Helena menopang kan dagunya di atas tangan yang bersender di kaca mobilnya, matanya menatap setiap objek yang terlintas di pelupuk matanya. Ia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan dari Kutai Kartanegara menuju kampungnya yang jauh di pedalaman Kutai Barat
Darta yang sedang berusaha fokus pada kemudi di tangannya sesekali melirikkan matanya ke arah Helena dan spion yang berada di tengah mobil. Anas terduduk diam di kursi tengah, matanya kosong menatap ke arah depan.
Mereka tiba dari bandara ke Kutai Kartanegara sudah terlalu sore. Darta sempat menyarankan untuk melanjutkan perjalanan ke kampung besok harinya saja, namun Helena bersikeras untuk tetap melanjutkan perjalanan ke kampung hari itu juga.
Tiba-tiba laju kendaraan perlahan mulai melambat sampai akhirnya berhenti di sebuah perkampungan. Helena tersentak dari lamunannya, ia melihat banyak kendaraan yang berhenti dan petugas kepolisian yang sedang memeriksa beberapa kendaraan.
"Kenapa, Pa?" tanya Helena keheranan.
"Ada pemeriksaan, Ma. Mungkin pemeriksaan surat-surat kendaraan, tenang kita lengkap kok." ujar Darta sambil mengeluarkan surat kendaraanya.
Tiga orang petugas polisi menghampiri mereka dan salah satu di antaranya mengetuk kaca di samping Darta, Darta menurunkannya dan menyodorkan surat-suratnya.
"Ini, Pak."
"Selamat malam, Pak. Kami sedang melakukan pemeriksaan dan pengecekan setiap kendaraan terkait kasus penculikan. Untuk itu kami akan melakukan pengecekan terhadap kendaraan Bapak, mohon kerjasamanya." ucap Polisi itu.
"Baik, Pak." sahut Darta.
"Mohon dibuka bagasi dan semua pintu mobil anda." pinta Polisi itu.
Darta mengangguk dan segera melakukan perintah polisi tersebut, setelah semua selesai diperiksa dan dinyatakan aman Darta segera kembali ke mobilnya.
"Ini, terima kasih atas kerjasamanya. Dan mohon maaf atas gangguan kecil ini." ucap Polisi itu sembari menyerahkan surat-surat Darta.
"Sama-sama, Pak." ucap Darta.
"Ada kasus apa ya, Pak." tanya Helena.
"Beberapa bulan terakhir warga di sekitar Kutai Barat dan Kutai Kartanegara diresahkan dengan kasus penculikan anak-anak berusia sekitar enam sampai dua belas tahun serta ibu hamil yang menghilang dan belum ditemukan sampai sekarang." sahut Polisi itu.
"Ohh, terima kasih Pak informasinya." ucap Helena lagi.
"Sama-sama, silahkan melanjutkan perjalanan anda, harap selalu waspada dan hati-hati." ucap Polisi itu mengingatkan.
"Baik, Pak. Selamat malam." ucap Darta.
Polisi itu mengangguk, Helena heran mengapa ia tak pernah mendengar berita seperti itu. Apakah karena ia terlalu lama berdiam diri di dalam istananya sehingga ia tak tahu berita di dunia luar.
Darta kembali melanjutkan perjalanannya. Setelah dua puluh menit melanjutkan perjalanan dan tiba di kampung sebelah Darta kembali memperlambat laju kendaraannya, ia menginjak gas secara perlahan. Beberapa kerumunan orang yang berdiri di jalanan menghambat perjalanannya. Di sebuah rumah di jalan poros kampung tersebut juga ramai dengan orang-orang dan beberapa petugas polisi.
"Ada apa lagi itu, Pa?" tanya Helena pada Darta.
"Entahlah, Ma." Darta mengangkat kedua bahunya.
"Ada orang meninggal." ucap Anas sambil tersenyum.
Helena dan Darta terkejut mendengar ucapan Anas, sesaat keduanya saling pandang lalu Darta berucap.
"Jangan ngomong sembarangan kamu, Nas. Kamu tahu darimana kalau ada orang meninggal?"
"Bendera putih." sahut Anas singkat.
"Oh, iya ... ya. Dasar *polo kita kok nggak lihat tadi, Pa." ucap Helena.
Darta terus melewati kerumunan tersebut, hingga ia sampai di kampung berikutnya lagi.
"Kita istirahat sebentar di sini." Darta menghentikan mobilnya di sebuah rumah makan yang berada di tengah-tengah jalan poros yang menghubungkan dua kabupaten tersebut.
Helena beranjak turun dan mengikuti Darta namun ia kembali lagi karena melihat Anas masih bertahan di dalam mobil.
"Kamu nggak makan, Nas?" tanya Helena.
"Nggak, aku nggak lapar. Aku mau tidur sebentar di sini." ucap Anas.
"Oke. Kamu mau dibawain apa nanti?" tanya Helena lagi.
Anas hanya menggelengkan kepalanya dan langsung merebahkan tubuhnya di kursi tengah di dalam mobil tersebut. Sementara Helena langsung menyusul suaminya ke dalam rumah makan.
Helena menghampiri Darta yang duduk melantai di bagian lesehan pada salah satu sudut rumah makan tersebut.
"Kamu sudah pesan, Pa?"
"Sudah, kamu juga sudah Papa pesankan, Ma." ucap Darta.
"Makasih, Pa." ucap Helena.
Seorang pelayan mengantarkan pesanan ke meja yang ada di belakang Helena, tiga orang laki-laki duduk di meja tersebut. Saat pelayan tersebut sedang menurunkan dan menata makanan salah satu tamu tersebut bertanya.
"Mbak, Lis. Ada apa di kampung sebelah kok rame?"
"Aduh. Bang Japar emangnya belum tahu ya?" Elis kembali bertanya.
"Ya ampun, Elis. Kalau Abang tahu ngapain Abang nanya." ucap Japar.
"Itu Bang, di sebelah lagi rame. Anaknya *Tinan Akuy di kampung sebelah meninggal di dalam *berangka waktu dia pulang dari kebun." ucap Elis pelan namun masih bisa di dengar oleh Helena.
"Hah! Kok bisa bagaimana ceritanya?" ucap Japar kaget.
Elis memeluk nampannya erat, "Anu, Bang. an--"
"Anu. Apa?" Potong Japar tidak sabar.
"Anu ... waktu Tinan Akuy pulang dari kebun dia naruh anaknya di berangka, terus dia heran ada sesuatu yang basah dan lengket di bahunya. Pas dia noleh ke belakang dia langsung pingsan. Untung dia pingsannya pas di pinggir jalan, bukan di kebun. Jadi ada orang yang ngeliat dan ngantar dia pulang."
"Terus, ngapa dia pingsan?'' tanya Japar semakin penasaran.
"Anak hak mate awek Naan puak, puak hak tepa, Bang." ucap Elis pelan.
( "Anaknya meninggal tanpa kepala, kepalanya hilang, Bang." ucap Elis pelan)
Mendengar ucapan Elis, Japar dan kedua temannya sontak terkejut dan memekik pelan. Helena bergidik ngeri dan langsung pindah duduk di samping Darta. Elis segera pergi begitu mendengar panggilan dari bosnya, ia mengambil pesanan yang sudah siap dan mengantarnya ke meja Helena.
Helena mendorong kembali sebuah mangkuk ke arah Elis. "Mbak Elis, tolong ganti sama menu yang lain. Buatkan saya capcay kuah saja, yang ini tetap saya bayar kok. Tulis aja di billnya nanti."
"Baik, Mbak." jawab Elis.
"*Knoon, Mam? Tumben kamu nggak mau pindang kepala kakap kesukaanmu." tanya Darta heran.
"Nggak, papa. Pa." jawab Helena menahan mual.
Helena sangat menyukai menu pindang kepala kakap yang ada di rumah makan itu, setiap mereka mampir itu adalah menu andalan yang selalu dipesannya. Entah mengapa setelah mendengar cerita Elis tadi dia seperti melihat kepala manusia di dalam mangkuk tersebut.
Di tempat lain.
Anas membuka pintu mobil dan berjalan menuju sebuah rumah makan, di dalam sudah banyak orang-orang yang dikenalnya. Salah satu temannya memberikan piring kepada Anas, Anas menyambutnya dan langsung mengambil menu yang sudah tersedia di atas meja.
Steak daging, sate daging, usus panggang, dan bakso daging ia cicipi semuanya.
"*Monak?" tanya temannya.
"*Iyak." sahut Anas sambil terus melahap steak daging.
Anas terbangun saat Helena menggoyangkan badannya. Ia langsung duduk kembali sambil mengusap-usap wajahnya.
Helena menyodorkan dua bungkus roti dan sebotol air mineral, "Nih, makan dulu, Nas."
Anas menerima pemberian Helena dan menaruhnya di samping. Darta kembali melanjutkan perjalanannya, Helena menoleh ke arah Anas.
"Nggak dimakan, Nas?"
"Makasih, Aku udah kenyang, Len." sahut Anas tersenyum puas.
*polo\= bodoh
*tinan \= ibu
*berangka \= tas yang terbuat dari anyaman rotan atau bambu yang biasa dibawa saat berkebun
*monak \= enak
*iyak \= iya
*knoon Mam\= kenapa Ma
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Karebet
👍👍👍
2023-08-08
0
Herlin Todo
aku ko bacanya deg degan
2022-11-04
0
lee.ana
author orang asli kalimantan ya? fasih banget
2021-01-23
2