Bisnis

3 bulan kemudian, dalam kondisi berusaha move on, bisa-bisanya aku telat bangun. Mungkin karena aku sudah semakin terbiasa hidup sendirian di kost-an. Biasanya aku bangun pagi karena menyiapkan sarapan dan bersih-bersih dulu agar mantan suami nyaman di rumah selama aku tinggal kerja, kalau sekarang kan waktuku hanya untukku sendiri

"Bu-Cin…" Pak Felix mensejajari langkahku saat pagi itu aku menuju lift setengah terburu-buru. Ini sudah jam 7.55, dan aku belum absen ke atas.

Eh, tunggu…

Dia panggil aku apa barusan?!

"Em… Pak Felix. Pagi Pak,"

"Pagi, sini kamu. Pakai lift Direksi aja. Telat kan?"

Tentu saja itu tawaran menggiurkan untukku. Lihat saja antrian liftnya sampai 5 meter ke belakang! Padahal ada 10 lift karyawan di gedung 35 lantai ini. Memang ada berapa orang sih yang bekerja di gedung ini?!

Aku langsung tergopoh-gopoh mengikutinya ke arah koridor eksekutif, dan ia menahan pagar sensor untukku. Sekuriti hanya menyeringai padaku saat tahu kelakuan si Komisarisnya.

Lift itu hanya membutuhkan waktu beberapa detik untuk naik ke lantai 15. Beda sekali dengan lift karyawan yang jalan naik ke atas tersendat-sendat padahal sudah dibagi per lantai. Kartu karyawan kami secara otomatis memang membuat lift langsung menuju ke lantai kantor. Tapi perjalanan masih bisa terganggu saking banyaknya orang dengan tujuan sejalan.

Contohnya, lift 1 digunakan untuk naik ke lantai ganjil 1, 3, 5 dan 7. Tapi orang dari lantai genap bisa memakai lift kami kalau mau ke lantai 3, jadi ya mau tak mau berhenti dulu di lantai 2.

Tak jarang kami mengomeli sesama karyawan dengan bilang : beda satu dua lantai naik tangga darurat aja kalik!

Dan tak jarang mereka juga membalas, "Woy, ini kan fasum. Salah sendiri dateng mepet!"

Kan sialan…

Pak Felix tampak merangkai dasinya di dinding lift yang memantulkan sinar saking jernihnya.

Atau wajahnya yang memang sudah jernih.

Perasaan kalau aku yang berkaca, yang ada tetap buram saja.

"Di meja saya ada 3 proposal pengajuan dari kamu," kata Pak Felix.

"Ya Pak,"

"Perbaiki dulu ya,"

"Ada yang salah ya Pak?!" aku jelas terkejut dengan pemberitahuan ini.

Lift berhenti di lantai kami. Ia mempersilakanku untuk keluar lift duluan sambil menahan pintu dan akhirnya berdiri di depanku di koridor. Jujur saja aku tidak mengharapkan perilaku seintens itu darinya. Tapi tampaknya ia terbiasa memperlakukan wanita segentle itu.

Tampak beberapa karyawan yang melewati kami menunduk menghormat padanya.

"Absen aja dulu," katanya sambil membuka panel absen jari di depan pintu staff.

Aku menekan jempolku ke alat sensornya.

7.56.

Aku selamat.

Tapi aku belum berani masuk ke ruanganku. Dia masih berdiri di sana seakan menungguku untuk berbicara.

"Sederhanakan bahasanya, draft kontrak akan digunakan 10 tahun ke depan, kondisi ekonomi fluktuatif. Kamu jangan terlalu menekan nasabah. Coba buat lebih fleksible, nasabah korporat itu kan berhutang bukan karena dia butuh, tapi karena untuk urusan cashflownya. Usahakan dia bisa atur alurnya sendiri, jangan kita yang tentukan,"

"Tapi Pak, bukankah dalam kasusnya nasabah sering terlalu percaya diri dengan rencananya, ujung-ujungnya macet,"

"Prioritaskan ke jaminan dong, gimana sih kamu…"

"Jaminannya sudah bernilai 130% dari harga jual,"

"Minta jaminan lagi. Baru nasabah kita bebaskan atur sendiri belanjanya,"

"Astaga,” gumamku setelah menyadari ke mana alur pembicaraan ini. Orang ini secara halus dan licik sebenarnya ingin nasabah itu kolaps karena ia ingin menyita aset mereka! Membebaskan nasabah mengatur sendiri rencana belanja mereka, membuat nasabah sedikit terlena dengan uang pinjaman, sehingga nantinya uang itu digunakan ke kebutuhan yang tidak semestinya.

Ini proyek untung-untungan saja sebenarnya, kalau nasabahnya pintar ia akan bijak menggunakan dana pinjaman. Ia investasikan kembali atau ia belikan aset. Tapi kebanyakan Nasabah tidak begitu.

"Saya minta satu lagi jaminan kredit, yaitu rumah nasabah yang di Hang Lekir, hehe," kata Pak Felix sambil mengerling padaku.

Hal itu diluar kuasaku, hanya jajaran manajemen yang bisa berencana. Maka akhirnya aku iyakan saja permintaannya.

Masalahnya… Dia bukan Direksi. Komisaris tidak berwenang untuk mengatur strategi walau pun dia pemegang saham tertinggi.

"Saya akan bicarakan dengan Pak Dimas untuk-"

"Sst…" dia menempelkan telunjuknya di depan bibir tipisnya, dan menelpon seeorang dengan ponsel canggih terbarunya.

Aku diam sejenak.

Menunggunya bicara lewat ponsel.

Tak lama, Pak Dimas, Presiden Direkturku, kalau bahasa novelnya CEO-ku, datang menghampiri kami.

"Apalagi, Lix? Pagi-pagi udah ribet aja lu!" Omel Pak Dimas sambil menghadapnya.

Lalu mereka berdua mulai berdebat di tengah koridor, aku hanya bisa termangu mendengar mereka bicara. Dua orang eksekutif muda bicara mengenai bisnis bukan pemandangan biasa bagiku. Situasi ini lumayan membuatku insecure sendiri.

Sampai akhirnya Pak Dimas sebagai CEO mengalah dan bilang, "Ya udah, Chintya,"

"Ya Pak?" aku mengangkat wajahku.

"Ajukan ulang proposalnya, tambahkan syarat jaminan di Hang Lekir," kata Pak Dimas. Wajahnya tampak kesal.

Dilain pihak, Pak Felix menyeringai penuh kemenangan.

"Kalau deviden lo nggak penuh karena kepotong NPF, jangan nyalahin gue. Kebanyakan interupsi sih lo ah! Biar aja gue yang atur kenapa sih?!" Ujar Pak Dimas.

"Gue punya kepentingan di kasus ini, udah lo terima nasib aja!" sahut Pak Felix sambil cengengesan.

"Dia Bossnya, walau pun saya Boss di sini tapi dia Boss saya," desis Pak Dimas padaku sambil melambaikan tangan dan berbalik kembali ke ruangan direksi di seberang sana. Arah yang berlawanan dengan ruanganku.

Di perusahaan ini, Presdir memang pemegang keputusan, dan seharusnya Komisaris adalah sebagai pengawas Direksi. Namun tak jarang Pak Felix ikut campur dalam setiap keputusan yang diambil jajaran manajemen. Walau pun saat kerugian terjadi, yang bertanggung jawab penuh tetaplah Direksi.

Bagaimana pun, perusahaan ini, Garnet Bank, didirikan dengan modal dasar dari Pak Dimas dan Pak Felix. Bisa dibilang merekalah owner inti perusahaan.

Jadi, aku yang receh ini hanya bisa Iya-iya aja.

Menjelang siang, aku menghadap Pak Dimas, Presdir kami, dan menyerahkan proposal yang baru kepadanya.

Pak Dimas menyeringai padaku. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. “Masuk saja Chintya,” dia melambaikan tangan padaku.

Aku pun meletakkan proposal di mejanya. “Pak, ini proposal yang baru. Saya sudah hubungi sekretaris nasabah, dan sudah mengajukan negosiasi mengenai penambahan jaminan rumah tinggal di Hang Lekir,”

Tampaknya ia menyadari perubahan wajahku yang tampak merengut ini tidak terlalu setuju dengan metode kerja Pak Komisaris. Tapi sepertinya hal semacam ini sudah biasa terjadi di kalangan pejabat Bank.

“Oke, taruh saja di situ, nanti saya baca,” kata Pak Dimas sambil tersenyum padaku.

Aku sedikit menundukkan kepalaku dan berniat mau keluar dari sana. Tapi aku sempat mendengar Pak Dimas bicara lewat telepon ke seseorang di seberang sana.

“Proposalnya udah sampai nih ke meja gue,” desisnya, “Si Felix itu, hampir seluruh asetnya habis diklaim mantan istrinya. Ia relakan saja semua agar prosesnya lancar. Jadi sekarang dia dalam rangka menambah kembali. Kalau aset yang dilelang Bank kan dapat harganya jadi lebih murah dari harga beli biasa.” Begitu kata Pak Dimas.

Felix Ranggasadono.

Orang ini menakutkan kalau kita ikuti alur pikirannya. Metode bisnisnya tidak biasa. Pantas dia cepat kaya di usianya yang masih 35 tahun.

**

Terpopuler

Comments

another Aquarian

another Aquarian

jebakan batman..
dihh, bahasaku menunjukan usia 🤭🤭🤭

2025-04-04

0

another Aquarian

another Aquarian

pak Felix jadi centil dehhh 😂

2025-04-04

0

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Garnet itu owner aslinya milik septira wihartanti 😒

2024-04-19

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!