"Satu jam lagi papa tiba di bandara. Kalau tidak keberatan, papa ingin kau ikut bersama Brian menjemput papa."
"Aku harus istirahat, aku baru saja keluar dari rumah sakit."
"Lukamu tidak parah, kan?"
Niko tak menjawab.
"Beristirahatlah, dua jam lagi kita akan bertatap muka."
Niko malas dan langsung memutuskan panggilan. Meskipun kadang sikap kurangajarnya sering muncul, ia sebenarnya sangat merindukan sang ayah dan sangat menyayanginya.
Di sisi lain.
Di dalam kamar hotel yang luas, sosok Wulan baru saja selesai mandi. Kebiasaan menyanyi membuat Wulan melakukan hal itu saat merias diri di depan kaca.
Wulan tidak suka mengenakan riasan yang tebal baik di kantor maupun di mana saja. Walaupun hanya make up tipis dan sederhana, wajah lembut Wulan berhasil membuat semua laki-laki terpikat padanya.
(Panggilan masuk)
Tepat di saat Wulan meletakkan eyelinernya bunyi ponsel terdengar. Ia melihat nama Fanny sebagai pemanggil.
Dengan senyum lebar ia pun segera menyambungkan panggilan dan menyapa sahabat sekaligus teman kantornya itu.
"Halo, Fan."
"Lan, bagaimana kabarmu?"
"Kabarku baik, Fan. Bagaimana suasana kantor?"
"Sepi tanpamu."
Wulan tertawa. "Kamu ada-ada saja."
"Bagaimana suasana di Manado? Aku dengar di sana banyak tempat wisata bagus, ya?"
"Aku tidak tahu. Kamu tahu kan, aku tidak suka berkunjung ke tempat-tempat seperti itu. Kalau tempat makan atau restoran sudah pasti wajib kudatangi."
"Pikiranmu hanya makan terus."
Mereka berdua tertawa.
"Lagi apa kamu sekarang?"
"Lagi siap-siap mau cari makan siang."
"Makan siang di mana? Di sana terkenal dengan makanannya yang pedas, ya?"
"Iya, tapi enak. Kalau cutimu keluar kita sama-sama ke sini, aku akan mengajakmu ke tempat makan yang sekarang menjadi favoritku, aku yakin kamu pasti suka."
"Kau yang paling tahu aku, Lan."
"Oh iya, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu. Aku hampir lupa."
"Soal apa?"
"Kemarin ada lelaki berjas hitam datang ke sini. Namanya Brian kalau tidak salah. Dia menanyakanmu dan mencaritahu semua tentang dirimu."
"Brian, siapa dia?"
"Dia orang suruhan pria yang kau tolong waktu itu. Aku lupa menanyakan nama pria itu, yang jelas Brian ke sini untuk menyampaikan bahwa, pria yang kau tolong waktu itu ingin bertemu denganmu."
Wulan ingat. "Aku belum pernah bertemu dengannya semenjak dia sadar."
"Sepertinya dia menyukaimu."
"Menyukaiku?" Wulan terkekeh, "Kau ini ada-ada saja. Ingin bertemu bukan berarti menyukai. Mungkin dia ingin berterima kasih."
"Kalau cutimu selesai dan pulang sebaiknya kamu mengunjunginya, dia meminta kontakmu kemarin."
"Kau memberikannya?"
"Aku tidak memberikannya. Aku bilang datang saja ke sini satu minggu kemudian dan minta langsung pada orangnya."
Wulan tertawa. "Kau kelewatan, Fanny."
"Biarkan saja. Sekali-sekali mengerjai orang kan tidak masalah."
"Ya, sudah, aku mau cari makan, aku sudah lapar. Kamu ingin oleh-oleh apa?"
"Aku ingin kamu pulang dengan selamat dan kabar baik, itu saja."
"Yakin itu saja?"
Mereka terbahak.
"Sudah, sana. Cepat cari makan, nanti asam lambungmu kumat, lagi."
"Bye, Fanny."
"Bye Wulan."
***
Dua jam kemudian Handoko akhirnya tiba di rumahnya. Dua puluh tahun meninggalkan tempat itu membuat lelaki matang itu merasa asing. Kenangan di masa lalu sedikit demi sedikit bermunculan dalam benaknya.
Tak mau memikirkan kenangan pahit itu, Handoko segera ke taman belakang untuk menghirup udara segar. Puluhan tahun tinggal di luar negeri, Handoko akhirnya bisa merasakan teriknya matahari dengan puas.
"Di mana Niko, Magdalena?" tanya Handoko saat wanita itu muncul membawa segelas jus jeruk untuknya.
"Tuan muda sedang istirahat, Tuan."
Brian berdiri tak jauh dari Handoko.
"Apa dia pernah membawa wanita ke rumah ini?"
"Tidak, Tuan."
Handoko menenggak seperempat gelas jus jeruknya.
"Apa dia punya pacar?" Handoko memanggil, "Brian!"
Lelaki itu mendekat. "Iya, Tuan?"
"Kau yang paling dekat dengan Niko. Kau juga pernah bilang padaku, Niko suka mengencani banyak wanita. Dari sekian banyak pasti kamu tahu yang paling dispesialkan oleh Niko."
"Memang benar tuan Niko banyak mengencani wanita, tapi dari sekian banyak tidak ada satu pun yang dispesialkan oleh tuan muda."
"Entah siapa yang mewariskan sikap itu padanya. Waktu muda aku hanya fokus dengan satu wanita," Handoko menggeleng kepala, "Kapan bisa menikah, kalau semua perempuan dianggap seperti mainan," ia kembali menenggak jus jeruknya.
"Tuan?" panggil Brian.
Handoko berdeham.
"Ada satu wanita yang membuat tuan muda terus memikirkannya."
Handoko tersentak. "Benarkah, siapa dia?"
"Dia wanita yang menolong tuan Niko saat kecelakaan kemarin, Tuan."
"Jadi yang menolong Niko seorang wanita?"
"Benar, Tuan. Wanita itu bekerja di bank swasta di kota ini. Dia-lah yang mengeluarkan tuan Niko dari mobil, menghubungi polisi dan melunasi pembayaran di rumah sakit."
Handoko terkejut, berbalik menatap Brian dengan ekspresi penasaran.
Brian melanjutkan, "Anda pasti akan kaget mendengar ini, Tuan."
"Katakan, Brian."
"Dia putrinya pak Jefry Tanujaya, Tuan."
Handoko tercengang.
"Hanya saya sampai sekarang tuan Niko belum bisa bertemu dengannya."
"Kenapa?"
"Saat tuan Niko sadar dan ingin bertemu dengannya, nona Wulan sudah pergi tanpa berpamitan. Aku juga sudah menemuinya di kantor, tapi kata mereka nona Wulan ambil cuti mendadak."
"Apa Niko tidak menyuruhmu ke rumahnya?"
"Sudah, Tuan. Kata orang rumah nona Wulan keluar kota hari itu juga."
Dengan senyum lebar Handoko menatap Brian dan berkata, "Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku kepada Niko, Brian."
Brian hanya diam.
"Aku sebenarnya tidak memberitahu Jefry soal kedatanganku ke sini. Aku dan dia juga tidak bertemu sejak kejadian itu. Tapi kalau hal ini ada sangkutpuatnya dengan Niko, mau tidak mau aku harus bertemu dengannya. Kalau benar Niko menyukai putrinya, aku akan menjodohkan dia dengan anaknya Jefry, Brian."
Brian terkejut dalam diam.
"Tapi kau harus merahasiakan hal ini dari Niko, aku sendiri yang akan mengatakan padanya."
"Baik, Tuan."
***
Malam hari, di ruang makan yang besar bersuasana klasik, Niko sedang makan bersama sang ayah untuk pertama kalinya selama dua puluh tahun.
Penyebab yang sampai sekarang belum diketahui Niko, kenapa sang ayah meninggalkannya secara tiba-tiba dua puluh tahun lalu membuatnya penasaran.
Walau pun saling diam dan marah kepada ayahnya, Niko merasa senang bisa makan bersama ayahnya setelah puluhan tahun berlalu.
Ia ingin sekali menyatakan kerinduannya, tapi sikap gengsi dan keras kepala membuatnya bungkam.
Handoko yang merasa bersalah masih takut membuka suara. Meski tidak membesarkan Niko secara langsung, setiap hari ia selalu mendapatkan informasi dari Brian dan Magdalena tentang putranya.
Handoko tahu setiap hari, setiap malam Niko selalu ke kelab malam bersama wanita. Ia juga tahu Niko setiap hari membawa wanita yang berbeda-beda.
Sekarang, berkat informasi yang dia dapatkan dari Brian, ia berharap itu akan menjadi kunci untuk membangun hubungannya kembali dengan putranya. Handoko ingin Niko berubah dan menjadi pria baik-baik. Ia ingin putranya menetap pada satu wanita, menikah dan mengurus perusahannya yang sampai sekarang masih dirahasiakan olehnya.
"Kau menyukai Wulan Tanujaya?"
Bersambung____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments