Ambulance yang membawa Niko akhirnya berhenti di rumah sakit terbesar di kota Jakarta, diikuti mobil Wulan yang dikendarai oleh polisi muda itu.
"Saya akan masuk ke dalam, saya akan menemaninya sampai keluarganya datang," kata Wulan.
"Silahkan, Nona. Ini kunci mobil Anda. Kalau butuh sesuatu hubungi saja kami."
"Terima kasih banyak, Pak."
Wulan pun masuk ke dalam bersama petugas medis yang mendorong brankar yang di tumpangi pria itu. Sambil berlari mengikuti mereka Wulan kembali berdoa.
'Tuhan, selamatkan pria ini. Aku tak mengenalnya, tapi aku ingin dia selamat. Selamatkan dia, Tuhan ... kumohon.'
"Maaf, Anda tidak boleh masuk, Nona!"
Suara suster mengejutkan Wulan. Dengan tubuh kaget ia berhenti kemudian duduk di depan ruangan.
"Tuhan, sembuhkan pria itu. Sembuhkan pria itu, Tuhan."
"Permisi."
Suara petugas medis dari arah lain membuat Wulan menoleh. "Iya, ada apa?"
"Maaf, apa Anda keluarga pasien?"
"Bukan."
"Apa Anda mengenal keluarganya, kami butuh mereka untuk menyelesaikan administrasinya."
Wulan berdiri. "Aku saja. Berapa totalnya, Suster?"
"Mari ikut saya."
Wulan menurut dan mengekor di belakang wanita itu. Begitu tiba di meja administrasi, Wulan meminta izin untuk mengambil dompetnya di dalam mobil.
"Suster, ini tanda pengenal pasien. Mungkin Anda bisa menghubungi keluarganya untuk memberitahukan kondisi pasien."
"Tentu saja. Terima kasih, Pak polisi."
Begitu polisi itu pergi, Wulan kembali sambil membawa tasnya. Ia mengeluarkan dompet dan kartu hitam dari sana.
"Berapa totalnya, Suster?"
Suster itu menyebutkan nominalnya.
"Apa pihak kepolisian sudah memberitahu keluarganya?"
"Sudah, Nona. Saya baru saja menghubungi keluarga pasien dari tanda pengenal yang diberikan polisi tadi."
"Syukurlah. Semoga saja mereka cepat ke sini."
"Ini kartu Anda, Nona. Silahkan tanda tangan di bawah ini."
"Oh, baik."
Selesai bertransaksi Wulan pun kembali ke ruangan, di mana pria itu dirawat. Ia duduk di bangku panjang tepat di depan ruangan itu.
'Tuhan, bantu pria itu. Pulihkan dia dan selamatkan dia, Tuhan.'
"Itu dia!"
Suara berat dari ujung koridor mengejutkan Wulan. Dilihatnya salah satu petugas polisi berjalan cepat bersama lelaki tinggi berjas hitam. Wulan mengerutkan alis, penasaran.
"Ini wanita yang menolongnya, Pak."
Lelaki yang berdiri di depan Wulan segera menunduk hormat kemudian mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Terima kasih banyak, Nona. Terima kasih banyak, Anda telah menyelamatkannya."
Wulan berdiri. "Kebetulan saya memang lewat di sana. Anda tidak perlu berterima kasih, Pak."
"Saya harap Anda tidak akan menolak jika kami memberikan kompensasi untuk Anda, Nona."
"Itu tidak perlu, Pak."
Clek!
Bunyi pintu terbuka membuat mereka menoleh.
"Keluarga pasien?"
"Saya, Suster," jawab lelaki berjas hitam.
"Pasien sudah sadar."
Lelaki berjas itu mengabaikan Wulan dan masuk ke dalam. Ia bahkan lupa menyebutkan nama saking senang mendengar majikannya sudah sadar.
Wulan jyga ikut senang mendengarnya. Namun, tidak ada keterikatan keluarga membuatnya sungkan untuk melihat kondisi pasien. Ia pun kembali duduk, menunggu lelaki berjas yang tidak diketahui namanya itu keluar.
'Terima kasih, Tuhan. Terima kasih.'
(Panggilan masuk)
Getaran ponsel mengejutkan Wulan. Dengan cepat ia merogoh tas, melihat siapa yang memanggil.
"Halo, Fan?"
"Lan, kamu di mana? Sekarang sudah jam sembilan. Kamu tidak masuk kantor hari ini?"
Wulan berdiri menjauhi ruangan. "Aku di rumah sakit, Fan."
"Rumah sakit?! Siapa yang sakit, Lan?"
Wulan menjelaskan kronologinya kemudian melirik jam tangan. "Satu jam lagi aku akan tiba."
"Baiklah. Sampai nanti."
Panggilan pun terputus. Wulan menoleh, menatap ruangan di mana lelaki itu di rawat.
'Dia sudah sadar. Keluarganya juga sudah datang. Terima kasih, Tuhan.'
Di sisi lain.
Dengan kondisi lemah dan terbalut perban di bagian kepala dan tangan, sosok pria tampan sedang berbaring sambil menatap lelaki berjas hitam yang ada di depannya.
"Apa kata dokter, Brian?"
"Anda butuh istirahat saja, Tuan. Luka di kepala Anda akibat benturan keras. Dahi Anda sobek dan harus dijahit. Luka di tangan akibat terkena pecahan kaca jendela. Kata dokter itu tidak parah, cukup mengkonsumsi obat secara rutin lukanya akan cepat kering."
"Mungkin kalau wanita itu tidak datang, aku pasti sudah mati. Di mana wanita itu, aku ingin bertemu dengannya?"
"Di depan, Tuan. Tunggu sebentar, saya akan memanggilnya."
Niko menatap tubuh Brian. Begitu lelaki itu menghilang, ia memikirkan saat dirinya lemas dan sosok wanita cantik muncul di hadapannya.
Niko tersenyum. "Kau malaikatku."
Clek!
Bunyi pintu terbuka membuat wajah Niko kembali datar. Dilihatnya Brian masuk sendirian kemudian menutup pintu lagi.
"Di mana dia, Brian?"
"Maaf, Tuan. Tadi waktu saya datang wanita itu ada di depan. Begitu aku keluar, di depan sudah tidak ada siapa-siapa. Mungkin dia sudah pulang, bajunya penuh darah."
"Bajunya penuh darah?" Niko terkejut.
"Iya, Tuan."
Niko mengingat kembali kejadiaan saat wanita itu mengeluarkannya dari mobil.
"Dia yang mengeluarkanku dari mobil, Brian. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah mati. Kumohon cari dia, Brian. Cari wanita itu sampai ketemu, aku ingin berterima kasih padanya."
Tok! Tok!
Ketukan pintu membuat Brian dan Niko spontan menoleh.
Sosok perawat cantik masuk sambil membawa file.
"Permisi. Maaf mengganggu sebentar, Pak."
Brian mengangguk. Niko hanya diam dengan wajah datar menatap lembaran kertas di tangan perawat itu.
"Saya ke sini untuk menyerahkan bukti pembayarannya."
Dengan sigap Brian menerima lembaran tersebut.
"Berapa totalnya, Brian?" tanya Niko.
"Lima juta enam ratus ribu rupiah, Tuan. Di sini juga tertulis pembayarannya lunas."
"Niko terkejut. "Lunas?"
"Iya, Tuan."
Niko menatap Brian.
Brian pun paham dan langsung menatap perawat itu. "Bisa kami tahu siapa yang melunasinya?"
"Wanita yang membawa Anda ke sini, Pak. Dia yang melunasi pembayaran tadi saat dokter menangani Anda."
"Siapa namanya?" tanya Niko cepat.
Si perawat memeriksa catatan lain yang ada di tangannya. "Namanya Wulandari Tanujaya."
Niko menyimpan nama itu di memorinya.
Brian menjawab, "Terima kasih banyak, Suster."
"Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu."
Begitu si perawat berlalu, Niko menatap sosok berjas hitam di depannya.
"Cari dia, Brian. Bagaimana pun caranya, kau harus membawa dia padaku."
"Baik, Tuan."
Hampir tiga jam terbaring begitu nyenyak akibat obat yang ditelannya, Niko terbangun saat kantong kemihnya terasa penuh.
"Brian."
Sosok yang sedang duduk di sofa segera beranjak. "Iya, Tuan?"
"Aku ingin ke kamar kecil."
Dengan sigap Brian segera membantu Niko turun dari ranjang. Kecelakaan tadi membuat Niko sulit berjalan. Tidak parah, tapi kakinya terasa sakit saat digerakan.
"Kau sudah menemukannya?" sambil berjalan Niko bertanya.
"Belum, Tuan. Tapi saya tahu di mana kantornya."
Sejenak Niko menatap Brian. "Tunggu di sini, aku ke dalam dulu."
Brian nyaris tertawa melihat ekspresi bahagia di wajah majikannya. Selama puluhan tahun menjadi supir sekaligus pengawal Niko, Brian tidak pernah melihat majikannya tersenyum lebar seperti tadi.
Hanya memakan waktu lima menit Niko keluar dari toilet.
"Bagaimana, Brian? Apa katamu tadi?"
Bersambung____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 171 Episodes
Comments