Lima belas tahun kemudian. Bandar Udara Changi, Singapura.
Seorang pemuda tengah bersiap untuk terbang kembali ke Indonesia setelah usai dengan semua pekerjaannya. Ia kembali, dengan misi sejak masa kecil untuk mencari sahabat dan sekaligus cinta pertamanya. Ia duduk dengan santai dalam penerbangan itu menggunakan kursi Bussines class agar agar membuatnya nyaman selama perjalanan yang ada.
Bebekal sebuah kalung kenangan dari Ina, ia berharap agar mereka berdua dipertemukan secepatnya saat itu.
"Permisi, bisakah saya yang duduk disini?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba datang dan meminta duduk dibagian tempat duduknya saat itu. Rafa menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, bentuknya agak berantakan dengan rambut panjang yang seperti tak disisir sebelum pergi.
"Maaf, jika Anda memang pemilik kursi sebelah saya maka bukankah Anda yang duduk disebelah jendela?" balas Rafa dengan ramahnya.
"Maaf, Tuan. Mas, Kak, atau... Ah, bodo ah! Begini... jadi saya mabuk, makanya saya ngga mau di dekat jendela itu. Kan kalau ada apa-apa, saya juga ngga akan ngerepotin Masnya nanti. Boleh ya, please," mohon gadis itu dengan sangat.
Rafa menoleh kanan dan kiri untuk melihat kondisi saat itu. Benar apa yang dikatakan sang gadis padanya, bahwa jika ia mabuk maka tak akan merepotkan Rafa untuk beberapa kali keluar dari tempatnya. Akhirnya Rafa mengangguk dan ia bergeser dari kursi yang saat itu kesebelah. Tak kalah nyaman, bahkan ia bisa melihat pemandangan awan diluar sana.
Pengumuman keberangkatan telah terdengar, dan mereka memasang sabuk pengaman yang ada di kursi masing-masing, Begitu juga dengan sang gadis yang tampak mulai tegang wajahnya saat ini. Ia beberapa kali menghela napas dengan begitu panjang dan menghembuskannya dengan kasar seperti orang yang baru pertama kali naik pesawat.
"Kamu orang Indonesia?" tanya Rafa berusaha menenangkannya saat itu.
"Yess, Iam from Indonesia. You?" tanyanya menoleh pada Rafa saat itu.
"Ya, saya dari Indonesia dan akan pulang. Tapi_"
"Saya bukan baru sekali naik pesawat ini, tapi berkali-kali itu pula rasanya tetap seperti ini. Makanya saya jarang pulang, apalagi jika tak dipaksa. Saya lebih nyaman disini daripada disana," jawab gadis itu dengan tenangnya. Lebih berusaha tenang sebenarnya, karena Rafa melihat wajah itu mulai pias saat ini.
Gadis itu bermata indah, mengingatkan Rafa pada seseorang yang pernah ia temui.
Pesawat terasa mulai berjalan, dan makin lama makin menukik naik keatas hingga wajah gadis itu semakin tegang saat ini. Ia memegangi dadanya saat itu, entah kenapa langsung mengingatkan Rafa pada Ina ketika ketakutan dalam kesendirian. Dan setelah itu air matanya akan keluar sendiri, menangis meski tanpa suara.
"Hey, kau menangis?" tanya Rafa padanya.
"Maaf, ini refleks dan_" Rafa memberikan tangannya saat itu untuk ia pegang agar tak ketakutan.
Meski awalnya ragu, tapi perlahan gadis itu bergerak dan menggenggam pergelangan Rafa dengan begitu kuatnya. Benar, ia amat ketakutan saat ini dan bukan mabuk seperti yang ia katakana. Pasti jika ada didekat jendela, ia akan lebih parah dari ini.
Genggaman tangan itu begitu kuat hingga tangan Rafa memerah dibuatnya. Dan hingga beberapa waktu kemudian genggaman tangan gadis itu mulai melemah dan membuat Rafa bernapas dengan lega. Apalagi ketika melihat sang gadis mulai normal saat ini.
Perjalanan juga tak begitu lama, hanya satu setengah jam hingga pesawat kembali turun ke landasan Bandara Soekarno Hatta. Dan saat itu, tangan gadis manis itu masih menggenggam tangan Rafa dengan begitu eratnya.
"Nona?" panggil Rafa agar gadis itu melepasakan tangan segera. Pasalnya ia juga harus buru-buru untuk menuju kost dan kembali bekerja seperti biasa meski sudah beda negara.
"Ah, maaf." Gadis itu langsung benar-benar melepas tangannya dengan segera dan bahkan berterimakasih pada pria itu. Ia bahkan seolah berhutang nyawa padanya.
Rafa hanya datar, menganggukkan kepala dan langsung menurunkan kopernya saat itu juga. Ia bahkan tak menjawab apapun pada gadis itu dan segera pergi meninggalkannya.
"Ih... Kenapa dia dingin sekali?" gumam gadis itu. Tapi ia mengakui jika pria itu tampan, dan bahkan ia baru sadar jika ia belum memperkenalkan diri dan bahkan belum tahu namanya saat itu.
"Eh... Aku kek orang bego. Masss, tunggu! Kita belum kenalan!" Gadis itu langsung meraih tasnya dan berlari berusaha mengejar sang pemuda tampan sekuat tenaga. Seakan rasa yang baru saja ada itu seketika menghilang terganti oleh segala rasa penasaran yang ada dihatinta.
Gadis itu terus berlari dan berlari mencari pria dengan jaket abu-bercelana joger hitam, namun langkah pria itu terlalu panjang hingga meninggalkannya amat jauh begitu saja.
"Kan... Gagal lagi!" geramnya menghentakkan kaki ke lantai sekuat tenaga, dan ia merutuki nasibnya sendiri saat itu.
"Apa yang gagal? Kau tahu, aku sudah menunggumu sejak tadi." Suara pria dengan begitu datar mendadak terdengar dan ada dibelakangnya saat itu. Ia menoleh, tak kaget meski ia tak percaya bisa secepat itu ditemukan oleh kakaknya.
"Elina Panduwijaya. Kau tak akan bisa lari lagi dari kakak sekarang. Kau harus pulang dan menemui ayah di rumah."
Elina hanya bisa menghembuskan napas kasar dan membuangnya keatas saat itu juga dengan begitu pasrah. Dan benar-benar pasrah ketika kopernya langsung dibawa oleh sang kakak berjalan menuju mobil yang ada diluar sana.
" Akhirnya setelah sekian lama kau menurut untuk pulang."
"Lagian mau ngapai Ina pulang? Mama udah ngga ada, dan kalian sibuk dengan pekerjaan masing-masing." Elina membalas ucapan sang kakak dengan segala isi hatinya yang selama ini ia pendam begitu dalam.
Memang seperti itu. Sejak mamanya tercinta meninggal, seolah tak ada yang menyatukan mereka berempat setelahnya. Ayah mereka sibuk, kedua kakak yang bernama Zaky dan Rayhan itu juga sibuk dengan bisnis keluarga mereka yang tengah berkembang dengan pesat.
Dan sebagai seorang anak perempuan, Elina tak diperbolehkan melangkah atau menyentuh sama sekali bisnis keluarga mereka. Ia memang diperlakukan seperti ratu, semua ada dan apa yang ia mau akan mereka turuti. Namun, hidupnya sepi dalam sangkar emas itu.
"Kak Zack mana?" tanya Ina yang masuk ke dalam mobilnya.
"Ia tengah di luar kota. Di rumah ada ayah, yang saat ini tengah menunggu dan merindukanmu.".
"Beneran? Nanti katanya menunggu, taunya pergi lagi ketika Ina sudah begitu berharap pelukan darinya." Ina memang menjawab semua dengan lugas tanpa sungkan, hingga Rayhan yang sudah siap menyetir lantas mematikan kembali mesin mobilnya saat itu juga.
"Mau peluk kakak dulu ngga?" tawarnya dengan merentangkan kedua tangan pada sang adik.
Itu yang Ina tunggu sejak tadi. Kenapa harus disindir hanya untuk sebuah pelukan hangat sebagai sambutannya? Padahal mereka sudah lama tak bertemu selama ini.
"Kak Ray!" Ina langsung menangis dan membalas pelukan sang kakak saat itu juga. Sangking terharu, seolah tak ingin sama sekali melepasnya dengan cepat saat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Sarah Kareem
Rafa seperti mafia.. dingin, cuek tp care 😁
2023-05-30
0
Pujiastuti
pasti ini Elina temanya Rafa waktu dipanti kenapa tadi ngak. kenalan dulu Elina, Rafa kamu udah ketemu sama teman kecilmu tapi ngak kenal karena udah 15 tahun ngak ketemu
2023-05-30
0
Sry Rahayu
jangan2 gadis ini yg dicari rafa
2023-05-30
0