Izin Ruang Meeting

Pak Dimas sampai ternganga saat aku minta izin padanya.

“Maksudnya?” tanyanya meminta keterangan lebih lengkap.

“Em... begitu lah pak, maaf kalau menyusahkan bapak. Saya harap bapak bisa memaklumi keadaan ini,” kataku.

“Kamu minta izin untuk berbuat keributan di Lobby gedung. Itu nggak biasa, loh,”

“Saya akan mengusahakan agar minim kerusakan Pak, ya memang aksi penyerangan belum pasti terjadi, tapi saya berjaga-jaga saja dulu Pak,” Aku menyerahkan ponselku padanya, kuperlihatkan isi pesan singkat dan screen shoot sebelumnya. “Seandainya nanti terjadi hal yang tidak diinginkan, saya mohon pihak gedung untukmaklum,”

Pak Dimas menghela nafas sambil mengembalikan ponselnya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya. Aku takut dia akan menganggapku karyawan yang menyusahkan. Kontribusiku tidak banyak di perusahaan ini, aku hanya staf biasa, tapi sudah menyusahkan banyak orang.

“Kamu tahu isi pesan model begitu bisa dimasukkan ke pengaduan,”

“Ya Pak, tapi dana dan tenaga saya sudah habis untuk prosesnya. Bisa-bisa waktu saya untuk bekerja tersita,”

“Yang beginian kamu posting di instagram juga akan viral sih, semua pasti mendukung kamu kok kalau captionnya jelas,”

“Hm, saya sudah pernah begitu, saya malah dituntut UU ITE. Untung saja saya menang,”

Terdengar kekehan Pak Dimas, “Baiklah, Kamu hubungi keamanan gedung ya, biar mereka berjaga-jaga kalau si pengancam datang,”

“Bro, lo liat si- eh kamu di sini ternyata,” Pak Felix masuk ke ruangan Pak Dimas tanpa mengetuk pintu.

Ia langsung menatapku.

Aku terlihat menangis tadi di depannya, malu sekali aku.

Mungkin karena melihat wajah tegang Pak Dimas dan aku yang berdiri dengan salah tingkah, Pak Felix pun langsung menghampiriku, “Kamu nggak papa?” tanyanya padaku.

“Pak Felix tahu mengenai hal tadi?” tanya Pak Dimas selanjutnya.

Aku lupa kalau pemilik gedung dan perusahaan ini ada satu lagi. Ya Pak Felix ini. Tapi meminta izin darinya bukan dalam kapasitasku. Jabatannya terlalu tinggi untuk kuberi kerepotan.

Sementara unit bisnis memang berada di bawah otoritas Pak Dimas sebagai CEO sejak posisi Direktur Bisnis Kosong. Sebenarnya setelah ini aku bermaksud menemui Kadiv SDI perihal keributan yang akan kualami, tapi paling tidak, saat aku bertemu mereka aku sudah mengantongi izin dari Presdir.

“Pak Felix sempat bertemu saya di cafe tadi,” kataku. Dan sempat melihat isi pesan singkat di ponselku. Kutambahkan dalam hati.

“Ini masalah mantan suami kamu kan?” tembak Pak Felix.

Aku hanya mengangguk lemah.

Capek sekali tubuh ini. Rasanya aku ingin istirahat.

Tapi berikutnya terpikir... kalau dilihat-lihat masalah Pak Felix malah lebih besar dariku. Sampai sekarang ia masih berkutat dengan masalah perpisahan dan pembagian harta.

Hal itu malah membuatku seakan diberi suntikan tenaga.

“Gue ambil alih, bro. Izin ya AO lu gue pinjem,” desis Pak Felix sambil meraih pinggangku dan menggiringku keluar dari ruangan Pak Dimas. (AO maksudnya adalah Account Officer. Jabatanku di perusahaan ini).

**

“Pak, saya tidak ingin-“

“Nih, makan dulu!” Pak Felix menyodorkan bungkusan ke depan wajahku. “Kamu tadi sama sekali belum sentuh makanan kamu, jadi saya take away saja, makanya saya agak lama menyusul kamu,”

“Hah?”

Saat ini kami berada di ruangan marketing yang letaknya berada di seberang Area Direksi. Ruangan ini dipisahkan oleh koridor dan lift, namun letaknya berhadap-hadapan.

“Ohiya, tadi saya tambahin kopi juga. Makan, saya tungguin di sini,”

“Saya tidak nafsu-“

“Paksakan makan, kamu butuh tenaganya untuk teriak-teriak nanti,”

“Hah?!”

“Kamu akan selesaikan masalah kamu sendirian kan?”

“I-iy a sih Pak,”

“Sudah saya duga wanita seperti kamu tidak butuh bantuan, saya hanya bisa pinjamkan ruang meeting untukkamu menyelesaikan masalah. Silakan diobrak-abrik, saya hubungi Bagian umum ya,” dia menekan tombol ekstensi pada telepon di atas mejaku. “Daripada kamu bikin malu diri sendiri di Lobby. Saya sudah minta sekuriti untuk mengarahkan orang yang mencari kamu ke ruangan meeting di lantai 1,”

Ruangan meeting lantai 1 itu adalah ruangan meeting yang besar dan termasuk elit. Yang bisa membookingnya hanya manajemen. Dan ruangan itu biasa digunakan kalau ada acara peluncuran saham atau ceremonial tertentu yang sifatnya exclusive.

Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ia berikan. Sekali lagi, aku berterima kasih padanya. Bukan sekali ini saja aku dibantu. Jadi aku pun makan dengan cepat.

Ia bahkan memberiku tambahan air putih karena mulutku penuh.

“Pak, masalah ini...”

“Iya... hanya kita yang tahu,” Pak Felix menyodorkan gelas berisi air putih padaku, “Saya juga pernah di posisi kamu. Nih,” ia menunjuk luka baret di atas alisnya yan masih berbekas, “Saya sampai dilempar pakai pigura, yang isinya foto pernikahan kami. Padahal yang selingkuh itu dia sendiri, loh. Saya hanya minta properti atas nama saya,”

“Hehe...” sekali lagi, aku merasa di beri kekuatan tak kasat mata untuk menghadapi semuanya.

“Pelaku sebenarnya tuh kalau dia tahu dia yang salah, kita yang benar, ngamuknya berasa dia yang paling disakiti. Padahal yang di-zalim-i sudah memutuskan mengalah, loh,”

Iya, aku mengakui perkataannya benar. Aku berada di posisi itu saat ini. Entah apa yang sudah Tommy katakan ke ‘Baby’nya yang jelas kesalah-pahaman ini tak akan kubiarkan berlarut-larut.

Benar saja, setelah aku selesai makan, dan aku pun mengehla nafas lega karena tubuhku sudah mencerna semua nutrisinya menjadi energi, Sekuriti gedung menelpon ke ektensiku.

“Bu Chintya, ada tamunya. Beliau sudah di ruang meeting Lobby,”

Aku tegang lagi.

“Baik Pak, saya turun ke bawah,” gumamku malas.

Kutatap Pak Felix yang sedang tersenyum padaku.

“Semangat ya, kalau butuh apa pun, saya di bawah,”

“di bawah?”

“Iya, di Wolfgang's tadi belum sempat makan siang,”

Wow... dia melewatkan makan siangnya hanya untuk mengejarku ke ruangan Pak Dimas? Perlukah aku jadi ke-Ge-er-an? Dan Wolfgang's yang di maksud adalah restoran steak mahal yang letaknya berada di dekat ruang meeting. Penjagaannya lumayan ketat karena memiliki satuan pengamanan sendiri. Tempat para Direksi menyendiri tanpa gangguan dan lidahnya dimanjakan dengan daging mahal lumer di mulut. Sejenak melupakan permasalahan mereka yang pelik.

“Kalau masalahnya sudah selesai, gabung saja ya. Saya mau bicara,” desisnya padaku.

“Baik Pak, terima kasih... permisi,” aku pamit dan segera keluar dari ruangan.

Saat aku menunggu lift untuk menuju ke bawah, kulihat dari pintu kaca, Pak Felix masih berdiri bersandar di pinggir mejaku. Ruangan itu sepi karena semua karyawan sedang makan siang. Pak Felix satu-satunya yang berada di sana.

Dia hanya menatapku dengan nanar, hanya diam di sana.

Mengawasiku.

Sampai aku masuk ke lift dan sempat melirik ke arahnya, dia masih ada di sana. Tersenyum padaku dengan senyuman khasnya yang tipis.

Sepanjang perjalanan menuju lantai bawah, jantungku berdebar-debar.

Entah kenapa.

Bukan karena aku akan menghadapi orang-orang toxic di bawah, tapi karena senyuman Pak Felix yang hangat ditujukan padaku.

Terpopuler

Comments

✨️ɛ.

✨️ɛ.

haha.. setuju, pak!

2024-08-22

0

✨️ɛ.

✨️ɛ.

lah iya, skrg mah apa² mesti netijen dulu yg turun tangan..

2024-08-22

0

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

makan yg banyak ya mbak cintya biar bisa teriak2😅

2024-04-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!