Sesampainya dilapangan semua siswa-siswi menuju kebarisan yang telah disediakan berdasarkan kelompok kelas. Berhubung kelas 7B belum memiliki ketua kelas alhasil guru langsung yang mengarahkan dimana mereka harus berdiri menantang matahari. Sebenarnya untuk seluruh kelas 7, guru langsung yang membimbing karena struktur kelas yang belum terbentuk.
Setelah posisi barisan didapatkan, kembali kemasalah awal. Dasi. Murid-murid kelimpungan bagaimana cara memakai dasi. Karena jelas sekali dasi SD dan dasi SMP berbeda.
Niken lebih panik lagi, harus kepada siapa dia meminta tolong. Adila satu-satunya teman yang dikenalnya berada dibarisan paling belakang karena postur tubuhnya yang tinggi sedangkan Niken harus berbesar hati karena berkat tubuh pendeknya dia berada dibarisan depan walaupun masih berada diurutan ketiga.
"Boleh minta tolong pasangin dasi nggak?" Niken memberanikan diri meminta tolong kepada teman perempuan yang berada disamping kanannya karena ketika dia mengamati murid lainnya hanya teman disamping kanannya inilah yang pasangan dasinya paling rapi.
"Wadoh, gue nggak bisa masang dasi, ini aja tadi emak gue yang masangin, minta pasangin Salsa aja ini." Yang dimintai tolong malah mengalihkan ke teman yang berada dibelakang Niken.
Niken menoleh dan mendapati teman yang berdiri dibelakangnya melongo bingung karena tiba-tiba ditunjuk tapi yang lebih penting perempuan yang mempunyai tinggi sebelas dua belas dengan Niken itu telah terpasang dasi dikerahnya.
"Gue? Ngapain?" tanyanya bingung.
"Pasangin dasi."
"Tapi nggak bisa rapi."
"Nggak papa kok walaupun nggak rapi." Niken menyahut cepat. Daripada dasinya tidak terpasang bisa-bisa dia terkena hukuman.
Teman yang berdiri dibelakangnya itu akhirnya memasangkan dasi walaupun ragu awalnya.
"Hehehe maaf ya gue juga baru belajar masang dasi tadi pagi, masih agak-agak lupa cara masangnya gimana," ucapnya setelah ketiga kalinya dasi yang berada di kerah Niken gagal terpasang. Niken hanya tersenyum maklum. Sudah syukur ada yang mau berbaik hati masangin dasinya.
"Nama gue Salsa, nama lo siapa?" Sembari masih mencoba melilitkan dasi, teman Niken yang baru ketahuan namanya itu bertanya.
"Niken."
"Bisa nggak sih Sa? Daritadi kok nggak selesai-selesai? Lo mau masangin dasi atau mau nyekek anak orang. Bongkar pasang bongkar pasang." Niken dan Salsa kompak menoleh kearah anak perempuan yang dasinya dipasangkan oleh emaknya itu.
"Nah yang cerewet ini namanya Marwah." Marwah cemberut kepada Salsa karena disebut cerewet tapi seketika sumringah ketika menghadap Niken.
"Hai nama gue Marwah." Marwah melambaikan tangan riang padahal jarak mereka hanya dua langkah.
"Gue Niken." Niken tersenyum melihat keriangan Marwah. Tak jauh beda dengan keriangan yang ditampilkan Adila.
"Dah selesai." Salsa berseru riang karena hasil praktek dasinya berjalan lancar dan hasilnya lumayan rapi. Setelah sepuluh menit berlalu.
"Ya ampun udah hampir satu jam kita berdiri disini upacara baru mau dimulai. Sebenernya niat upacara nggak sih ini?" Marwah menggerutu sembari mengibaskan kerahnya yang sudah mulai berkeringat.
"Sabar Mar, ini upacara." Salsa menyahut santai sembari mengelus-elus lengan tangan Marwah. Marwah melirik Salsa sengit.
Niken pun sebenarnya sudah mulai resah. Matahari sudah beranjak naik, diperkirakan sekarang sudah pukul 9 dan upacara baru saja dimulai. Keringat dingin sudah mulai menjalari pelipis dan punggung Niken.
Niken punya anemia. Dia paling tidak kuat bila harus berlari ataupun berdiri diterik matahari seperti ini. Pandangan matanya biasanya akan berkunang-kunang dan kepalanya mulai terasa pusing. Dan benar saja begitu pengibaran bendera masih berjalan setengah tiang, Niken sudah tidak kuat menahan bobot tubuhnya.
Gubrak!!!
Niken pun pingsan.
***
"Gimana rasanya pingsan Ma?" tanya Marcel disela-sela Niken masih menceritakan sekelumit masa SMP nya yang memalukan.
"Ya kayak orang tidur biasa. Nggak sadar apa-apa," ujar Niken tenang, berbeda dengan Marsya yang sebal sekali dengan adiknya yang bernama Marcel itu. Karena berkat pertanyaan tidak pentingnya, cerita mamanya jadi terhenti.
"Aku belum pernah pingsan," celetuk Marcel lagi.
"Abaikan dia ma, lanjutkan ceritanya," sebal si kakak.
Niken mengangguk dan menatap langit-langit kamar, menggali kembali memori puluhan tahun lalu.
***
Niken membuka mata dan menatap sekeliling. Semua ruangan ini serba putih dan samar-samar ia mencium bau obat-obatan. Ada tirai tertutup berwarna kuning di sebelahnya. Niken menghela napas karena sudah menyadari dimana dirinya saat ini berada. Bagi Niken tidak ada yang lebih memalukan lagi selain pingsan dihari pertama masuk sekolah. Masih menyandang status murid baru, belum kenal siapa-siapa. Niken sudah siuman dan sekarang sedang berada di UKS.
"Makan cemilan dulu dek, biar ada tenaganya." Niken melirik name tag yang terpasang di baju siswi yang menyapanya itu. Kakak kelas yang bernama Diah itu menyodorkan satu cup berisi tiga buah kue putu ayu. Niken menerimanya walaupun dia tidak lapar. Niken menyempatkan memakan sarapan yang dibuat tantenya sebelum berangkat ke sekolah tadi pagi.
"Makasih kak."
"Teh manisnya diatas nakas ya." Niken mengangguk.
"Upacara belum selesai kak?" Niken bertanya karena tidak tersedia jam dinding di ruangan ini. Niken jadi tidak bisa memperkirakan kapan dia bisa masuk kelas.
"Belum. Biasanya sih kalau udah kepsek yang ngasih pidato bakalan lama dek. Syukurlah adek pingsan jadi nggak perlu berdiri lama-lama dipanas-panasan."
Sumpah, Niken tidak ingin pingsan walaupun harus berdiri berjam-jam di lapangan dan kepanasan.
"Ada gitu pingsan yang harus disyukurin?" Niken bertanya heran yang hanya dijawab Diah dengan tawa.
"Aku aja daftar jadi anggota PMR biar nggak perlu panas-panasan. Males banget harus upacara, mending disini ngadem dibawah AC. Eh jangan ditiru ya!" Diah memberi ancaman yang justru bernada kocak ditelinga Niken.
"Yang bawa aku kesini tadi siapa kak?" Niken bertanya lagi karena tidak mungkin Diah yang mengangkat dirinya sampai ke UKS.
"Anak PMR yang cowok. Udah tugas mereka ngangkatin murid-murid yang pingsan."
Niken menganggukkan kepalanya. Niken dan pingsan saat upacara sepertinya dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Saat SD pun Niken sering pingsan saat upacara. Maka dari itu Niken tidak pernah mengikuti ekskul apapun semasa SD. Niken terkenal dengan fisiknya yang lemah.
"Udah nggak usah ngerasa nggak enak gitu. Justru cowok-cowok PMR pada seneng kalo yang pingsan cewek, selain nggak terlalu berat bobot tubuhnya, mereka juga jadi bisa lirik-lirik mana yang sekiranya cantik dan bisa jadi gebetan."
Niken baru akan menjawab ucapan Diah bahwa dirinya masih dibawah umur dan tidak mengerti apa yang dibicarakan Diah ketika suara lonceng berbunyi. Niken langsung beranjak dan memakai sepatunya yang tergeletak dibawah ranjang. Entah siapa yang melepaskannya. Mungkin Diah.
"Kamu mau masuk kelas? Nggak ngadem dulu?"
"Enggak deh kak. Aku mau langsung ke kelas aja. Nggak enak kak, aku kan masih anak baru."
Padahal alasan sebenarnya karena tidak adanya teman yang menemaninya ngadem di UKS. Kak Diah sudah pasti kembali ke kelasnya karena jam pelajaran akan dimulai. Ngadem sendirian dan bisa-bisa ditemani makhluk astral penghuni UKS, ihh lebih baik Niken kembali ke kelas saja.
"Kak, bisa minta tolong antar aku ke kelas 7B nggak? Aku nggak tau jalan." Kak Diah yang sedang merapikan obat-obatan entah apa, menghentikan kegiatannya dan menoleh kearah Niken.
"Kamu takut nyasar ya?" Niken nyengir.
"Ya udah ayo." Diah langsung berjalan keluar UKS. Niken agak berlari mengejarnya.
"Loh kak beres-beres obatnya belum selesai?"
"Udah tenang aja, ada anggota PMR yang lain."
Sungguh mulia sekali perbuatan kakak kelasnya ini. Karena terlalu mulia sampai tidak patut untuk di contoh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
BINTANG ARINAA
semua anak sekolah sama aja, malas klo upacara hahaha
2023-07-06
0
Sery
salsa juga tidak bisa pasang dasi
2023-06-20
0
Wulandari Rizky
aku juga paling males kalo disuruh upacara
2023-06-12
0