Rachel tersenyum kala mengingat pernah dengan terang-terangan menyatakan pendapatnya pada Jenson, bahwa tidak ada satu wanita pun yang tertarik kepada Jenson apalagi untuk menari dengan dirinya di sebuah acara pesta, Rachel mengatakan itu pada saat terakhir kali pria itu mengunjungi Kakek Robert. Kakek Robert nyaris terjatuh dari kursinya karena tertawa.
Lalu senyum Rachel memudar. Kakek Robert kini telah tiada. Dan jika ia boleh jujur ada satu hal yang sering Kakek lakukan bersama Jenson. ia bakal mengakui bahwa dari semua orang yang ada di ruangan ini pada saat ini, Jenson lah yang paling menyukai dan menyayangi Kakek Robert selain dirinya sendiri.
Jenson tampak tak berminat dengan situasi ini dan ia terlihat agak sedikit arogan. Rachel memperhatikan wajah pria itu, garis-garis tegas di sekitar bibirnya. Ia selalu menganggap mulut Jenson sebagai aset yang paling berharga, walaupun pria itu jarang tersenyum padanya kecuali untuk memamerkan gigi dan menggeram.
Kakek Robert sangat menyukai tampang Jenson, dan telah mengatakannya pada Rachel untuk menjodohkan mereka berdua. Sebuah kata yang diyakini Rachel sudah pasti telah di lupakan oleh Kakek Robert, setelah kakek Robert sudah tiada, Yah, sebetulnya Kakek Robert belum benar-benar meninggalkan ucapannya untuk menjodohkan mereka berdua, tapi Rachel tetap saja mengabaikannya, ia sama sekali tak tertarik pada Jenson.
Dengan tubuh pendek-bulat yang dimilikinya, mungkin Kakek Robert menyukai tubuh ramping dan jangkung Jenson, juga wajah tirusnya yang tampan. Rachel sendiri mungkin akan menyukainya juga, tapi sayangnya mata Jenson sering memancarkan sorot tidak ramah dan dingin.
Saat ini pria itu kelihatan seperti pahlawan di salah satu serial aksi yang ditulisnya sendiri, ia bersandar di dinding dengan gaya malas-malasan, dan tampak sedikit salah kostum dalam balutan setelan Jas dan dasinya. Rambutnya yang gelap ditata santai dan tak terlalu rapi, seakan-akan tak pernah terpikir olehnya untuk menyisirnya. Ia tampak bosan dan siap untuk beraksi. Aksi apa saja sesuai dengan kemauannya, dia memang pria yang paling random.
Sayang sekali, pikir Rachel, mereka tak bisa lebih akrab. Ia akan senang sekali jika bisa mengenang Kakek Robert bersama-sama dengan seseorang, seseorang yang menghargai sifat-sifat aneh pria itu, dan sifat-sifat lelucon yang di lontarkan oleh pria itu, seperti dirinya yang akan selalu mengenang dan menghargai jasa-jasa Kakek Robert.
Tak ada gunanya memikirkan hal itu. Jika mereka terpilih untuk duduk bersama, pasti mereka akan sibuk mencakar dan menjabak satu sama lain seperti kucing yanb dedang bergulat. Kakek Robert, yang menyeringai dan menatap Rachel di dalam lukisan yang ada di dinding pasti tahu akan hal itu.
Sambil setengah mendesah, Rachel mengucek matanya lagi dan mencoba mendengarkan Zephaniah. Ada sesuatu tentang warisan untuk ikan-ikan paus. Atau mungkin untuk kapal penangkap ikan paus. Semua sodara sodaranya sibuk dengan warisan Eyang Ayu, Zephaniah dengan semangat ingin membacakan warisan Kakek Robert.
Satu jam lagi, pikir Jenson, dan ia akan siap mengunyah daging mentah. Jika ia mendengar satu kata mengingat… lagi. Sambil menarik napas panjang, Jenson berusaha memusatkan perhatian. Ia hadir di acara ini karena menyayangi si tua sinting itu. Jika hal terakhir yang bisa dilakukannya untuk Kakek Robert adalah berdiri di sebuah ruangan bersama sekumpulan “burung hering” dan mendengarkan pembacaan wasiat yang bertele-tele, ia akan melakukannya. Kalau sudah selesai, ia akan menuangkan segelas penuh brendi untuk dirinya sendiri dan bersulang secara pribadi untuk pria tua itu. Robert selalu menggemari brendi.
Sewaktu Jenson masih remaja, penuh imajinasi, dan orang tuanya tak mau mengerti, Kakek Robert lah yang bersedia mendengarkan celotehnya, dan mendorongnya untuk berkhayal. Setiap kali ia mengunjungi perpustakaan, kakeknya itu menuntut sebuah cerita. Kakek Robert akan bersandar dengan mata terbelalak dan antusias, sementara Jenson bercerita. Jenson tak pernah melupakan hal itu jika di ingat ingat ia sangat merindukan hal itu, dia rindu dengan Kakek Robert, pria tua yang selalu ada untuknya.
Saat Jenson menerima penghargaan saat mengikuti lomba olimpiade di sekolahnya, Kakek Robert sangat bangga kepada Jenson, dan Jenson pun mempersembahkan piala itu kepada Kakeknya. Pada saat itu kakeknya sangat mendukung dan selalu memberi semangat kepada Jenson, dan Piala itu sampai kini masih ada di kamar tidur Kakek Robert, meskipun pria tua itu sudah tidak ada lagi.
Jenson mendengarkan suara membosankan milik Si pengacara, sambil mengharapkan sebatang rokok. Ia baru berhenti merokok dua hari yang lalu. Dua hari, empat jam dan tiga puluh lima menit. Ia bisa saja menyambut daging mentah itu.
Ia merasa tercekik berada satu ruangan dengan orang-orang ini. Mereka semua menganggap kakek Robert sudah setengah gila dan agak rewel. Tanah senilai seratus lima puluh miliar miliknya, itu soal lain. Saham dan surat obligasi yang dimilikinya sungguh-sungguh berlimpah. Jenson sudah beberapa kali mengamati perabotan perpustakaan itu. Perabot besar gaya Georgian mungkin tak cocok dengan gaya hidup mereka yang lurus-lurus saja, tapi tentu saja perabot itu mudah ditukar dengan sejumlah uang yang banyak. Jenson tahu benar pria tua itu, sangat menyayangi setiap kursi yang berada di sudut ruangan itu dan setiap meja berukuran sangat besar yang ada di rumah itu.
Ia tak yakin orang-orang ini pernah berkunjung ke rumah besar kakek Robert selama sepuluh tahun terakhir. Kecuali Rachel, ia mengakui dengan segan. Wanita itu mungkin memang menyebalkan, tapi Rachel sangat menyayangi Kakek Robert.
Saat ini Rachel kelihatan sangat sedih. Sebelumnya Jenson rasanya tidak pernah melihat Rachel sedih seperti ini, apa mungkin gadis itu sekarang merasa jengkel, marah besar, dan tidak bahagia. Jika ia lebih tahu, ia akan duduk di samping Rachel, menghiburnya, dan menggenggam tangannya. Rachel mungkin akan memelintir tangannya.
Tapi tetap saja, mata birunya yang indah tampak merah dan bengkak. Nyaris semerah rambutnya, renung Jenson, saat mengamati rambut ikal Rachel yang liar tergerai di bahu, tanpa memperhatikan keseriusan maupun sikap gadis itu saat ini. Rachel begitu pucatnya sampai bintik-bintik di sekitar hidungnya pun tampak jelas. Biasanya kulit Rachel yang berwarna sawo matang ini menunjukkan kesehatannya. Tetapi saat ini tidak, yang di lihat oleh Jenson saat ini adalah kemarahan dan kesedihan yang terpancar di wajah Rachel.
Duduk di antara keluarganya yang bersetelan hitam-hitam dan bertampang khidmat, Rachel kelihatan menonjol, bagaikan kakaktua di antara burung gagak. Ia mengenakan pakaian berwarna biru terang. Wanita itu tidak membutuhkan setelan hitam, juga kain crepe serta bunga lili untuk berduka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Hearty💕💕
Gambaran Kakek Robert yang penuh perhatian kepada orang² yang memperhatikan dirinya
2023-06-14
2
Hearty💕💕
Kakek sdh tiada pastinya perjodohan terhenti gitu ya harapan Rachel
2023-06-14
2
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Jenson sepertinya menaruh sedikit rasa pada Rachel, terbukti dia begitu perhatian saat melihat Rachel bersedih.
2023-06-13
3