Rasanya dia sangat malu, saat mendapati bahwa seseorang yang ia tangisi ternyata hanya dipindahkan keruangan lain. Viona lantas meminta maaf pada semua orang karena sudah mengganggu kenyamanan mereka, terutama pada orang yang tengah sakit. Begitu juga dengan perawat Kartika.
"Maaf ya, Sus," ucapnya saat tengah berjalan dengan Kartika.
"Iya tidak apa-apa, namanya juga khawatir," ucap Kartika sembari mengusap punggung Viona. Dia tengah mengantar wanita yang baru saja menangis itu ke ruangan sang ibu. Ya, ternyata ibunya hanya pindah ruangan saja, dan tidak terjadi apa-apa.
Seketika saat sadar, Viona memberhentikan langkahnya. "Tapi ... siapa yang memindahkan ibu saya, Sus?" tanyanya.
"Loh, kok malah tanya saya. Katanya keluarga kamu," jawab perawat Kartika.
Viona kembali melanjutkan langkahnya, namun dengan otak yang tengah berpikir. Kira-kira siapa keluarganya yang kaya raya, sampai bisa memindahkan ibunya dari rungan paling rendah sampai ke ruangan yang bisa di bilang paling atas.
Sampai akhirnya dia dan Kartika sampai di depan ruangan bertuliskan VVIP 1A. Viona lantas berterimakasih pada perawat cantik yang kini pamit untuk kembali ke tempatnya jaga. Lantas, dengan pelan gadis itu membuka pintu rungan tersebut.
Hawa dingin dari dalam ruangan langsung bisa Viona rasakan, dengan langkah pelan ia memajukan kaki kanannya. Hal pertama yang dapat ia lihat adalah satu set sofa berwarna krem yang terlihat kosong, lantas setelah dia melangkahkan kakinya dan seluruh badannya kini masuk serta sudah menutup pintu, ia dapat melihat wanita paruh baya yang terlihat terbaring dengan mata yang terpejam.
"Ibu." Gumam Viona seraya mendekat ke sisi ranjang pasien, yang tentu saja beda dari ranjang kosong yang tadi ia tangisi.
Kelopak mata ibu sedikit demi sedikit terbuka, lantas tersenyumlah wanita setengah baya itu. "Vio, akhirnya kamu ke sini," ucap Ibu.
"Ibu, baik-baik saja 'kan?" tanya Viona khawatir.
Ibu terlihat mengangguk, "ibu baik, Nak. Kenapa kamu baru ke sini, ibu teleponin dari tadi."
Viona tersenyum kikuk, tidak mungkin bukan, dia menceritakan bahwa ia baru saja menangisi ibunya tanpa tahu yang sebenarnya. Lantas, melihat ke sekeliling ruangan itu. Lalu, kembali melihat ke arah sang ibu. "Ibu di pindahkan ke sini sama siapa?" tanyanya penasaran.
Belum ibunya menjawab, suara pintu kamar mandi terdengar terbuka. Dan baik Ibu maupun Viona lantas menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya gadis itu saat melihat siapa yang keluar dari dalam kamar mandi.
"Bu Erina," ucap Viona hampir tak terdengar, ia sangat terkejut dengan apa yang tengah ia lihat.
"Iya, yang pindahkan ibu ke sini, sahabat kamu. Kenapa kamu tidak pernah bilang, kalau kamu punya sahabat sebaik dia." Viona lantas kembali menoleh ke arah sang ibu.
"Sa-sahabat?" tanya Viona bingung.
"Hai, Vi. Akhirnya kamu sampai juga." Viona kembali membeku saat tiba-tiba saja lengan bosnya itu merangkul di pundaknya.
"Ha-hai, Bu," ucap Viona kaku. Sungguh dia tidak mengerti, jika Erina akan sampai se-serius ini. Bahkan saat Viona belum mengatakan iya, tapi sang bos sudah beraksi menunjukan kekuasaannya.
"Lihat Bu, walaupun kita sahabat, dia selalu memanggil diriku dengan sebutan ibu. Anakmu benar-benar baik, dia selalu menganggap ku bosnya, padahal kita adalah teman yang sangat dekat."
Entah sandiwara apa, sampai membuat Viona kebingungan setengah mati. Baru saja ia bingung memikirkan jawaban, sekarang dia justru kembali dibuat bingung dengan sebuah sandiwara.
"Karena Nak Erina memang bosnya anak saya, jadi sudah sepantasnya dia tetap memanggil dengan sebutan ibu," begitu ujar Ibu Viona.
"Iya," Viona membenarkan apa yang dikatakan sang ibu.
"Mmm, Vi. Bisa kita bicara sebentar," ucap Erina pada Viona. "Boleh ya Bu, Erina pinjam sebentar Viona nya," sambung Erina pada ibu yang saat ini tengah memperhatikan keduanya.
Ibu Viona mengangguk dan mempersilahkan untuk keduanya bicara. Lantas, Viona mengikuti langkah Erina yang berjalan menuju keluar ruangan. Dan saat ini, baik Erina maupun Viona sudah duduk di bangku yang ada di depan ruangan.
"Maaf, Bu. Maksud ibu memindahkan ibu saya ke ruangan ini, apa ya?" tanya Viona memecah rasa penasarannya.
"Saya nggak main-main, Viona. Saya punya segalanya, saya bisa membayar dokter termahal sekalipun untuk mengobati ibumu. Asalkan kamu mau, dengan syarat yang saya berikan sore tadi."
"Tapi ... syaratnya apa tidak ada yang lain, Bu, sa-saya--" ucapan Viona dipangkas langsung oleh Erina.
"Viona, dengar. Saya memang punya segalanya, punya uang. Tapi, saya tidak punya anak, dan satu-satunya cara, adalah menikahkan suamiku dengan wanita lain. Yang mana harus bersifat rahasia, karena nanti, saat maduku hamil, disitu saya akan pura-pura hamil."
Penjelasan Erina terdengar menyayat hati. Viona bisa melihat bagaimana rasa sedihnya menjadi wanita dewasa itu. Kendati segala yang bosnya inginkan itu bisa dia wujudkan namun, entahlah kenapa sampai menginginkan anak saja harus seribet ini.
"Maaf Bu, ke-kenapa tidak adopsi anak saja, dari pada seperti ini, saya yakin ... ini tidak akan mudah. Apalagi ...," ucapan Viona menggantung.
'Apalagi jika harus berbagi suami, walaupun hanya untuk sementara. Tapi, aku yakin, semuanya akan sangat sulit,' sambung Viona dalam hatinya.
"Kamu tidak akan tahu secara detilnya, kalau kamu tidak menyetujui apa yang saya inginkan Viona. Saya bisa saja membayar wanita lain yang jelas-jelas mau, tapi entah kenapa, saya lebih percaya sama kamu. Tolong Viona, jika kamu mau, kamu tidak hanya menyembuhkan ibumu, tapi menyembuhkan luka hati seorang istri yang merindukan seorang putra dari benih suaminya."
Mata Erina saat ini terlihat sendu. Kesedihan benar-benar ketara di sana. Kendati make-up tebal memoles seluruh wajahnya. Namun, merah di mata dan hidungnya lantaran menahan tangis tak bisa disembunyikan.
"Saya sudah bicara dengan dokter, sakit ibu kamu sudah parah. Dan jika tidak segera mendapat penanganan, maka kamu akan kehilangan pelita dalam hidup kamu itu," ucap Erina. Terlihat sekali, kalau wanita itu sangat memaksa Viona. Entah apa yang terjadi, sampai Erina begitu menginginkan Viona untuk menjadi ibu bagi anak dari suaminya.
"Lalu, nanti jika saya sudah berhasil memberikan anak. Apa saya boleh pergi jauh, dan tidak lagi berurusan dengan Ibu maupun Bapak?" tanya Viona ragu.
Semuanya terdengar mudah, menikah siri, kontrak, hamil dan setelahnya pergi jauh. Tapi ... apa nanti dia bisa meninggalkan begitu saja darah dagingnya, sementara dia sudah mengandungnya selama sembilan bulan.
"Sangat di perbolehkan, Viona. Pergi sejauh mungkin saat kamu sudah melahirkan anak kamu. Jangan pernah kembali apalagi mengingat bahwa kamu memiliki anak dengan suamiku."
Kalimat yang keluar dari mulut Erina membuat Viona menitikkan air mata. Entahlah, ia merasakan bagaimana rasanya menjadi Erina.
"Ta-tapi Bu, saya masih ragu," ucap Viona.
"Ikut saya." Erina berdiri. Lantas Viona mendongak, melihat ke arah sang bos. "Ke mana, Bu?" tanyanya penasaran.
"Tenang, ibu kamu akan baik-baik saja. Akan saya panggilkan tiga perawat sekaligus untuk menemani dan menjaga ibu kamu."
Dengan langkah yang terburu-buru, Viona mengikuti jejak langkah Erina. Dengan tangan yang digandeng setengah di seret.
...----------------...
Tujuan Erina kali ini ternyata adalah rumah mewah miliknya. Viona lantas turun dari mobil sang bos. Dia menengadah memperhatikan tinggi bangunan mewah berlantai dua itu. Walaupun hanya dua lantai saja. Tapi, bagian atas maupun bagian bawah, semuanya besar.
"Ayo masuk," ajak Erina pada Viona.
"Akan saya tunjukan kenapa saya meminta kamu untuk mambantu saya," ucap Erina lagi.
Dengan menelan ludah kasar, Viona lantas mengikuti langkah Erina. Berjalan dari samping mobil menuju teras saja bagi Viona sangatlah jauh, tidak cukup sepuluh, dua puluh langkah. Sungguh, rumah yang sangat mewah. Jangan lupakan dua pilar besar yang ada di bagian depan.
Dengan sekali dorongan, pintu besar bercat putih itu lantas terbuka. Erina masuk dan Viona membuntuti. Keduanya lantas berjalan melewati ruang tamu yang sangat mewah, ada dua guci besar di pojokan, satu set sofa yang benar-benar mewah, kayu ukiran yang terlihat meliuk-liuk itu sangat mengkilap, ditambah lampu kristal yang menggantung di atasnya, membuat suasana ruang tamu semakin mewah. Apalagi, di sudut ruangan itu terdapat lemari kecil dengan kaca transparan yang didalamnya berisi piring dan guci kristal. Sangat indah.
Setelah puas memperhatikan ruang tamu, ternyata Viona sudah tertinggal jauh oleh Erina. Dia lantas berjalan terburu-buru untuk masuk, dan yang saat ini ia sampai di ruangan yang lebar dari ujung kana sampai ujung kiri. Sebelah kanan ada sofa panjang yang menghadap sebuah televisi, dan disebelah kiri ia bisa melihat satu set meja makan yang sangat panjang. Di belakangnya ada dapur modern dengan mini bar yang sangat memukau di lihat oleh Viona.
"Kamu siapa?"
Viona terlonjak kaget, dia lantas menoleh ke arah belakangnya. "Sa-saya Viona, pak," jawabnya pada pria dewasa yang saat ini berdiri dengan mengerutkan kening dan tangan yang menenteng jas.
"Ngapain di sini?" tanya pria dewasa yang Viona tahu kalau dialah suami dari Erina. Yang jika dia setuju, maka dia akan menikah dengan lelaki itu. "Pembantu baru?" sambung lelaki itu bertanya.
"Bu--" jawaban Viona terhenti saat tiba-tiba saja suara Erina terdengar dari arah tangga.
"Dia Viona, Mas."
Viona dan pria itu lantas menoleh ke sumber suara. Terlihatlah Erina yang saat ini sudah mengenakan pakaian santai. Tak seperti tadi, memakai celana panjang, kemeja, serta jilbab yang segitiga yang membuatnya sangat cantik.
Erina lantas turun dan mendekat. "Viona, ini Ethan, suami saya."
Ethan, lelaki yang tengah dikenalkan oleh sang istri itu terlihat mengeraskan rahang lantaran kesal. "Kamu masih berpikiran aneh, Erina?" tanya pria itu pada istrinya.
"Iya, dan dia ini yang aku pilih untuk ide luar biasa ku." jawaban Erina membuat Viona berdiri dengan bingung, lantaran sepertinya keinginan Erina adalah keinginannya sendiri, tidak dari keduanya.
"Kita bisa adopsi, Erina!"
Teriakan Ethan membuat Viona memejamkan mata, sungguh dia sangat terkejut dengan teriakan itu.
"Iya!" balas Erina tak mau kalah. Sepasang suami-istri yang saling berhadapan di depan Viona saling pandang dengan raut emosi.
"Kamu memang senang 'kan, kalau aku lagi di hina, di caci maki oleh keluarga kamu. Di panggil mandul, di panggil pria, karena aku tak kunjung hamil!" Erina kembali berteriak.
Viona tertegun ditempatnya. Ya, kini dia tahu kenapa Erina begitu ingin suaminya menikah dengan orang lain. Dan saat hamil, dirinya juga akan pura-pura hamil. Sungguh, Viona bisa mengerti bagaimana rasanya jadi Erina yang selalu mendapat perlakuan atau ucapan tidak baik.
"Bukan itu maksudku, Erina," suara Ethan melemah. Lelaki itu terlihat tak tega pada wanitanya saat Erina berteriak lantaran emosi dan sakit hati yang begitu terlihat dari ekspresinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Sandisalbiah
satu bukti kalau hidup itu penuh warna dan misteri... siapa pun gak bisa menebak kedepannya hidup kita akan seperti apa krn itu rahasia Tuhan dan tugas manusia hanya berusaha menjadi yg terbaik, kita ya selalu mengelu krn keterbatasan ekonomi yg membuat kita merasa tercekik krn keterbatasan kemampuan pinansial... tp lihat kondisi Erni yg hidup dlm kemewahan, serba berkecukupan tp nyatanya juga ada ketidak sempurnaan dlm hidupnya.. intinya.. banyak²lah bersyukur selama masih ada nafas kita, itu aja Sih...
2023-10-12
0
Hanipah Fitri
banyak ko kisah cerita seperti ini
2023-08-25
0
linda sagita
baik ada maunya
2023-06-13
1