Sudah dua bulan sejak Nindya kembali ke kampung halamannya. Ia sudah bersiap untuk mengajar di sekolah tempat ia ditugaskan. Pakaian untuk mengajar pun sudah siap. Rencananya besok ia akan menemui kepala sekolah dan mengikuti rapat awal tahun pelajaran bersama guru-guru yang lain. Ketika pertama kali Nindya berkunjung ke sekolah, ia hanya bertemu dengan kepala sekolah dan belum berkenalan dengan guru-guru yang lain.
Nindya baru saja menyelesaikan tugas membuat media pembelajaran ketika ibunya masuk ke kamar.
“Neng,” panggil Euis, ibunya.
“Iya, Mbu. Ada apa?” tanya Nindya sedikit heran karena melihat wajah ibunya yang terlihat sedih.
“Boleh Ambu bertanya sama Neng?”
“Tanya apa sih, Mbu? Pakai tanya dulu. Biasanya juga kalau mau bertanya, Ambu langsung aja tanya.”
“Bukan begitu Neng. Ambu mau bertanya hal yang sensitif,” sahut Euis.
“Memangnya Ambu mau bertanya apa?”
“Tapi Neng jangan marah ya.” Euis masih ragu-ragu untuk mengungkapkan pertanyaannya. Euis sangat hapal watak anak bungsunya yang gampang marah.
“Ih, Ambu kok begitu sih? Mau tanya mah tanya saja atuh, Mbu,” kata Nindya tidak sabar.
“Neng sudah punya calon belum?”
“Calon apaan, Mbu?”
“Calon suami,” jawab Euis.
“Belum ada.” Seperti yang sudah Euis duga jika anak bungsunya itu akan marah mendapatkan pertanyaan tentang calon suami atau menikah.
Tapi Euis tidak pantang menyerah untuk terus menggali pemikiran Nindya mengenai pernikahan. “Memangnya pas Neng kuliah tidak ada teman laki-laki yang cocok?”
“Teman laki-laki sih banyak, Mbu. Tapi tidak ada yang satu visi dan misi sama Neng. Lagian kalau Neng menikah sama teman kuliah, Neng pasti gak akan bisa mewujudkan cita-cita Neng buat desa ini karena teman kuliah Neng tidak ada yang orang sini.”
“Tapi kan kalau sudah jodoh mah kita harus terima mau kemana pun suami Neng ajak, harus ikut.”
“Makanya Neng tidak mau cari suami teman kuliah. Neng sudah hapal masing-masing sifat dari mereka. Tidak ada yang satu visi dan misi untuk memajukan daerahnya. Hampir semua memilih berkarir di kota besar. Kalaupun ada yang kembali ke daerahnya, jauh dari sini. Kebanyakan yang kembali ke daerah itu dari luar pulau Jawa,” ungkap Nindya panjang lebar.
“Jadi kalau calonnya dari desa sini Neng mau?” tawar Euis.
“Memangnya ada, Mbu?” tanya Nindya.
“Kalau sekarang sih belum ada. Bulan kemarin anak laki-lakinya Haji Adang baru pulang kuliah dari Kairo. Tadinya Ambu mau menjodohkan Neng sama dia, tapi sayang, dari Kairo dia bawa istri. Gagal deh Ambu besanan sama Haji Adang.” Ada nada kecewa dalam suara Euis.
Nindya tertawa mendengar pernyataan ibunya. “Ambu mah ada-ada saja. Anaknya Pak Haji Adang mah ganteng pisan. Mana mau dia sama Neng. Jadi, dia dapat jodohnya orang Mesir sana, Mbu?” tanya Nindya penasaran.
“Iya. Istrinya cantik mirip artis. Sama-sama lulusan Al-Azhar. Rencananya mereka akan melaksanakan resepsi minggu depan.”
“Mereka sudah menikah?” Nindya semakin penasaran.
“Sudah. Mereka menikah di Kairo. Katanya sih tidak ada pihak keluarga Haji Adang yang datang ke ke sana karena kejauhan.”
“Yang penting kan nikahnya sah. Pihak laki-laki kan tidak usah pakai wali. Jadi bisa menikah walaupun tidak ada pihak keluarga yang mendampingi.”
“Iya, tapi katanya sih keluarga Haji Adang pakai teleconference gitu jadi masih bisa menyaksikan anak laki-lakinya mengucapkan ijab kabul.”
“Zaman sekarang apa sih yang gak mungkin. Calon suami ada di luar negeri, calon istri dan wali yang menikahkannya ada di Indonesia saja bisa. Atau calon suami dan istri ada di luar negeri, walinya di Indonesia juga masih bisa asal akadnya jelas.”
“Balik lagi ke bahasan kita Neng.” Euis teringat tujuan awal membahas pernikahan dengan Nindya.
Sebenarnya Euis tidak memaksa Nindya untuk menikah cepat-cepat. Hanya saja omongan para warga di desanya membuat telinga Euis panas. Hampir tiap hari ia ditanya perihal anak gadisnya yang belum menikah. Ditambah lagi banyak pemuda yang menawarkan diri menjadi menantunya.
Bukannya Euis menyepelekan kualitas para pemuda di desanya, tapi Euis sangat paham dengan kriteria yang diinginkan oleh Nindya untuk menjadi pendampingnya. Nindya tidak bisa bersuamikan orang yang biasa saja. Pemikiran anak bungsunya itu terlalu nyeleneh jika dilihat dari sudut pandang masyarakat desa Mekarjaya. Euis khawatir jika Nindya tidak akan mampu menghormati suami yang tidak satu visi dan misi dengannya.
“Bahasan apa, Mbu?” tanya Nindya.
“Calon suami!” jawab Euis tegas.
“Eeeeh, Neng kira Ambu sudah lupa.” Nindya terkekeh.
“Bukanya apa-apa, Neng. Neng kan tahu sendiri bagaimana warga di sini. Mereka itu senang sekali menanyakan soal Neng yang belum menikah. Hampir tiap hari kalau mereka bertemu dengan Ambu, pasti menanyakan kenapa Neng belum menikah. Ambu kan jadi bingung bagaimana menjawabnya.” Euis mengungkapkan kekhawatiran yang selama ini menderanya.
“Tinggal jawab saja belum bertemu jodohnya. Gampang, kan?” balas Nindya santai.
“Ambu tidak bisa jawab seperti itu atuh Neng.”
“Kalau menurut Neng, itu jawaban yang paling the best. Memangnya siapa yang berani menyalahkan takdir Tuhan. Kualat kalau mereka kalau punya pikiran seperti itu,” jawab Nindya sengit.
“Ah ngobrol sama Neng mah tidak ada solusinya.”
“Jawaban belum bertemu jodohnya itu adalah solusi yang paling tepat, Mbu.”
“Iya, tapi telinga Ambu panas setiap kali mendengar sebutan perawan tua yang mereka sematkan pada Neng.”
“Yah tidak usah digubris lah omongan mereka, Mbu. Menikah muda juga tidak jadi jaminan kan mendapatkan hidup yang bahagia. Ambu lihat sendiri kan bagaimana nasib janda-janda muda di kampung kita.” Nindya membeberkan fakta yang tepat sekali mengenai nasib kaum perempuan di kampung mereka yang menjanda di usia muda.
“Buat apa menikah muda kalau tidak lama kemudian menjadi janda. Ini nih akar masalah yang ada di desa ini. Banyak orangtua yang tidak menyekolahkan anak-anak perempuan mereka dengan alasan yang tidak logis. Apa maksudnya mereka mengatakan bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi karena akhirnya harus mengurusi sekitar dapur, kasur dan sumur saja. Dikiranya perempuan itu budak apa?” kata Nindya berkobar-kobar penuh emosi.
Euis terdiam seribu bahasa menanggapi apa yang dikatakan oleh anak bungsunya itu.
“Neng ingin merubah pikiran sempit yang mengatakan kalau perempuan itu tidak perlu sekolah. Apa mereka tidak tahu kalau ibu itu madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kalau ibu mereka bodoh, bagaimana bisa mendidik anak-anaknya dengan baik? Neng jadi kesal sendiri kalau ingat kenyataan yang ada di desa ini. Rasanya ingin Neng ubah secepatnya.”
“Ya tidak bisa seperti itu juga. Neng harus pelan-pelan kalau mau merubah keadaan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini. Kalau Neng bertindak gegabah, Neng juga yang harus menanggung konsekuensinya. Tidak mudah merubah pandangan kolot mereka. Bukannya berubah, bisa-bisa Neng yang diusir oleh mereka,” jelas Euis. Ia semakin khawatir setelah mendengar keinginan Nindya yang menggebu-gebu. Ia memang sudah tahu apa yang diinginkan Nindya demi kampung mereka, tetapi Euis tidak menyangka jika Nindya akan benar-benar melakukannya segera.
“Sepertinya memang sulit. Tidak banyak juga orang yang memiliki pemikiran seperti Neng. Selama dua bulan di sini, Neng belum menemukan teman satu perjuangan. Mungkin karena Neng belum bergaul luas juga. Mudah-mudahan Neng mendapatkan teman yang satu visi ketika mengajar di sekolah nanti.”
“Aamiiin…” Euis mengaminkan harapan Nindya.
*********
to be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments