Sekali tidak tetap tidak

Happy reading..

Di antara rintik hujan dan sambaran kilat petir bersahutan dengan suara guntur di langit. Gadis dengan wajah sayunya itu, tetap melajukan motor matic putih nya di atas jalanan aspal. Rasa panik dan cemas mendominasi hati nya, saat ini. Pikirannya hanya tertuju pada sang Ibu yang sudah beberapa minggu di rawat di rumah sakit Premier Hospital.

Semenjak perceraian kedua orang tuanya, dan juga Ayah Gendhis tidak pernah memberikan nafkah pada anak-anaknya. Gendhis lah yang harus memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Juga harus membiayai perawatan Ibunya.

Setelah mendapatkan kabar dari Dokter Darius dari telepon selular nya, Gendhis langsung beranjak meninggalkan tempat kerjanya. Dia tidak menunggu hujan gerimis yang turun mengguyur bumi di sekitarnya. Gendhis tetap nekat menerobos nya.

"Kenapa hujan turun di saat yang tidak tepat? Selalu saja ada halangan, ketika aku harus segera datang di rumah sakit" gerutu Gendhis. "Tapi, hujan juga membawa rezeki untuk orang yang lagi menunggunya. Ya, kenapa aku jadi menyalahkan hujan. Itu kan karena keteledoran aku saja yang tak menyiapkan jas hujan di jok motor," Gendhis berbicara sendiri, dan tetap fokus pada jalanan.

Sudah hampir 15 menit perjalanan Gendhis, akhirnya dia sampai juga di pelataran parkir Premier Hospital.

Dengan tubuh basah dan kedinginan, Gendhis berjalan memasuki area rumah sakit. Bibirnya gemetar dan mulai membiru, dia mengayunkan langkahnya dengan cepat menelusuri koridor menuju ruang perawatan Ibunya.

Tanpa harus menuju meja informasi terlebih dahulu, Gendhis sudah hafal betul letak kamar perawatan Ibunya. Hampir satu bulan lebih, dia harus bolak balik ke rumah sakit itu untuk menemui sang Ibu yang sedang di rawat.

Di dalam ruangan yang bercat putih, selang infus menancap di punggung tangan wanita berusia senja, dengan mata yang terpejam rapat. Alat bantu pernapasan pun tak lepas sejak wanita itu masuk ke dalam sana.

Nampak di wajah Gendhis yang sangat kelelahan, dia belum tidur selepas waktu kerjanya.

Ia menatap Pria yang berdiri di depannya dengan tatapan tak terbaca. "Jika operasi ini jalan untuk Ibuku bisa sembuh. Aku harap, Dokter Darius bisa melakukan apa pun yang terbaik untuk Ibu. Aku tidak ingin melihat Ibu merasakan sakit seperti ini secara terus menerus. Aku tidak akan membiarkan tubuh Ibu digerogoti penyakit itu di masa tuanya. Berapa pun biayanya, aku akan berusaha membayarnya," Gendhis menghela napas panjang.

"Sabar, Naya. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Aku akan melakukan apa yang bisa kulakukan untuk kesembuhan Ibumu.

"Tolong aku, Dokter Darius. Aku mohon lakukan yang terbaik buat Ibu," air mata Gendhis luruh juga, dia tidak bisa menahannya.

"Sekarang tanda tangani dulu dokumen ini. Agar aku dapat segera melakukan operasi pada Ibumu," Dokter Darius menyodorkan map merah pada Gendhis.

Tanpa pikir panjang Gendhis langsung membubuhkan tanda tangan di kertas yang telah tercetak di dalam map merah yang disodorkan Dokter Darius padanya. Gendhis tidak lagi memikirkan bagaimana caranya dia mendapatkan uang sebanyak itu, dalam semalam. Yang dia pikirkan hanyalah kesembuhan Ibunya.

"Hanya dalam waktu semalam, aku harus bisa mencari uang sebanyak itu," Gendhis menghela nafasnya dalam, seraya memijit keningnya yang mulai pening. "Apa aku harus menempuh jalan itu? Apa ada orang yang mau membeli kegadisanku dengan harga segitu?" Gendhis bermonolog sendiri.

Gendhis nampak bingung dengan jalan yang harus dia pilih. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi penunggu pasien dengan berlinang air mata dan kesedihan mendalam.

Sudah lama Ibunya, sakit gagal ginjal dan perlu pengobatan yang tidak murah. Dokter Darius mengatakan pada Gendhis waktu itu, Ibunya harus segera dioperasi pencangkokan ginjal.

Sedangkan dirinya hanya tinggal berdua bersama Ibunya, semenjak perceraian kedua orang tuanya. Adik laki-laki kembarannya ditinggal bersama Ayahnya.

Sepintas Gendhis teringat nasehat Ibunya. Bekerjalah dengan cara yang halal, meskipun harus dengan bekerja keras sekalipun. Jangan sampai menjual diri, menjadi wanita murahan. Apalagi menjadi perusak rumah tangga orang. Kita boleh miskin, tapi harkat dan martabat harus selalu dijunjung tinggi. Harga diri itu harga mati yang harus dipertahankan sampai kapan pun. Tapi, saat ini Gendhis tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya memikirkan bagaimana harus mendapatkan uang dalam jumlah banyak hanya dengan waktu semalam. Ya, hanya semalam. Karena hanya itu kesempatan yang diberikan padanya oleh Dokter Darius, sesuai aturan yang tertulis di Premier Hospital, dimana Ibu Gendhis mendapatkan perawatan.

-

-

-

"Apa?" pekik Andini dengan bibir yang terbuka sempurna, setelah mendengar ucapan Gendhis, sahabatnya.

"Iya, Andini. Aku serius!" Gendhis menatap lurus ke arah Andini.

"Selama ini, aku hanya bercanda Ndhis. Bukan untuk mengajakmu sungguhan. Biarkan aku saja yang terjerumus menjadi wanita penghibur, tidak dengan kamu!" tolak Andini dengan atas permintaan sahabatnya itu.

"Tolong aku, Din! Hanya jalan itu yang bisa mendapatkan uang banyak dalam semalam," Gendhis mengiba pada Andini.

Kali ini Gendhis benar-benar tidak tau harus menempuh jalan mana lagi. Otaknya buntu seketika, melihat kondisi Ibunya yang sedang tidak baik-baik saja, bahkan bisa dibilang sudah diambang kematian.

"Ayo, Andini. Antar aku ke madam Grace. Hanya dia yang bisa bantu aku untuk mendapatkan solusinya," Gendhis terus merengek pada Andini.

"Sekali tidak tetap tidak!" tolak Andini kekeh.

"Mumpung malam ini ada pesta konglomerat di lantai VVIP, Andini," Gendhis menarik tangan Andini kuat.

Andini langsung mendekap dan memeluk tubuh ringkih Gendhis yang semakin kedinginan.

"Ibu, Andini!" pekik Gendhis dengan isak tangisan yang mulai turun dari kedua matanya.

"Aku tahu, Ndhis. Tapi aku tak ingin kamu---," Andini menjeda ucapannya.

"Aku butuh uang itu, Andini. Demi keselamatan Ibuku! Aku hanya punya Ibu, Andini," isakan Gendhis semakin menyayat hati Andini.

Tubuh dingin Gendhis semakin lemas, kakinya terasa tak memiliki tenaga lagi. Rasanya tulang penyanggahnya telah lepas.

"Tolong aku, demi kesembuhan dan pengobatan Ibu. Aku mohon, Andini!" suara Gendhis semakin melemah.

Brughh..

Gendhis menjatuhkan tubuhnya di atas lantai. Pikirannya semakin kacau. Waktunya tidak lama lagi, hanya tinggal beberapa jam saja.

Andini mengangkat wajah basah serta pucat milik Gendhis, kembali dia memeluk erat tubuh sahabatnya itu, yang melebihi dari saudara. Gendhis tidak pernah memandang rendah apalagi mencemooh nya. Dia selalu menemani Andini di saat terpuruk dan dikucilkan oleh keluarga besar Bapaknya. Hanya Gendhis dan Rico yang masih mau berteman dengan nya.

"Aku akan bantu, Ndhis. Tapi janji, hanya sekali saja dalam hidupmu. Jangan sampai kau terlena dengan kesenangan sesaat untuk mendapatkan uang dengan jalan itu," Andini berpesan pada Gendhis.

Hanya anggukkan yang diberikan Gendhis sebagai jawabannya. Bibirnya keluh tak bisa berkata-kata.

Andini menyeka air mata yang tersisa di pipi Gendhis. Begitu juga Gendhis melakukan hal yang sama.

"Terimakasih, Andini. Kau telah menyelamatkan hidupku," lirih Gendhis di rungu Andini.

💖💖💖💖

Terpopuler

Comments

sisi¹⁹💞

sisi¹⁹💞

Hujan itu air turun dari langit 😁😁

2023-06-25

3

𝐙⃝🦜しÏA ιиɑ͜͡✦ᵉ𝆯⃟🚀ʰⁱᵃᵗᵘˢ

𝐙⃝🦜しÏA ιиɑ͜͡✦ᵉ𝆯⃟🚀ʰⁱᵃᵗᵘˢ

Akhir nya jalan sesat itu akan di tempuh Gendhis demi nyawa ibunya...nyesek bgt baca ab ini thor...

2023-06-01

7

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ𝐙⃝🦜

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ𝐙⃝🦜

apakah tidak ada jalan keluar lagi kah???🤧🤧🤧

2023-05-31

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!