4

Langkah kaki Nisa yang tadinya setengah berlari hendak keluar Rumah otomatis terhenti di depan pintu ketika matanya menangkap sosok tegap yang tengah berdiri di halaman depan sambil menyiram berbagai macam bunga di dalam pot. Gadis itu menghela napas. Lagi-lagi Abinya seperti itu.

Abinya selalu seperti itu jika dia sedang merindukan Ummi. Sebenarnya itu hanyalah salah satu dari begitu banyaknya hal yang Abi lakukan ketika merindukan Umminya. Ummi suka sekali dengan bunga, tanpa terkecuali. Semua jenis bunga. Nisa ingat, ada saat dimana halaman Rumahnya dikelilingi oleh begitu banyak bunga. Beberapa orang yang melewati Rumahnya mungkin akan salah mengira Rumahnya adalah Toko Bunga atau bahkan Taman Bunga. Dan saat ini, entah sudah keberapa kali Abi membeli bunga dan menyiramnya di pagi hari. Tepat seperti yang selalu dilakukan Ummi dulu. Iya, dulu. Karena kini Ummi tak lagi berada disampingnya.

Lima tahun sudah berlalu, Umminya meninggalkan dirinya dan Abi. Meninggalkan kehampaan yang begitu luar biasa. Nisa tak pernah mengira, bahwa penyakit menengitis yang diderita Umminya menjadi penyebab utama sosok yang begitu ia cintai itu meninggalkan dirinya dan sang Abi. Penyakit yang selama empat tahun Umminya simpan sendiri. 2 bulan menjelang detik-detik kepergiannya, Nisa dan Abi baru mengetahuinya.

Nisa tidak akan pernah bisa melupakan Ummi. Meski jika ditanya, apakah dirinya ikhlas, ia akan menjawab ya. Namun separuh dari hatinya masih belum rela. Terlalu banyak kesedihan. Terlalu banyak penyesalan. Masih banyak yang belum Nisa berikan kepada Umminya. Ia bahkan belum sepenuhnya mempersembahkan jiwa baktinya. Kepergian sang Ummi adalah pukulan telak bagi keluarganya.

Nisa tak pernah lupa bagaimana wajah Umminya yang begitu cantik, perangai yang penyabar, dan selalu memanjakan dirinya. Baginya, sosok sang Ummi adalah wujud malaikat tanpa sayap yang pernah ia temui. Ia ingat dengan film yang pernah ia tonton, ada satu peristiwa yang selalu mengingatkannya dengan almarhummah Ummi. Kejadian itu berlangsung di dalam kelas di sebuah Universitas, dimana seorang Dosen yang saat itu tengah mengajar kepada Mahasiswanya.

Dia bertanya, “What is the beatiful word in English?” Mahasiswanya menjawab macam-macam: love, rainbow, rain, heart, dan sebagaiannya.

Sang Dosen hanya menggeleng pelan sambil mengambil kapur untuk menulis di papan bor, satu kata, yang juga sambil ia ucapkan, “Mother.”

Jadi bagaimana dirinya bisa melupakan Ummi.

Ia kadang masih belum bisa menerima, mengapa Umminya dipanggil terlalu cepat. Bukan maksud menyalahkan takdir, hanya saja ia masih sangat membutuhkan sosok Al- madrasatul’ula untuk dirinya.

“Bi…” Panggilnya pelan ketika melihat mata Abinya yang mulai berkaca-kaca.

Abi menoleh padanya dan tersenyum hangat. Senyuman yang selalu membuatnya tenang dalam keadaan apapun. Senyuman yang dulunya bukan hanya selalu ditujukan pada dirinya. Tetapi juga pada Ummi. Pada istri yang paling dia cintai.

Abi menyimpan selang di tangannya ke tanah dan berjalan menghampiri Nisa. Lelaki yang kini rambutnya sudah mulai terlihat memutih itu mencium kening putri semata wayangnya sekilas.

“Udah siap, Nduk? Mau Abi antar?”

Nisa tertawa samar, “Abi, ih. Nisa udah kuliah semester tua juga. Sudah punya SIM, KTP, masa masih dianterin juga.”

Abi tersenyum. Nisa menyukai jenis senyuman itu. Selalu.

“Loh emangnya kenapa? Abi aja dulu udah kuliah masih sering dianterin Eyang Kakung.” Ucapnya.

Nisa kembali tertawa, “Zaman udah beda, Bi. Kalo anak sekarang masih dianterin orang tuanya ke Kampus, bakalan dikatain manja.”

Abi mengelus-elus kepala Nisa dengan penuh rasa sayang, “Iya deh, anak Abi yang sudah dewasa. Yang udah bisa ngapa-ngapain sendiri. Abi jadi sedih. Berasa udah nggak dibutuhin.”

Nisa merajuk, menggeliat manja dipelukan Abinya. “Abi jangan bilang gitu, Nisa ndak suka. Nisa akan selalu membutuhkan Abi. Kapanpun, dimanapun.”

Kini Abi yang gantian tertawa, “Anak Abi kebiasaan, dari dulu baperan.” Ia mencubit hidung Nisa pelan.

“Abi kok tahu bahasa gaul?” Nisa melongo heran.

“Emang cuma anak zaman sekarang yang bisa bahasa gaul. Bapak-bapak ini juga bisa.”

Nisa terkikik. “Udah ah, Nisa udah hampir telat. Berangkat dulu ya, Bi.” Gadis itu menyalami sang Abi lalu mencium pipinya sekilas, yang hanya direspon gelengan kepala oleh Abinya.

Nisa begitu menyayangi Abinya. Semenjak Umminya tiada, yang mengambil alih seluruh tugas Ummi adalah Abi. Sosok yang kini sudah merangkap sebagai ayah dan ibu itu begitu berarti dalam hidup Nisa. Bila Ummi sudah tiada, maka hajat bakti di dunia sepenuhnya ia peruntukan untuk Abi. Hanya itu yang bisa ia beri. Meskipun ia tahu, hal itu tidak bisa membalas sedikit pun apa yang telah Abinya berikan.

\*

Suara dering handphone yang sejak tadi bergetar nyaring tak sekalipun membangunkan pemiliknya. Waktu sudah menunjukkan pukul 08:50. Namun, laki-laki yang masih tertidur pulas itu tak sedikit pun terganggu dengan bias cahaya matahari yang memasuki celah jendela.

“Ya ampun, kebo banget sih ini anak. Bangun woy, pagi-pagi tidur rejeki dipatok ayam.”

Vika menggoyang-goyangkan badan Samuel yang tak direspon apapun. Laki-laki itu tidak terganggu sama sekali. Ia justru memperbaiki posisi tidurnya dan menarik sarung yang melorot.

“Lo nggak niat kuliah lagi hari ini?” Gadis itu masih berusaha menyadarkan rekannya. Ia sempat melirik nama pemanggil dilayar hp yang berdering di samping Samuel. Mama. Ia baru saja hendak mengambil benda berbentuk pipih tersebut, namun sebuah suara menginterupsinya.

“Yaelah percuma, Vik. Kita-kita udah bangunin sejak subuh. Tapi emang pada dasarnya kebo, mana mau dia bangun kalo belum waktunya. Lo tunggu aja, 10 menit lagi dia bakalan bangun sendiri. Kayak kagak tau si Sam aja.” Ucap Fathur. Si ketua BEM itu rasa-rasanya sudah hafal dengan kebiasaan partner kerjanya tersebut.

Sudah bukan rahasia umum lagi, jika seorang Samuel memiliki kebiasaan bangun diatas jam 8. Laki-laki itu menjadikan Sekretariat BEM seperti Rumahnya sendiri. Ia lebih memilih menghabiskan waktu sepenuhnya di tempat kerjanya tersebut dibanding di Rumahnya sendiri. Laki-laki itu paling tidak bisa berdiam diri di Rumah lebih dari 24 jam. Baginya, berada diluar rumah adalah eksplorasi yang paling menyenangkan. Berkawan dengan pengalaman, akan menambah kemampuannya dalam berbagai bidang.

Namun sayangnya, pemikiran hebatnya itu tak dibarengi dengan pemikiran realistis.

Dimana perkuliahan juga merupakan kegiatan penting yang akan sangat berpengaruh dengan masa depan. Laki-laki itu begitu peduli dengan ideologi yang menomorsatukan keadilan. Idealisme dalam perjuangan. Pekerja keras dalam jabatan yang ia emban. Tapi sayang, pendidikan formal ia abaikan.

Sebenarnya Samuel bukanlah sosok preman berandal yang bersembunyi dibalik topeng kepemimpinan Wakil Ketua BEM. Hanya saja dibeberapa kesempatan, laki-laki itu tampak anomali memandang kehidupan. Perkuliahan bukanlah satu-satunya penunjang kesenjangan masa depan. Itu adalah motto yang selalu ia gembar-gemborkan kala ada yang mengingatkan untuk lebih memperhatikan pendidikannya. Rekan-rekan terdekatnya, bahkan beberapa petinggi kampus beserta Dosen-Dosen juga sudah banyak yang mengingatkan.

Namun, bukan Samuel namanya jika tidak keras kepala. Watak ngeyel sepertinya sudah mendarah daging dalam dirinya. Ia hanya yakin dengan apa yang dianggapnya benar. Tak peduli sehebat apa orang yang memberikannya masukan.

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Jangan lupa untuk dukung author dengan cara berikan like dan komentar yang manis yah readers.. 💗💗

Terpopuler

Comments

Nasya Lau

Nasya Lau

kalo Nisa yang memberikan pendapat 🤔

2021-12-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!