dengan kesuburan Salma. Buktinya Salma pernah melahirkan. Bukankah yang perlu dicurigai itu Mas Endra! Setiap Mas Endra kerja, kan pakai celana jeans ketat!" balas Salma, tak terima jika Endra mengatainya tidak subur.

Endra tak berbicara lagi, ingin berusaha terlelap tapi sebelum memejamkan mata, dia kembali berkata. "Awasi Aundy, jangan sampai dia menerima uang atau bertemu dengan Sabda!" pesan Endra.

"Mas, kalau Salma bisa saja menjauh dari mas Sabda. Tapi, Aundy, bagaimanapun Sabda adalah ayah kandungnya. Pasti akan terasa aneh jika aku tiba-tiba melarangnya supaya tidak berhubungan."

Wajah Endra tampak kesal. "Sekarang kamu pilih aku atau Aundy!" ujarnya dengan mata melotot tajam ke arah Salma.

Satu hal yang sangat sulit bagi Salma saat ini, memilih antara suami dan putrinya. Siapapun pasti tidak mau dihadapkan pilihan sesulit ini. Apalagi dia mulai berharap kalau mas Endra adalah cinta terakhirnya. Dia tidak ingin gagal lagi, dia harus menjauhkan ikatan pernikahannya dari kata perceraian.

"Enggak bisa milih, kan?" Sembur Endra. Sengaja menggunakan Aundy sebagai senjata untuk mengancam Salma.

"Aku menyayangi kalian. Jadi, please mengertilah ...." Satu kalimat yang terdengar mengiba, tapi Endra tetaplah Endra dengan segala bentuk temperamennya.

Tak ada suara lagi setelah itu, Endra terlelap meninggalkan kebingungan yang sedang melanda Salma.

Terpopuler

Comments

Khairul Azam

Khairul Azam

ini lah yg aku takutkan menikah setelah bercerai apa laki bawa anak, kebanyakan laki laki itu mau enaknya aja

2024-07-22

0

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

jgn sampai laahhh, Thor..
diselingkuhin si Salma....
nyesek bgt.....

2023-10-07

1

Fa

Fa

fix Endra punya selingkugan kalau kek gini critanya

2023-09-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!