Waktu makan siang telah tiba, tapi Ravendra masih sibuk menghadapi berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerja, saking banyaknya hingga hampir menutupi wajahnya.
Namun Roy sebagai asistennya malah sudah bersiap untuk pergi makan siang, hal itu membuat Ravendra kesal kemudian ia menggeser kursinya ke samping hingga bisa melihat Roy yang hendak membuka pintu untuk keluar.
"Apa kamu akan pergi makan siang begitu saja tanpa menanyakan bosmu?". Ravendra menatap Roy yang tengah memegang gagang pintu.
"baiklah, bos apa anda ingin saya belikan sesuatu untuk makan siang?", tanya Roy.
"tolong belikan saya espresso seperti biasa!", seru Ravendra.
Roy segera menuju kafe langganannya yang juga di sukai oleh Ravendra, tetapi Ravendra tidak pernah datang langsung ke kafe itu.
Perjalanan dari kantornya menuju kafe tidak memakan banyak waktu, di tambah dengan jalanan yang tampak lengang memudahkannya untuk cepat sampai.
Setibanya di kafe ia bertemu langsung dengan Alindya si pemilik kafe yang kebetulan tengah berada di sana, karena Roy sudah sering datang membuatnya akrab dengan Alindya.
"Lin, biasa ya. buatkan saya dua!", pinta Roy.
"siap, kak Roy. pasti buat bosnya ya?", tanya Alindya.
Roy menganggukkan kepalanya. "Sepertinya dia sudah kecanduan espresso buatanmu, dia tidak mau jika bukan kamu yang buatkan!".
Alindya hanya tersenyum mendengar ucapan Roy, memang di balik penampilannya yang urakan ternyata Alindya memiliki kemampuan meracik kopi dengan takaran yang pas hingga rasanya enak.
Tak terasa pesanan Roy telah siap, ia segera kembali menuju kantornya.
Di tengah perjalanan, Roy melihat seorang gadis berpenampilan seksi dengan mini dres di atas lutut dan memperlihatkan lekuk tubuhnya. Ia tampak asyik bercengkrama dengan seorang pria yang juga tak asing di matanya, Roy memperlambat laju mobilnya untuk sekedar memastikan apa yang dilihatnya memang benar.
"Amara? loh kok dia sama si Kaivan?". Roy memicingkan kedua matanya untuk lebih jelas melihat sepasang muda-mudi yang tengah berjalan di trotoar.
Setelah memastikan apa yang di lihatnya, Roy melajukan mobilnya kembali. Dalam benaknya ia tidak ingin melaporkan kepada Ravendra karena pasti ia tidak akan percaya. Roy hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk memberitahukan Ravendra atas apa yang di lakukan Amara ketika di belakangnya.
Roy kembali melajukan mobil hingga akhirnya ia sampai di parkiran kantor, dengan santai ia berjalan menuju ruangan Ravendra.
Seolah tidak terjadi apa-apa, Roy memasuki ruangan Ravendra yang ternyata si pemilik ruangan tengah duduk di sofa menanti kedatangan espresso miliknya.
"kenapa lama sekali?", tanya Ravendra.
"oh itu, tadi kafe ramai sekali. jadi aku harus menunggu lama!", jawab Roy sedikit berbohong.
Roy duduk di depan Ravendra dan meletakkan satu cup berukuran medium di atas meja tepat di hadapan nya.
Ravendra menatap sebuah cup berwarna putih yang seakan memanggil untuk segera meminumnya. Akan tetapi, walau sudah tergoda dengan aroma yang sedikit tercium oleh inderanya, seperti biasa Ravendra melakukan ritual kebersihannya.
Dirogohnya sebuah botol berukuran sedang dari saku jasnya, kemudian ia semprotkan ke kedua telapak tangannya dan menggosok hingga ke punggung tangannya, hand sanitizer memang selalu ada di dalam saku jasnya.
Setelah ritualnya selesai, ia kembali mengambil selembar tisu untuk memegang cup yang berada di atas meja tepat di hadapannya, perlahan ia membuka cup dan menghirup aroma dari dalam cup tersebut sambil memejamkan mata berharap semua bebannya menghilang, kemudian tanpa menunggu aba-aba ia meminum kopinya sedikit demi sedikit.
"Rasa yang selalu sama, kamu selalu bisa menenangkan pikiran saya". Ravendra tersenyum menatap cup itu seakan bisa berbicara dengannya.
"Lo lagi ada masalah apa emang?". Roy membuka cup kopi miliknya.
"Papa akan menjodohkan saya dengan anak sahabatnya jika saya menolak, harta warisan tidak akan di berikan kepada saya. sedangkan saya sudah memiliki Amara". Ravendra menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit ruangan nya.
Roy yang tengah meminum kopinya terkejut sampai ia tersedak kopi yang tengah berjalan di tenggorokan nya.
"Uhuk..!! lo yang bener ajah mau serius sama Amara? saran gue sih, mending lo turutin aja apa kata papa lo. ya siapa tau aja tuh cewek lebih bener dari si Amara!". Roy memberi saran sambil tertawa. "yang benar saja kamu kalau ngasih saran!", seru Ravendra.
***
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, tampak Alindya sedang menatap bayangan dirinya di cermin yang berada di dalam ruangan pribadi di kafe.
Ia tengah bersiap untuk pergi makan malam bersama kekasihnya, penampilannya tidak begitu berubah. Ia masih mengenakan jeans ketat dengan kaos yang ia tutupi menggunakan jaket, hal itu membuat Lisa bertanya-tanya.
"Lin, lo mau diner apa mau nonton layar tancep?". Lisa memutar badan Alindya melihat penampilan nya.
"Lah terus gue harus pake apa?". Alindya mengangkat kedua bahu nya.
"Nih, gue pinjemin dres gue baru beli tadi!". Lisa menyodorkan sebuah paper bag.
Alindya dengan rasa ragu menerimanya dan bergegas ke toilet untuk berganti pakaian, sedangkan Lisa duduk di sofa menunggu Alindya.
Tak lama kemudian, Alindya keluar dengan mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah jambu di tambah dengan sepatu berhak tinggi, ia tampak canggung dan berniat untuk kembali berganti pakaian.
"Wait! no no, lo harus pakai ini. jangan di ganti lagi!". Lisa menarik lengan Alindya yang hendak kembali ke kamar mandi.
Lisa mendorong Alindya untuk segera menuju restoran yang telah di pilih oleh kekasih Alindya. Tanpa penolakan, Alindya segera melajukan mobilnya.
Sesampainya di restoran, Alindya berjalan dengan susah payah menyeimbangkan tubuhnya yang baru memakai sepatu berhak tinggi. Dengan usaha kerasnya, akhirnya Alindya berhasil menuju meja tempat dimana sang kekasih telah menunggunya.
"Alindya!". Kaivan terpesona melihat penampilan berbeda sang kekasih yang tampak cantik alami.
"Hai, aku terlihat aneh ya?". Alindya melambaikan tangan nya dan duduk di depan Kaivan.
Kaivan menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, justru hari ini kamu tampak sangat cantik, sayang!" Kaivan mencium tangan lembut Alindya.
Mereka pun memulai acara makan malam romantis yang jarang sekali di lakukan karena alasan Kaivan yang selalu sibuk dengan pekerjaan.
Setelah menghabiskan makan malam, Alindya memperlihatkan wajah sedihnya saat mengingat ucapan ayahnya pagi tadi yang membuat Kaivan menanyakan masalah apa yang tengah terjadi.
"Ayah akan menjodohkan aku dengan anak sahabatnya yang juga adalah seorang CEO di perusahaan milik ayahnya". Alindya tertunduk lesu.
"Apa? jangan-jangan ayahmu akan menjodohkan mu dengan Ravendra? karena hanya ada aku dan dia CEO muda di dunia perbisnisan ini!". Kaivan mengepalkan tangannya.
Kaivan dan Ravendra memanglah rival yang saling bersaing di dunia bisnis, apalagi Kaivan akan rela melakukan apa saja demi menghancurkan Ravendra.
Saat tengah membahas masalah serius, tiba-tiba ponsel Kaivan berbunyi dan ia dengan cepat menjawabnya menjauh dari Alindya.
Setelah selesai berbicara, ia berpamitan kepada Alindya karena ada urusan penting mengenai bisnisnya. Alindya pun diminta untuk segera pulang karena Kaivan juga akan pergi.
Alindya tampak bersedih karena baru juga bertemu sebentar dengan kekasihnya, ia malah di tinggal begitu saja.
Dengan rasa kecewa, Alindya memutuskan untuk meninggalkan restoran tersebut dengan membawa satu cup jumbo milk tea kesukaannya, karena itu yang bisa membuat pikirannya sedikit lebih tenang.
Alindya berjalan susah payah dengan hak sepatu yang merepotkannya.
Di waktu yang sama, Ravendra yang tengah terburu-buru hendak memasuki restoran sambil menatap ke arah jam tangannya. "Aduh, telat banget nih. pasti dia bakalan marah!".
Ravendra tidak sengaja menyenggol pundak Alindya yang tengah menyeimbangkan tubuhnya, hingga akhirnya mereka pun bertabrakan membuat sebagian isi cup yang di bawa Alindya tumpah di baju Ravendra.
Ravendra dengan refleks menahan Alindya yang akan terjatuh, tetapi ia segera melepaskan tangan nya hingga membuat Alindya terjatuh.
Alindya merintih kesakitan, sementara Ravendra segera merogoh sakunya dan mengambil hand sanitizer untuk membersihkan tangannya yang telah memegang Alindya kemudian kembali merogoh sakunya untuk mengambil sapu tangan tanpa melihat Alindya yang duduk di jalan karena kesakitan.
Melihat tingkah laku Ravendra yang tidak merasa bersalah telah menjatuhkannya, Alindya pun menatap wajah Ravendra yang ternyata dia adalah rival dari kekasihnya yang selalu di ceritakan sebagai orang yang sombong karena selalu memandang jika orang lain itu kotor.
Teringat akan cerita kekasihnya, membuat Alindya merasa kesal. Ia berusaha bangun dan tanpa memikirkan akibatnya, ia melempar cup yang isinya masih tersisa sedikit pada jas Ravendra sambil berkata. "Anda menganggap orang lain kotor, sekarang anda lah yang lebih kotor!" Alindya berbicara dengan penuh penekanan kemudian pergi meninggalkan Ravendra dengan menenteng hight heels nya.
"Hey tunggu! ah... dasar gadis gila". Ravendra hendak menarik tangan Alindya tetapi ia begitu ragu karena tangannya sudah ia bersihkan.
Ravendra terus melemparkan umpatan, tetapi Alindya sama sekali tidak memperdulikannya dan terus berjalan menuju mobilnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments