Tragedi Pelakor

Yang kulihat pertama kali di ruang meeting adalah Tommy.

Mantan suamiku yang sudah 2 tahun menjalani pernikahan denganku, kami pacaran sejak kuliah, dan sejauh ini perjalanan kami lumayan mulus. Bapakku sempat menjadi wali nikah, sebelum ia meninggal menyusul ibuku sebulan kemudian. Kulihat ia lega karena ketiga anaknya semua sudah berumah tangga.

Maafkan aku Bapak, aku mengecewakanmu. Tapi hal ini bukan salahku.

Aku dibesarkan dengan didikan ibuku yang menjunjung harga diri seorang wanita menjadikan wanita itu semakin berharga. Dan kata ‘dimadu’ tidak ada dalam kamusku, selama jumlah laki-laki di dunia ini masih diatas 3,97 miliar, atau lebih dari 50% jumlah penduduk dunia, dan usia produktif di antaranya adalah 66% (sisanya naak-anak).

Jumlah wanita lebih sedikit dibanding pria, jadi untuk apa kami rela dipoligami? Aku memang tidak menghitung jumlah kaum pelangi dan laki-laki beristri yang termasuk 66% di sana, karena mohon maaf, lebih baik aku hidup mandiri daripada harus berbagi suami. Walau pun pada dasarnya aku tetap mencari pria baik yang memang ditakdirkan untukku.

Bukan, aku bukan kaum feminis. Wanita tidak bisa hidup tanpa laki-laki dan sebaliknya. Kami ditakdirkan saling melengkapi.

Namun berbagi suami bukanlah kegemaranku. Rasanya tidak enak membayangkan kalau tubuh suamiku dipakai untuk memasuki tubuh wanita lain, setelah itu dia berhubungan denganku.

Dan saat aku melihat Tommy, juga melihat ke arah wanita di sampingnya yang juga sedang melihatku dengan tatapan marah. Seketika perasaan mual menerpaku.

Tommy tampak kurus dan capek.

Dan yang membuatku ingin tertawa, kenapa wanita di sebelahnya jadi kusam begitu? Perasaan 3 bulan yang lalu ia cantik dan putih dengan tubuh singset dan dadanya yang besar. Kenapa sekarang badannya menggembung begitu dan kulitnya jadi kehitaman?!

Jadi itu wajahnya yang sebenarnya?

Biar dia tahu rasa, kalau Tommy itu sebenarnya tidak memiliki apa-apa untuk membayar biaya perawatannya. Kan sudah benar dia tetap single saja dari pada merebut suami orang. Paling tidak, dulu dia memiliki penghasilan sendiri untuk dirinya sendiri. Sekarang dia kan jadi harus membiayai pengeluaran si Tommy juga.

Dikiranya kami istri-istri Sah ini tidak memiliki manuver untuk mempertahankan harga diri kami? Kami memang terlihat kalem di depan, tapi di belakang kami ini lumayan tegar.

“Ada masalah apa lagi?” tanyaku sambil duduk di pinggir meja meeting, mengambil posisi dekat dengan pintu masuk. Agar kalau ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi, aku bisa langsung kabur mencari pertolongan.

“Tya, tolong hapus semua pesan yang tadi masuk ke hape kamu,” kata Tommy.

“Sudah dihapus langsung oleh entah siapa. Itu nomor baru kamu?” tanyaku.

“Aku minta maaf kalau-“

“Heh Pe cun!! Mana mobilku hah?! Kau ini nggak tahu diri banget! Sudah untung kamu masih hidup sampai detik ini!” wanita itu maju ingin menyerangku, tapi Tommy mencegahnya.

“Ran! Sudah kubilang biar aku saja yang ngomong!!”

“Kamu terlalu baik terhadap si brengsek ini! Mentang-mentang wanita karier kerja di gedung tinggi, lagaknya udah kayak ratu!! Bisa-bisanya kamu relakan semuanya untuk dia ambil!! Jangan sombong kau ya! Heh congkak kau!! Berani kau main-main denganku hah?! Mas Tommy ini nikah denganmu biar bapakmu tenang matinya! Dia nggak benar-benar cinta kamu!! Buktinya dia beralih padaku!”

Aku menoleh ke arah Mas Tommy.

“Benar begitu mas? Kamu nikah denganku biar bapakku senang?”

“Bukan begitu, Tya-“

“Katanya bukan tuh!” sahutku kembali ke arah si pelakor. Berusaha tetap tenang.

“Kujambak kau ya! Kubakar rambutmu!! Kembalikan uang Mas Tommy! Itu hasil jerih payahnya selama ini! Enak saja kau ambil buat biaya salonmu!!”

“Benar begitu mas? Aku ambil uang kamu?” aku bertanya kembali ke Mas Tommy.

“Tidak begitu-“

”Katanya tidak begitu tuh!” aku kembali ke si pelakor.

“Kau berani bersikap begitu karena ini daerah kekuasan kamu! Teman-temanmu di sini semua!! Kalau berani, sini hadapi aku!! Mainannya pengacara sih! Pengecut banget kau!! Sini adu jotos sama aku!! Kupatahkan tangan cekingmu!!”

“Tadi yang minta ke sini siapa Mas?’ tanyaku ke Mas Tommy.

“Ya Rani, sih,”

“Tuh, kamu yang mau sendiri ke sini, gimana tuh?” tanyaku ke si Pelakor.

“Aarrrgh !! Mana kalung berlianku! Ibu bilang kalau kalung itu kau sita untuk bayar pengacara! Enak saja apa bisa begitu!! Dasar curang!!”

“Mas Tommy, ini kalung berlian yang mana ya?” tanyaku ke Tommy.

“Yah... yang itu,” gumam Tommy malas, “Kamu tahu yang mana,”

“Aku nggak tahu yang mana,”

“Jangan pura-pura kamu,” desis Tommy dengan suara yang dipelankan.

“Aku nggak punya kalung belian, seingatku. Perhiasanku kan xuping semua,”

“Chintya, tolonglah...”

Aku menolak menolongnya, “Jelaskan dengan suara yang tegas dong Mas, aku nggak tahu kalung  berlian yang mana,” sahutku keras. Sengaja biar si Pelakor dengar.

“Kalung berlian yang dari Frank n Co,”gumam Tommy.

“Yang mana sih Mas? Sejak kapan aku punya kalung berlian?! Coba jelasin?”

“Heh!! Nggak usah ke Mas Tommy melulu!! Yang nanya itu aku! Jawab ke sini!!”

“Biar sama-sama jelas ya Mbak, siapa tahu kita diadu-domba selama ini,” sahutku ke si pelakor.

Wanita itu beralih ke Tommy, “Maksudnya apa Mas? ?”

“Kalung berlian yang waktu itu kamu belikan untuk ibu,” kata Mas Tommy.

“Loh, kok tanya padaku. Kan sudah kuberikan untuk Ibu, ya tanya beliau dong,”

Mas Tommy hanya diam.

“Coba telpon ibumu, biar jelas di loudspeaker,” kataku

“Nggak usah. Rani, ayo pergi!” Tommy menarik si pelakor.

“Nggak bisa lah!! Mobilku gimana?? Kamu janjikan itu waktu kita nikah siri!! Mobilnya ditahan si bin al ini!!”

“Saya ke kantor saja pakai transjak, mobil dari mana? Kan atas namanya sudah Mas Tommy, ya mobilnya ada di dia lah. Pengadilan mana pun pasti memutuskan begitu,”

“Mobilnya sama kamu Mas?” tanya pelakor.

Tommy diam saja sambil menatapku tajam.

Kutatap balik. Aku tak takut dengannya. Aku bahkan mendekat ke arahnya, “Salahku apa Mas? Sampai kamu tega membuatku dalam posisi begini? Kuberikan semua untukmu, untuk game online mu, bahkan aku terima saja kau pengangguran. Mobil atas namamu, perhiasan asli untuk ibumu, bayaran kontrakan dari gajiku, bahkan mungkin kau biayai wanita ini dari gajiku yang setiap bulan masuk ke rekeningmu,”

Tommy hanya diam.

Pelakor ini menyimak semuanya.

“Benar itu Mas?” tanyanya.

“Seandainya, Rani, kamu hadir di persidangan, semua sudah dijabarkan di sana. Semua uangku habis untuknya,” desisku. “Slip gajiku valid ditampilkan juga di persidangan. Sebagian besar uang kumasukkan ke rekeningnya. Aku tidak diberi nafkah, bahkan untuk berhias aku memakai gajiku sendiri karena tuntutan pekerjaan. Aku rela puasa setiap hari untuk menjaga agar tubuhku tetap bagus untuknya, saat aku sebenarnya kelaparan,”

“Kamu bekerja juga atas ridho dariku,” desisnya.

“Ya karena kalau aku tidak bekerja kamu yang mati. Orang tuamu yang stress. Hati-hati Kau bawa-bawa sunnah Nabi sebagai pembelaan diri padahal jelas-jelas kamu menyimpang! Ajaran siapa yang kau usung, hah?”

“Kamu kok sekarang jadi kasar gini sih Tya?”

“Heh, Mbak pelakor. Dia itu beralih ke kamu bukan karena aku tidak memberikan kasih sayang, bukan karena aku membosankan, bukan karena aku kurang cantik, bukan karena servisku kurang! Tapi karena memang dia kelainan jiwa, makanya dia tidak cocok sama orang yang waras sepertiku, Cocoknya sama orang yang sama-sama gila sepertimu! Hahahahaha!!”

Kuakui, saat itu aku kurang bisa mengendalikan diri.

Semakin lama bersama mereka, semakin aku merasa muak.

Aku terbakar emosi karena fitnahan bertubi-tubi.

Dan sayangnya, kekasaranku malah berbuat kesialan untukku.

Kulihat di sudut mataku, di pelakor mundur dan mengambil tasnya di atas meja.

Lalu mengeluarkan botol air dari dalam sana. Botol kaca bening bekas minyak tawon khas zaman dulu yang logonya sudah dilepas.

Botol itu tampak familiar di mataku, karena tampak kotor. Instingku langsung bekerja. Sudah pasti botol sekotor itu, bukanlah air mineral yang ada di dalamnya.

Aku lari ke arah pintu keluar di belakangku.

Pak Felix tepat berada di baliknya.

Ia menatapku dengan kaget.

Kami sempat melihat si pelakor melempar isi botol itu ke arahku.

Tapi aku bisa berkelit karena Pak Felix secara reflek menarikku ke arahnya.

Cairan di dalamnya mengenai dinding dan karpet.

Lalu mengeluarkan uap panas.

“AAARRRRGHHH!!” Rani berteriak kesakitan.

Ia melempar cairan itu tanpa sarung tangan dan pelindung apa pun, tetesan air itu mengenai jemarinya.

Ia berteriak kesakitan.

Kami semua diam di sana tidak berani mendekat karena di depan kami cairan itu bereaksi. Menghalangi kami untuk masuk ke ruang meeting.

Aku gemetaran sambil melihat adegan itu.

“Panggil ambulans dan polisi,” desis Pak Felix ke arah operator di dekat kami.

**

Terpopuler

Comments

another Aquarian

another Aquarian

peluk sist Chintya dan sista2 yang lain yang sedang mengalami kesulitan karena laki-laki..

2025-04-04

0

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

sokor

2024-04-19

1

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

Min Yoon-gi💜💜ᴅ͜͡ ๓

wah air keras ini.

2024-04-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!