Sudah satu tahun Nindya mengajar Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri yang ada di kota. Untuk sampai ke sekolah, hampir setiap hari Nindya menggunakan sepeda. Hanya sesekali saja ayahnya akan mengantar dengan motor jika kebetulan Nindya terlambat bangun atau ada rapat pagi-pagi sekali sebelum pembelajaran di mulai.
Setelah satu tahun berusaha bergaul dengan teman-teman sejawatnya, Nindya berhasil menemukan teman yang memang satu visi dan misi. Endah dan Dian adalah guru di sekolah tempat Nindya mengajar. Mereka memiliki pemikiran dan pandangan yang sama dengan Nindya, yang ingin memajukan pendidikan di daerah mereka terutama pendidikan untuk kaum perempuan. Endah adalah guru matematika, sedangkan Dian adalah guru bimbingan konseling. Mereka bertiga berasal dari desa yang berbeda tapi jarak rumah mereka tidak terlalu jauh karena masih satu kecamatan.
Usia mereka pun tidak terpaut jauh hanya berbeda dua sampai tiga tahun saja. Endah dan Dian sudah mengajar satu tahun lebih dulu dibandingkan Nindya. Mereka juga ternyata satu almamater dengan Nindya hanya saja berbeda jurusan dan fakultas. Nindya kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Endah kuliah di Fakultas MIPA jurusan Pendidikan Matematika, sedangkan Dian kuliah di fakultas Ilmu Pendidikan jurusan Bimbingan dan Konseling.
Bertiga mereka memiliki visi dan misi yang sama, yaitu ingin memajukan kaum perempuan yang ada di mereka dan mengubah pandangan kolot yang beranggapan bahwa perempuan tidak perlu untuk sekolah tinggi. Mereka bertiga juga memiliki keresahan yang sama karena tinggal di masyarakat dengan pemikiran yang masih sempit.
Nindya dan Endah belum menikah, sedangkan Dian sudah menikah dengan satu anak. Suaminya sangat mendukung dia dalam mewujudkan cita-citanya untuk merubah nasib kaum perempuan di desa mereka. Suami Dian bekerja di kantor kecamatan sehingga mereka bisa mendapatkan akses lebih mudah.
Sejak satu bulan yang lalu, mereka bertiga mulai merintis balai pelatihan yang mereka sebut Rumah Pintar. Balai pelatihan ini berencana untuk memberikan pelatihan-pelatihan gratis untuk meningkatkan keterampilan perempuan di desa mereka. Untuk proyek pertama, mereka akan fokus di desa Mekarjaya. Mereka akan meminjam aula desa untuk dijadikan tempat mereka memberikan pelatihan-pelatihan tersebut.
Bukan tanpa hambatan kala mereka mulai merintis balai pelatihan. Awalnya, ide mereka ditolak oleh perangkat desa. Setelah berbulan-bulan berusaha mengajukan proposal dan presentasi di hadapan Camat ditambah oleh dukungan yang diberikan oleh para orangtua mereka yang kebetulan tokoh mansyarakat, akhirnya balai pelatihan yang Nindya, Endah dan Dian inisiasi berhasil mendapat izin juga dari Camat.
Sore ini, Nindya baru pulang setelah seharian berada di luar untuk mengurusi balai pelatihan. Rintangan selanjutnya setelah mendapatkan izin satu bulan yang lalu dari Camat adalah meminta izin pada Lurah. Karena pilot project Balai Pelatihan akan dilaksanakan di desanya, maka Nindya harus mendapatkan izin dari pihak kelurahan.
Sebenarnya Nindya sudah mengajukan izin sejak satu bulan yang lalu, tetapi Lurah yang lama sudah pensiun dan belum ada penggantinya. Selama posisi Lurah belum ada yang menempati, pejabat sementara dipegang oleh Sekertaris Lurah. Ia tidak berani untuk memberikan izin kepada Nindya karena menunggu Lurah baru. Hari ini, Nindya masih belum mendapatkan kepastian mengenai izin pelaksanaan pelatihan yang akan dilaksanakan di aula Kelurahan.
Euis yang melihat raut wajah kecewa Nindya langsung menyusul ke kamar sambil membawa secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng.
“Capek, Neng.”
“Iya Ambu. Hari ini seharian Neng di luar tapi tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.”
“Pak Seklur masih belum mau memberikan izin?” tanya Euis hathati.
“Belum, Mbu. Katanya, dia gak berani buat kasih izin karena bukan wewenangnya. Ada-ada saja. Harusnya kan sebagai pejabat sementara, dia punya kewenangan dong memberikan kebijakan atau izin dan tidak usah menunggu Lurah yang tidak kunjung datang.” keluh Nindya pada ibunya.
“Yang sabar saja Neng. Nanti juga kalau Lurah yang baru sudah ada, mungkin akan mudah mendapatkan izin dari beliau,” ujar Euir mencoba untuk menghibur Nindya.
“Aneh juga. Kenapa sih Lurah baru itu belum datang? Ini kan sudah dua bulan sejak Pak Lurah Ace pensiun. Memangnya tidak bisa cepat mendapatkan pengganti? Mau berapa lama lagi kita tidak memiliki Lurah?” Nindya sedikit emosi mengingat Lurah baru yang belum saja muncul.
“Kan kita tidak tahu prosedurnya bagaimana. Kita tunggu saja dengan sabar. Siapa tahu Lurah yang baru ini akan mendukung proyek Neng dan teman-teman Neng. Ambu dengar sih, Lurah yang baru ini masih muda. Biasanya orang muda kan akan mendukung ide-ide segar untuk kemajuan desa dan warganya.” Euis memberitahu Nindya mengenai rumor orang yang akan mengisi posisi Lurah baru di desa mereka.
“Ambu tahu darimana informasi mengenai Lurah baru?” tanya Nindya penasaran.
“Dari ibu-ibu yang suka ngobrol di tukang sayur. Mereka bilang kalau Lurah baru itu masih muda dan ganteng,” jawab Euis antusias.
“Ah, mana bisa dipercaya mulut ibu-ibu yang doyan ngegosip itu. Lagian darimana mereka tahu mengenai Lurah baru?” Nindya kembali pesimis setelah mendengar jika informasi yang didapat ibunya itu berasal dari ibu-ibu yang gemar bergunjing.
“Bener, Neng. Anaknya Bu Haji Enok kan kerja di kelurahan, makanya dia tahu info tentang Lurah baru,” jawab Euis semangat.
“Memang Lurah barunya pernah datang ke sini? Kenapa tidak langsung bekerja saja?” Neng mah jadi tambah gemes kalau begini. Jadi sebal Neng sama Lurah yang baru itu,” gerutu Nindya.
“Jangan begitu atuh Neng. Kasihan kan Lurah yang baru itu tidak punya salah apa-apa tapi Neng sudah benci sama dia. Tidak boleh begitu Neng,” kata Euis menasehati Nindya.
“Habisnya Neng kesal. Bukannya cepat-cepat bekerja malah terus saja mengulur waktu.”
“Lah, semua hal kan ada prosesnya Neng. Apalagi posisi Lurah yang akan menempati posisi tertinggi sebagai pemimpin di kelurahan kita.”
“Ih, Ambu bikin istilahnya keren seperti politikus. Sudah cocok Ambu jadi anggota dewan,” kata Nindya menggoda ibunya.
“Hus, jadi anggota dewan itu tidak boleh sembarangan. Tidak semua orang bisa menjadi anggota dewan. Yang menjadi anggota dewan itu yang terpenting harus jujur dan amanah. Selain cerdas dan gesit tentunya,” jelas Euis.
“Ih Ambu mah meuni serius. Neng kan hanya becanda.” Nindya terkikik mendengar nada serius dari ibunya.
“Ambu kira Neng serius pengen punya ibu seorang anggota dewan,” kata Euis ikut tertawa.
“Enggak lah. Neng sudah sangat bangga punya ibu seperti Ambu. Jangankan anggota dewan, menteri saja kalah kualitasnya jika dibandingkan sama Ambunya Neng,” goda Nindya.
“Neng mah bisa aja kalau menggoda Ambu.” Euis menjawil hidung Nindya gemas.
*********
to be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments