KP 2 - Sepi Menyapa

Seminggu berlalu, hari ini Ayline dan Oswald kembali dari bulan madu. Sebuah kejutan telah disiapkan Oswald untuk istrinya. Wanita berusia 25 tahun yang sudah mencuri hatinya sejak pandangan pertama.

“Mas, ini kok mata aku ditutup gini sih?!”

Dengan memeluk Ayline dari belakang, Oswald menuntun Ayline mendekat ke sebuah pintu rumah mewah yang sudah terbuka lebar. “Kamu siap? Satu … dua … tiga … surprise!” seru Oswald saat ia akhirnya melepaskan penutup mata yang menghalangi pandangan Ayline.

“Mas, ki-kita di mana?” Ayline sungguh bingung. Di hadapannya kini berjejer banyak pelayan yang sedang bertepuk tangan menyambutnya.

Oswald sudah menutup matanya sejak mereka tiba di bandara. Sejak saat itu ia pasrah saja ke mana suaminya akan membawanya. Ia pikir, jika bukan ke rumah orang tuanya, Oswald akan membawanya ke kediaman keluarga Pallas yang tak ubahnya bagai sebuah istana.

Rupanya dugaan Ayline salah. Oswald membawanya ke sebuah rumah yang tak kalah mewahnya. “Mas, mungkinkah ini rumah kita?”

“Ya, Sayang. Bukannya ini yang kamu mau?” Oswald mengecup kening Ayline.

Rasanya sulit sekali bagi Ayline untuk tak menangis. Ia merasa terharu dengan apa yang dilakukan suaminya. Sebelum menikah, Ayline ingat jika impiannya adalah memiliki istana sendiri untuk rumah tangganya. Pernah sekali ia menyinggung hal itu pada Oswald. Namun, karena saat itu Oswald tak terlalu menanggapi, Ayline memutuskan untuk tak membahasnya lebih lanjut. Ia paham, posisi Oswald yang anak tunggal, mungkin saja menjadi alasan mereka akan sulit punya rumah sendiri.

Rupanya, pemikirannya saat itu salah besar. Oswald merekam setiap kata yang terucap dari bibir wanita yang akan menjadi ratunya. Lalu ia berusaha mewujudkannya.

“Kini, kamu akan benar-benar menjadi ratu di istana kita, Sayang,” ucap Oswald seraya memberi kecupan di kening lalu turun ke bibir Ayline.

Malam itu setelah melewati sesi perkenalan dengan para pelayan, Oswald dan Ayline bergegas untuk istirahat. Sebelum terlelap, tentunya pasangan yang sedang mabuk asmara itu tak akan melewatkan percinta*n penuh gairah seperti malam-malam sebelumnya.

...…...

Karena kelelahan keesokan paginya Ayline bangun lebih lama dari biasanya. Jika saat bulan madu, wajah tampan suaminya yang akan menyambutnya pertama kali. Berbeda dengan pagi ini, yang menyambutnya adalah keheningan, sunyi, dan senyap. Tak ada sosok suami tampan yang semalam tidur sambil mendekap tubuhnya.

“Mas.” Ayline memanggil-manggil suaminya.

Terkadang ia bungkam beberapa detik untuk menajamkan pendengarannya. Ia berharap ada gemericik bunyi air yang mengalir dari shower kamar mandi, yang berarti suaminya mungkin ada di dalam sana.

Sayangnya hening tetap terasa. Tak ada suara sama sekali di kamar yang luas itu. Yang bisa ia dengar hanyalah bunyi embusan napasnya.

Ke mana Mas Oswald?

Kenapa dia tidak membangunkan aku?

Sejak kapan dia pergi?

Segala pertanyaan dalam benaknya, terjawab setelah getaran ponsel di atas nakas mengejutkannya. Nama suaminya tertera di layar dengan latar belakang foto keduanya yang saling berciuman mesra.

“Halo, Mas!” seru Ayline ketika menjawab panggilan telepon dari Oswald.

“Sayang, kamu sudah bangun?”

“Hem, aku bangun dan kamu enggak ada,” keluh Ayline.

Mendengar suara manja Ayline saja, Oswald sudah membayangkan bagaimana menggemaskannya wajah istrinya sekarang. Dalam bayangannya, istrinya itu pasti sedang mencebik. Bibirnya akan mengerucut membuat Oswald tak tahan untuk tidak mengecupnya.

Ah! membayangkan hal itu, Oswald menggerutu dalam hati. Seandainya tak ada pertemuan si*lan pagi ini, mungkin aku masih bergelung di bawah selimut bersama Ayline. Mungkin kami akan melewatkan sarapan lagi pagi ini.

Oswald terkekeh membuat wanita yang sedang merajuk di seberang telepon memekik. “Mas! Kok malah ngetawain sih?! Ngambek nih aku,” ucap Ayline masih dengan mode manjanya.

“Maafin aku ya, Sayang. Pagi ini aku ada pertemuan penting dengan klien. Sudah lama kutunda karena pernikahan kita,” jelas Oswald.

“Kenapa tak bangunkan aku?” Kali ini suasana hati Ayline berubah menjadi menyesal. Ah, dia merasa tak berguna sebagai seorang istri.

“Kamu tidur sangat pulas, Sayang. Aku mana tega bangunin kamu.”

“Lain kali, kamu tetap harus bangunin aku,” pinta Ayline.

“Aku ingin merasakan jadi istri kamu. Bangun pagi, siapin pakaian dan semua keperluan kamu, sarapan kamu, juga mengantar kamu saat berangkat bekerja,” jelas Ayline panjang lebar.

“Ssst … Sayang, dengerin aku. Tanpa melakukan itu semua kamu tetap istri aku. Kamu cukup cintai aku, patuh padaku, urusan yang lain biarkan pelayan yang mengerjakannya. Aku menikahimu bukan untuk melakukan itu semua, Sayang.”

“Ingat Sayang, di rumah itu kamu adalah ratunya!” tegas Oswald.

Penjelasan Oswald membuat Ayline tertegun. Entah dia harus bahagia atau bagaimana, dia bingung harus merespon suaminya seperti apa.

“Baiklah, aku akan coba mengerti dan ikuti semua ucapanmu,” jawab Ayline pada akhirnya. Kalimat ‘patuh padaku’ menjadi kalimat yang digaris bawahi oleh Ayline. Dia akan mengingat itu.

“Bangunlah, mandi, lalu sarapan. Maaf jika kamu harus sarapan sendiri pagi ini. Aku usahakan kembali lebih awal, dan kita akan makan malam bersama,” ucap Oswald.

“Baik, Mas. Aku akan menunggumu,” jawab Ayline singkat.

“Aku mencintaimu, Istriku. Katakan jika kamu juga mencintaiku.”

“Ya, Mas. Aku juga mencintaimu,” dan sambungan panggilan telepon pun terputus.

...…...

Hari belum juga siang, namun Ayline sudah merasa bosan luar biasa. Dua jam ia habiskan untuk membuka koper tempatnya meletakkan oleh-oleh untuk sanak saudara. Ayah, Ibu, juga kedua mertuanya. Walau hanya sepatu dan tas yang ia bawa sebagai buah tangan, tapi harga barang-barang itu sungguh fantastis.

“Wow!”

“Wow!”

Tak henti-henti Ayline berdecak kagum, melihat deretan angka yang tercetak pada tag barang-barang tersebut. Mungkin ini adalah kali pertamanya memegang barang dengan harga semenakjubkan itu.

Ayline memang tak berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang direktur di perusahaan milik suaminya. Penghasilan Ayahnya sungguh melebihi kebutuhan keluarga dengan anak tunggal seperti keluarganya. Namun, dasarnya Ayline yang tak suka berfoya-foya. Ia menyukai kehidupan sederhana yang hangat dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih, yang selama ini belum pernah ia rasakan. Itu adalah rumah tangga impian Ayline.

Dua jam berikutnya ia habiskan dengan menonton drama dari Negeri Gingseng. Berguling-guling di tempat tidur saat adegan drama membuatnya malu-malu, atau ikut menangis saat adegan drama membuatnya sedih.

Setelah acara menonton drama selesai, sekarang Ayline tak tahu lagi harus berbuat apa. Setiap tiga puluh menit ia mencoba menghubungi suaminya, namun panggilannya tak pernah dijawab. Sekalinya dijawab, Oswald hanya akan bicara tak lebih dari lima detik.

“Kuhubungi lagi nanti. Aku sedang meeting.”

Begitulah jawaban Oswald, dan bodohnya Ayline percaya. Hingga satu jam berlalu, dia masih berbaring di tempat tidur sambil terus menatap ponsel pintarnya.

“Gila! Aku bisa gila jika begini terus,” gerutu Ayline.

“Aku bosan! Bulan madu kemarin, boleh diulang lagi enggak ya?” monolognya.

Ayline melihat-lihat kontak di ponselnya. Dia baru menyadari jika selama ini dia sudah menyia-nyiakan hidupnya. Empat tahun terakhir, dia terlalu sibuk dan berambisi untuk menyelesaikan kuliah sebagai lulusan terbaik. Dia sampai lupa jika dirinya masih makhluk sosial yang butuh orang lain sebagai teman agar dirinya tak kesepian. Selama ini dia terlalu sibuk dengan belajar, belajar, dan belajar. Lalu, baru saja ia mencapai tujuannya, dirinya malah langsung menikah.

Ayline terkekeh, mengingat kehidupannya yang sangat datar. “Apa sekarang saja aku mulai berteman?” gumamnya. “Tapi, dengan siapa?”

Ayline memutar otaknya. Ia berpikir untuk mulai berteman dari orang-orang yang berada di sekitarnya. “Hem, benar juga!” serunya.

“Untuk apa para pelayan sebanyak itu jika tak ada yang bisa jadi temanku. “

Maka dengan dalih perkenalan ulang, Ayline meminta seluruh pelayan untuk makan siang di meja makan bersamanya. Selama makan siang, Ayline terus tersenyum.

Pertama kalinya dia tak merasa kesepian saat makan. Berbeda dengan para pelayan yang merasa sulit untuk menelan makanannya. Bagaimana jika Tuan Oswald tahu kejadian ini, apakah mereka boleh menyalahkan Nyonya Ayline?

...…...

Waktu berlalu sangat lambat. Setelah makan siang usai, sepi kembali menyelimuti Ayline. Ia coba lagi hubungi ponsel suaminya berkali-kali, sayangnya panggilannya masih juga tak dijawab.

Hingga malam menjelang, bulan dan bintang mulai bertakhta di langit. Oswald belum juga pulang. Walau lapar, Ayline menolak untuk makan malam. Awalnya Ayline sudah berencana mengulang perjamuan siang tadi bersama para pelayan. Namun, para pelayan yang dia tanyai mengaku jika mekera sudah makan. Ada juga yang mengaku dalam program diet hingga menghindari makan malam, dan macam-macam alasan lainnya.

“Apa-apaan sih, Mas Oswald! Awas saja ya, kalau pulang aku enggak kasih jatah!” omel Ayline sambil menatap layar ponselnya.

Dalam hatinya Ayline menangis. Baru hari pertama, ia sudah merasa sangat kesepian. Bagaimana dengan selamanya?

...—————————...

Terpopuler

Comments

B⃟cMarwa

B⃟cMarwa

ah emang suami idaman kamu , Oswald 💞

2023-07-29

0

B⃟cMarwa

B⃟cMarwa

ternyata ada rapat dadakan toh 😆

2023-07-29

0

𝑵𝑰𝑻𝑨𝑴𝒀 🦢🍭

𝑵𝑰𝑻𝑨𝑴𝒀 🦢🍭

semoga saja rumah tangga kalian bahagia terus ya, aku kok malah was was ya

2023-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!