Chapter 04

Sepintas Rachel melihat lirikan mata pengacara itu. “Kakek Robert menulis bagian ini dengan kata-katanya sendiri.” Zephaniah berhenti Sejenak, entah untuk menimbulkan efek tertentu ataukah untuk mengumpulkan keberanian.

“Kepada Rachel Cecilion dan Jenson Dirgantara,” Zephaniah mulai membaca. “Kepada dua orang anggota keluargaku yang telah memberiku banyak kesenangan dan keceriaan, dengan harapan-harapan mereka pada kehidupan, juga menikmati bergaul dengan seorang pria tua dan lelucon-lelucon tua, kuwariskan sisa hartaku, yaitu, semua rekening bank, bisnis, saham, surat obligasi, semua properti berwujud dan properti pribadi, dengan segala cinta kasih dan sayang. Berbahagia-lah dan bagi dengan sama rata.”

Seketika Rachel bangkit, terpana, dan marah. “Aku tak bisa menerima uangnya.” Menjulang di antara keluarga yang duduk di sekelilingnya, gadis itu melangkah lurus-lurus ke arah Zephaniah.

Sang pengacara, yang sudah mengantisipasi serangan dari berbagai kubu, menguatkan diri untuk hal yang tak terduga ini. “Aku tidak akan tahu apa yang bakal kulakukan dengan semua itu. Itu cuma akan mengacaukan hidupku. Aku tidak mau uang itu,” Ia mengacungkan tangannya ke arah tumpukan kertas di atas meja seakan-akan benda itu adalah semacam gangguan kecil. “Seharusnya kakek Robert menanyakannya dulu padaku.”

“Miss Rachel…”

Sebelum si pengacara sempat berucap lagi, Rachel melabrak Jenson. “Kau boleh mengambil semuanya. Apalagi kau tahu apa yang mesti kaulakukan dengan warisan itu. Membeli hotel di New York, di L.A., klub bola kesukaanmu, dan helikopter untuk menerbangkanmu kemana pun kau mau, aku tidak peduli.”

Dengan amat tenang, Jenson memasuk kan kedua tangannya ke dalam saku. “Kuhargai tawaranmu, Sepupu. Sebelum kau marah-marah seperti ini, kenapa kita tidak menunggu sampai Mrs. Zephaniah selesai bicara supaya kau tidak mempermalukan dirimu sendiri lebih jauh lagi?”

Sesaat Rachel menatap Jenson. Tingginya hampir setara dengan pria itu karena ia mengenakan sepatu hak tinggi. karena sejak dini Rachel sudah terlatih untuk menghadapinya, ia menarik napas dalam-dalam dan menunggu sampai kemarahannya mereda. “Aku tak menginginkan uangnya.”

“Kau sudah menjelaskan pendapatmu.” Sebelah alis Jenson terangkat, dengan sinis dan setengah girang, yang selalu bisa membuat Rachel marah. “Kau membuat kerabat-kerabat kita terkesima oleh pertunjukan kecil yang kau tampilkan.”

Tak ada yang bisa membuat Rachel menemukan kendali dirinya lebih cepat dari saat itu. Ia mengangkat dagu ke arah sepupunya, mendesis, kemudian menyerah. “Baiklah, kalau begitu.” Ia berbalik. “Maafkan aku soal interupsi tadi. Silakan terus membaca, Mrs. Zephaniah.”

Si pengacara minta waktu sejenak untuk mencopot kacamata dan membersihkannya dengan selembar saputangan putih besar. Ia sudah tahu sejak Kakek Robert membuat surat wasiat itu, akan segera tiba hari di mana ia terpaksa harus menghadapi satu keluarga yang pasti akan marah besar. Ia sudah berdebat dengan kliennya soal masalah itu, membujuk, mengajukan alasan, menunjukkan ketidak laziman yang ada. Kemudian Zephaniah kembali mengambil surat wasiat itu dan menutup semua jalan keluar.

“Kuwariskan semua ini,” lanjutnya, “Uang, yang nilainya tidak seberapa, saham dan surat obligasi, yang penting tapi membosankan, bisnis berbunga, yang merupakan beban menarik untuk menjerat leher. Dan rumahku beserta semua yang ada di dalamnya, yang merupakan segalanya untukku, kenangan-kenangan yang terjadi di sana, untuk Rachel dan Jenson karena mereka memahami dan peduli kepada ku. Kutinggalkan ini pada mereka, meskipun ini akan menjengkelkan mereka, karena tak ada orang lain dalam keluargaku yang bisa kutinggali hal yang penting buatku. Apa yang dulu milikku kini menjadi milik Rachel dan Jenson, karena aku tahu mereka bisa membuatku tetap hidup dan aku yakin mereka bisa menjaga semua barang-barang milik aku. Aku sangat menyayangi Rachel dan Jenson, seperti mereka menyayangi ku. Aku hanya meminta satu hal saja sebagai balasannya.”

Genggaman Jenson jadi sedikit lebih longgar, dan ia nyaris tersenyum lagi. “Ini dia bagian pentingnya,” gumamnya.

“Dalam waktu tak lebih dari satu minggu setelah pembacaan dokumen ini, Rachel dan Jenson akan pindah ke rumahku yang kusebut sebagai Robert's. Mereka akan menikah dan tinggal bersama di sana selama enam bulan, dan tidak ada seorang pun yang boleh menghabiskan dua malam berturut-turut di luar rumah. Setelah periode enam bulan tersebut, tanah beserta rumah akan dikembalikan kepada mereka dan sah menjadi milik mereka, seluruhnya tanpa halangan, berbahagia-lah dan bagi-lah dengan rata.

“Jika salah satu dari mereka tidak menyetujui ketetapan tersebut, atau melanggar syarat dalam ketetapan tersebut selama periode enam bulan, tanah beserta rumah, secara keseluruhan akan diserahkan kepada semua ahli warisku dengan pembagian rata. Kuberikan restuku pada kalian, Anak-anak. Jangan biarkan seorang pria tua yang telah mati menjadi kecewa.”

Selama tiga puluh detik penuh, keheningan melanda mereka. Mengambil keuntungan dari itu, Zephaniah segera mulai merapikan kertas-kertasnya.

“Dasar tua bangka,” rutuk Jenson. Rachel pasti sudah membela diri seandainya saja ia tak menyetujui gerutuan itu dengan sepenuh hati. Karena menilai suhu di ruangan itu sudah terlalu panas, Jenson menarik Rachel keluar, melintasi koridor dan menuju salah satu kamar tamu kecil lucu yang bisa ditemukan di seisi rumah itu. Tepat sebelum ia menutup pintunya, ledakan pertama di perpustakaan itu meletus.

Rachel mengeluarkan selembar tisu basah, bersin di atasnya, lalu menarik sebuah kursi. Ia terlalu capek, bingung dan pusing dengan semua ini. “Well, bagaimana sekarang?.”

Jenson meraih sebatang rokok sebelum teringat bahwa ia sudah menghentikan kebiasaannya itu. “Sekarang kita harus membuat beberapa keputusan.”

Rachel memberinya salah satu tatapan tajam yang diketahuinya bisa membuat kebanyakan pria tergagap-gagap. Jenson Cuma duduk berseberangan dengannya dan balas menatap. “Aku bersungguh-sungguh dengan yang kukatakan. Aku tak menginginkan uangnya. Pada saat uang itu dibagi dan pajaknya selesai diurus, nilainya nyaris tujuh puluh lima miliar seorang. Tujuh puluh lima miliar,” ulangnya sambil memutar-mutar bola mata. “Konyol sekali.”

“Robert selalu berpikir begitu,” ujar Jenson seraya menyaksikan rasa duka datang dan pergi di mata Rachel.

“Dia hanya memilikinya untuk dimain-mainkan. Masalahnya adalah, setiap kali dia bermain, dia meningkatkan jumlahnya.” Tak mampu duduk, Rachel melangkah ke arah jendela. “Jenson, aku bisa mati lemas dengan uang sebanyak itu.”

“Uang tunai tidaklah seberat yang kaukira.”

Sambil mengekspresikan sesuatu yang mirip dengan suasananya saat ini, Rachel berbalik dan duduk di birai jendela. “Kau tidak menolak tujuh puluh lima miliar atau sekitar itu setelah dikurangi pajak yang kuambil.”

Jenson ingin sekali menghapus ekspresi itu dari wajah Rachel. “Aku tak memiliki sikap tak pedulimu akan uang, Rachel, mungkin karena aku dibesarkan dengan ilusi mempunyai uang, bukan kenyataannya.”

Rachel mengangkat bahu, menyadari orang tua Jenson tetap bertahan, dan selalu akan bertahan sampai saat ini, terutama karena kredit dan hutang dimana-mana. “Jadi, ambil saja semuanya.”

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

Keputusan yang tepat kakek Robert meskipun terkesan tidak adil buat keluarga yang lain... tapi kakek Robert lebih tahu siapa orang yang tepat diberikan warisan itu.

2023-06-13

2

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

Pasti akan menciptakan huru hara setelah ini...

2023-06-13

2

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜

wahhh ternyata sebagian besar warisan kakek Robert diberikan kepada cucu kesayangannya, Jenson dan Rachel.

2023-06-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!