Hingga Raihan tiba di meja kedua gadis itu, dia masih mampu mepertahankan keadaannya agar tidak sampai terbawa oleh perasaan.
Keadaan dirinya masih tampak biasa, masih stabil. Sikapnya tidak menunjukkan kekakuan karena canggung atau grogi. Wajah tampannya juga selalu menebarkan senyum yang ramah.
Yang jelas pemuda itu masih dapat mempertahankan pendiriannya dengan bersikap seakan-akan tidak pernah mengenal gadis yang membuatnya terkejut itu, gadis yang pernah membuat hatinya sakit itu.
Dengan tenang dia meletakkan pesanan kedua gadis itu di hadapan mereka masing-masing, baik makanan maupun minuman. Sama sekali gerakan tangannya tidak kaku atau gemetar.
Perlu diketahui bahwa ketika Raihan tiba di meja ini tadi kedua gadis itu tidak terlibat lagi dalam obrolan.
Sementara salah seorang gadis itu yang duduk di sebelah kiri terus menatapnya lekat-lekat sejak tiba tadi. Bukan karena dia mengenal Raihan, melainkan karena terpesona akan ketampanan sang pemuda.
Sedangkan gadis yang duduk di sebelah kanan tampak masih sibuk dengan HP-nya, menulis chat di aplikasi WA-nya saat Raihan menghidangkan pesanan mereka.
Tanpa sekejap pun dia menoleh pada Raihan. Dan pemuda itu juga sama sekali tidak menunjukkan gelagat menarik perhatian si gadis, selain gerakannya selayaknya menghidangkan pesanan.
"Silahkan dinikmati hidangannya!" kata Raihan bernada lembut dengan penuh kesopanan serta senyum ramah mempersilahkan. "Semoga Mbak berdua dapat menikmati malming ini dengan penuh bahagia di kafe kami."
Tarikan suaranya begitu lurus dan bersih, tidak terdengar bergetar atau tercekat sedikitpun. Hal itu dikarenakan dia mampu mengendalikan gejolak perasaannya.
"Makashi, Mas Ganteng," tanggap gadis bergaun hijau muda itu bernada centil sambil memamerkan senyum manis serta daya pesonanya.
"Boleh kenalan nggak?" lanjutnya sambil menyodorkan telapak tangan kanannya dengan gaya centil lemah gemulai.
Sedangkan gadis yang bergaun biru langit seketika mengangkat kepalanya dengan cepat saat mendengar Raihan berbicara.
Bukan terkesan dengan ucapan Raihan yang penuh kesopanan dan kelembutan. Seketika hatinya merasa kalau dia pernah mengenal pemilik model suara seperti itu.
Dan benar saja. Begitu gadis itu menoleh pada Raihan, tidak sampai 5 detik dia telah mengenal pemuda itu. Kejap berikut dia langsung terkejut bukan alang kepalang.
Rasa malu, sedih, bahagia, rindu, berbagai macam perasaan bercampur aduk di dalam hatinya saat ini. Hal itu telah tampak dari binaran matanya yang membulat.
"Mas Rai....," desahnya mendesis amat pelan. Saking pelannya cuma dia sendiri yang mendengarnya.
Sementara Raihan sebenarnya tahu kalau gadis itu sudah menggubrisnya. Namun dia masih berlagak pura-pura tidak tahu dan tidak mengenalnya. Malah dia meladeni ucapan gadis bergaun hijau muda itu.
"Maaf, Mbak, kami dilarang berbicara dengan pelanggan jika bukan menyangkut pesanan atau semisalnya. Mohon pengertiannya!"
"Silahkan dinikmati hidangannya!"
Lalu dia berbalik dengan cukup cepat hendak tinggalkan kedua gadis itu. Namun baru saja badan bidangnya berbalik, kedua gadis itu langsung berseru mencegatnya.
"Tunggu, Mas Rai!"
"Tunggu, Mas Ganteng!"
Raihan memang tidak jadi beranjak dari situ. Bahkan dia segera berbalik kembali menghadap pada kedua gadis itu. Namun sikapnya tetap tenang, tetap berlagak bagai orang yang belum pernah mengenal gadis itu. Senyum ramahnya terus mengembang di wajah tampannya.
Sama sekali dia tidak terkejut apalagi terpengaruh dengan sikap gadis yang tidak lain adalah Melinda yang mengenal dirinya. Atau lebih tepatnya berusaha untuk tidak terkejut dan tidak terpengaruh.
Yang terkejut malah gadis bergaun hijau muda. Dia langsung menatap Melinda dengan sorotan mata tidak percaya. Dia tidak menyangka kalau Melinda mengenal pemuda itu.
★☆★☆
Namun baru saja si gadis hendak bertanya kepada Melinda, keburu Raihan berkata bernada tanya.
"Apa Mbak berdua masih ada pesanan yang lainnya?"
"Lu kenal cowok ganteng ini, Lin?" akhirnya terlepas juga pertanyaan itu dari sepasang bibir merah si gadis.
Melinda bersikap seolah tidak menggubris temannya itu. Perhatiannya kini fokus pada Raihan. Bahkan dia terus menatap pemuda itu tanpa berkedip, seolah takut hilang dari pandangan matanya.
"Kamu nggak kenal aku lagi, Mas Rai?" tanya Melinda bernada heran. Karena melihat sikap Raihan yang seolah tidak mengenalnya.
Sebenarnya Melinda masih merasa malu bercampur takut. Namun melihat sikap Raihan itu, perasaan itu tertindis oleh rasa heran dan penasaran.
"Maaf, mungkin Mbaknya salah orang," kata Raihan masih menjalankan perannya. "Saya tidak pernah bertemu dengan Mbak. Bagaimana bisa kita saling kenal?"
Melinda tidak mungkin salah mengenal orang. Dia amat yakin pemuda tampan di dekatnya ini adalah Raihan yang pernah dia kenal.
Bermodal dengan keyakinan itu Melinda langsung berdiri dengan cepat, lalu melangkah hendak memeluk Raihan.
Sebenarnya dia masih didera rasa malu karena tidak menyangka kembali bertemu dengan Raihan di saat dia tidak siap seperti saat ini. Namun rasa rindu yang telah menggebu mengalahkan rasa malunya itu.
Tapi siapa sangka Raihan bertindak diluar ekspektasi.
Raihan segera mundur ke belakang 1 langkah. Bersamaan kedua telapak tangannya yang terbuka bertindak seakan memalang di depan wajahnya. Jelas sikapnya itu menolak untuk dipeluk.
"Saya harap Mbak berlaku sopan di depan umum seperti ini," kata Raihan seolah menasehati. Sikapnya masih seperti biasa. Pula tetap menebar senyum penuh keramahan.
"Kamu udah nggak kenal aku lagi, Mas Rai?" tanya Melinda bernada heran sekaligus penasaran.
"Sepertinya Mbaknya salah orang," kata Raihan masih menjaga perannya dengan sempurna. "Mana mungkin saya yang pemuda miskin ini pernah berkenalan dengan wanita kaya seperti Mbaknya."
Ucapan Raihan barusan jelas membuat Melinda merasa tertampar amat keras. Ucapannya itu mengingatkannya pada momen di saat mereka putus setahun yang lalu. Tepatnya dia yang meminta putus.
Terngiang lagi ucapannya kepada pemuda itu setahun yang lalu yang memintanya agar melupakannya. Karena dia juga akan melupakan pemuda itu selamanya.
Namun nyatanya dia tidak bisa melupakan Raihan, sampai pun saat ini. Rasa cintanya terhadap Raihan benar-benar tulus dan murni, buka rekayasa atau sekedar main-main.
Adapun dia tiba-tiba mengungkit tentang status Raihan di momen saat dia menyatakan putus dulu, dan segala apa yang dia ucapkan waktu itu, sebenarnya hanya alasannya saja agar Raihan benar-benar percaya kalau dia serius ingin putus dengannya.
Dia tidak sanggup lagi mendengar hinaan orang tuanya yang menyoal tentang status Raihan. Ditambah lagi buleknya yang ada di Surabaya selalu menghina Raihan saat dia diantar pulang ke rumah buleknya waktu itu.
Dikarenakan tidak ingin menyakiti hati Raihan, dan di saat pikirannya sedang kalut akibat orang tuanya tidak merestui hubungan mereka, bersamaan dengan itu orang tuanya menjodohkannya dengan pengusaha muda, maka dia memutuskan untuk putus dengan Raihan.
Dengan terpaksa dia mengarang segala alasan agar Raihan percaya kalau dia memang benar-benar ingin putus.
Tapi ucapannya yang menyuruh Raihan agar melupakannya itu serius. Karena dia juga ingin melupakan Raihan. Agar tidak terkenang lagi masa-masa indah bersama pemuda tampan itu.
Namun nyatanya dia tidak berhasil. Dia tidak bisa melupakan Raihan yang begitu baik dan begitu tulus mencintainya. Bahkan dia menyesal mengatakan hal itu.
Nyatanya Raihan yang bisa dan berhasil melupakannya. Sikapnya saat ini begitu sempurna menganggapnya orang asing atau berlagak tidak mengenalnya.
Mengingat perkataannya dulu dan menyaksikan kenyataan yang membuatnya makin perih menelan penyesalan.
Mendengar ucapan Raihan yang sungguh menyakitkan itu, Melinda hendak menanggapi ucapan pemuda itu. Tapi keburu Raihan melanjutkan ucapannya.
"Maaf, Mbak, saya masih banyak tugas. Silahkan dinikmati hidangannya! Permisi!"
Raihan langsung berbalik dengan cepat, lalu meninggalkan tempat itu tanpa perduli kalau misalkan kedua gadis itu mencegatnya lagi.
★☆★☆
Melinda terus saja memandang kepergian Raihan meski tubuh pemuda itu telah hilang. Wajah cantiknya kini telah menerbitkan kesedihan. Tatapan matanya membinarkan kerinduan, namun sekaligus menerbitkan rasa malu.
Tanpa sadar dia kembali terkenang masa-masa indah bersama Raihan.
"Linda...!" panggil gadis bergaun hijau muda seolah menegur Melinda yang masih saja berdiri bagai orang bengong.
Panggilan temannya tidak keras. Akan tetapi tentu saja membuat Melinda terkejut sekaligus membuyarkan lamunannya. Barulah dia menyadari kalau saat ini dia masih berdiri.
Kemudian dia duduk kembali di kursinya dengan perlahan. Tapi pikirannya masih didominasi oleh keberadaan Raihan yang dia tidak sangka-sangka. Gairahnya untuk menikmati makanannya telah hilang.
Sedangkan gadis cantik bergaun hijau muda itu masih saja menatap Melinda dengan penuh keheranan. Berbagai macam pertanyaan berseliweran dalam benaknya saat melihat sahabatnya itu yang dilanda masygul.
"Lu kenal cowok ganteng tadi, Lin?" tanya gadis bergaun hijau muda itu seolah mengulang pertanyaannya tadi yang belum terjawab.
"Ya..., gue kenal, kenal banget," sahut Melinda bernada mendesah.
Perasaannya kini makin terbawa hanyut dalam kesedihan mana kala mengingat kembali masa-masa indah bersama Raihan, pemuda yang sebenarnya belum bisa dia lupakan.
"Lu kok kayak sedih gitu sekarang?" tanya gadis yang sebenarnya bernama Friska bernada heran campur curiga. "Kalian pernah ada hubungan spesial ya?"
"Kami pernah pacaran...," sahut Melinda makin sedih hingga kini sepasang mata indahnya telah berkaca-kaca.
"Berarti mantan lu dong?" kata Friska seolah menebak.
Bukan tanpa dasar Friska menebak demikian. Dia tahu Melinda sekarang tengah berpacaran dengan seorang pengusaha muda.
Sementara barusan Melinda mengaku kalau pelayan kafe ganteng tadi adalah pacarnya dulu. Kalau begitu apalagi namanya kalau bukan mantan?
"Entahlah," desah Melinda meragu, "gue belum bisa nganggap Mas Rai mantan."
"Maksud lu...? Eh cowok tu siapa tadi namanya, Lin?" tanya Friska jelas kepo.
"Mas Raihan," sahut Melinda tanpa mau menutupi.
"Maksud lu belum bisa nganggap Raihan mantan apa?"
"Sampai saat ini gue masih mencintai Mas Rai. Sampai saat ini gue masih nganggap Mas Rai pacar gue. Gimana bisa gue bilang mantan?"
"Terus Miko gimana?" tanya Friska bingung. "Dia pacar lu 'kan?"
"Cowok tu pilihan orang tua gue," aku Melinda dengan ekspresi seperti tidak senang mengingat pria pilihan ortunya itu. "Mau nggak mau gue harus terima."
"Tapi gue liat Miko sayang banget ama lu. Meski ya... lu nggak sayang-sayang banget ama dia kayaknya."
"Gue harus akuin kalau Miko memang cowok yang baik, Fris," ungkap Melinda jujur. "Gue nyadar kalau dia memang cinta banget ama gue."
"Asal lu tau, demi gue bisa ngelupain Mas Rai, gue coba ngebuka hati gue ama pilihan ortu gue itu. Tapi... nyatanya gue nggak bisa, Fris.... Gue belum mampu ngelupain Mas Rai gitu aja...."
"Makin ke sini gue makin bingung deh ama omongan lu," gerutu Friska. "Secara..., selama kita bersahabat lu belum pernah cerita tentang Rai ama gue."
"Sorry, Fris. Gue bukan bermaksud nutupin tentang Mas Rai ama lu," kata Melinda mengaku. "Cuma... gue kepingin ngelupain dia selamanya. Jadi, gue nggak pernah nyinggung-nyinggung tentang dia."
"Eh, tunggu!" kata Friska dengan sontak saat teringat sesuatu. "Beneran cowok yang ngantar pesanan kita adalah cowok lu yang dulu? Apa emang lu salah orang?"
"Gue nggak pernah ngelupain dia," kata Melinda meyakinkan. "Jadi, gue nggak mungkin salah kenal orang."
"Tapi... napa dia kayaknya nggak kenal lu?" tanya Friska heran. "Dan gue ngeliat sikapnya itu nggak dibuat-buat. Fix Rai nggak kenal ama lu...."
"Itu memang salah gue," ungkap Melinda mengaku. "Gue yang nyuruh dia ngelupain gue. Dan kayaknya Mas Rai berhasil."
Saat berkata demikian Melinda makin sedih dibuatnya. Sepasang mata indahnya makin berkaca-kaca. Kalau tidak mengingat tempat ini masih tergolong tempat umum, mungkin dia sudah menangis sedari tadi.
★☆★☆★
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments