"Oi, anak baru."
Sebuah suara berat itu membuat Deon mendongakkan kepalanya untuk melihat seorang laki-laki tersenyum lebar padanya. Di samping laki-laki yang sebelumnya bersuara itu berdiri tiga laki-laki lain yang berekspresi sama.
"Gue Rehan," kata laki-laki yang paling depan, memperkenalkan diri. Wajahnya terlihat sangar dan alisnya di "Welcome, bro."
"Gue Aldo," sambung yang berdiri di samping kanannya. Dia memakai kaca mata, namun rambutnya sangat keren dengan jambul.
"Gue Bima Bieber. Cowok paling kece dan jago nyanyi di sini," tambah laki-laki yang berdiri di samping kanan Rehan. Bima memakai seragam yang kancingnya dibuka semua dan menampakkan kaos hitam polos. "Salam kenal, heuheu."
Deon hanya tersenyum tipis, kemudian secara refleks menoleh pada satu orang untuk menunggunya memperkenalkan diri seperti yang lain. Namun, laki-laki itu menatapnya dengan polos dan bingung.
"Apa?" tanyanya polos, kemudian menatap pada Rehan, Aldo dan Bima secara bergantian. "Apa?"
"Si goblok," umpat Rehan gemas sendiri ingin menjitak kening temannya itu. "Kalau bukan lo yang suka beliin bensin, udah gue sekap lo di gudang belakang."
Aldo langsung cengengesan. "Emang, kadang si Aris itu suka telmi," jelasnya pada Deon.
"Telmi kok teriak telmi," balas Aris tak mau kalah. Laki-laki itu agak pendiam dan terlihat agak bodoh, namun sebenarnya dia adalah peringkat satu di kelas ini.
"Maafin temen-temen gue, ya," kata Rehan tiba-tiba.
"Oh, iya," balas Deon seadanya. Sebenarnya dirinya bingung karena tiba-tiba dikerubungi empat laki-laki yang belum dikenalnya ini.
"Nah, jadi kita ini adalah Fantastik Empat, isinya cowok-cowok ganteng yang langka," jelas Rehan tanpa diminta. "Ya, lo bisa liat. Kita-kita punya muka kece yang nggak mungkin ada yang nggak suka."
"Kita langsung open recruitment waktu liat lo," sambung Aldo dengan cengiran lebar khasnya yang memang membuat wajahnya semakin tampan. "Langsung! Tanpa tes tulis ataupun tes kebugaran!"
"Kayak masuk SMK aja anjir," tukas Aris tak suka.
"Sewot ae lo, bemper Scoopy," balas Aldo tak mau kalah.
"Udah, elah, jangan berlomba-lomba untuk jadi bego," relai Rehan dengan decakan agak keras, menatap tajam pada Aldo dan Aris bergantian. Dua orang itu memang sudah sekali untuk terlihat damai, ia sendiri lelah untuk menjadi temannya selama dua tahun lebih.
Aldo mengela napas kecil. "Iya-iya, gue berhenti."
"Yaudah, cus, kantin!" seru Bima tak sabaran. Langsung menarik Deon untuk dirangkul bahunya ala-ala sahabat dekat, padahal mereka baru bertemu hari ini.
Deon **** senyum, meski terkejut, sepertinya ia akan cepat menyesuaikan.
Bima membawanya pada sebuah tempat ramai yang berisik dan berbau campuran makanan asing di hidungnya. Entah apa semua ini, namun otaknya mengatakan bahwa tempat ini adalah kantin, tempat di mana orang-orang berjualan untuk dibeli oleh siswa-siswi yang merasa lapar di waktu istirahat.
Ada banyak penjual dalam gerobak khususnya yang amat membuat Deon terpesona. Ia tak percaya akan ada yang seperti ini di dunia ini.
"Oh, kita beli batagor, ayo," ajak Rehan ketika matanya melihat seseorang yang duduk di kursi depan gerobak batagor.
"Oke," balas Bima menurut. Langsung membawa langkah Deon menuju batagor Mang Jajat yang sudah tak diragukan lagi rasanya.
"Mang, beli lima porsi," kata Bima pada bapak penjual batagor kenalannya itu untuk setelahnya mereka duduk di kursi yang disediakan tepat di depan gerobak pedagang itu.
"Eh, ada Thalita," sapa Rehan pada Thalita yang duduk di sebelahnya. Ah, sebenarnya Thalita yang lebih dulu duduk di sana dan Rehan duduk di sebelahnya.
"Apasih," balas Thalita jutek. Perempuan itu sebenarnya kesal karena selalu diusili oleh Rehan, namun dirinya memilih tetap duduk dan memakan batagornya dengan serius.
"Udah temenan lagi, nih, sama anak baru," kata Key yang ada di sebelah lain Thalita, menatap Deon yang agak kebingungan di seberangnya. Ketika Deon melihatnya, Key tersenyum. "Hai, gue Keyra, tapi panggil aja Key."
Deon hanya tersenyum seulas. Menerima kesan ramah seadanya.
"Kita sekarang tambah member," kata Bima memberitahu. "Jadi lima pangeran."
Key menutup mulutnya, menahan tawa. Ia melihat Aldo, Aris, Bima, Rehan dan Deon bergantian. "Pangeran dari Hongkong," ledeknya agak jijik. Namun, Key tersenyum begitu melihat Deon. "Kecuali Deon, ehe."
"Najis," tukas Rehan jijik. "Jangan godain member kita, ya, dasar cabe."
Key langsung mencubit pinggang Rehan yang tanpa sengaja menyenggol tubuh Thalita yang sedang fokus makan. Rehan dan Thalita mendesis secara bersamaan.
"Bisa deim nggak, Kei?" tanya Thalita sewot. Memang begini bawaannya jika sudah dekat-dekat dengan Rehan. "Gue lagi makan."
"Sakit, ege, ah," keluh Rehan sambil menjitak kepala Key dengan kesal sebagai balasan karena perempuan itu mencubit pinggangnya kuat-kuat barusan.
"Ish, Rehan gubluk," desis Key seraya menahan rasa kesal. Ia kemudian mengelus rambut Thalita dengan menyesal. "Maaf, ya, tadi ada tikus soalnya."
Thalita memutarkan bola matanya, jengah. "Iya-iya."
"Batagor spesial datang," kata Mang Jajat dengan sebuah nampan berisi lima porsi batagor yang ia racik sendiri beberapa saat yang lalu. Dengan telaten, Mang Jajat menyimpan satu mangkok ke depan pelanggan-pelanggannya. "Mangga, dimakan. Jangan lupa berdoa dulu yang khidmat."
"Thanks, Mang!" seru Bima mewakili yang lainnya.
"Oi, oi, oi, berdoa dulu," kata Aldo agak heboh. Laki-laki berkaca mata itu memang terkenal paling rajin beribadah. "Berdoa mulai. Berdoa selesai."
"Gubluk," kata Aris refleks.
"Kuye, makan," ajak Bima sambil menyatukan kedua tangannya di depan wajahnya, seperti kebiasaan orang Jepang. "Ittadakimase!"
"Selamat makan!" seru Aldo, seolah menerjemahkan perkataan Bima barusan.
Rehan mengabaikan dua temannya yang agak gesrek itu, tangannya telaten mengaduk-aduk batagornya sambil sesekali melihat ke arah mangkok milik Thalita yang tersisa setengah lagi. Aldo, Aris, dan Bima melakukan hal yang sama, mengaduk-aduk sambil sesekali menambahkan kecap sesuai selera.
Berbeda dengan Deon yang agak bengong melihat batagor untuk pertama kalinya. Ini asing, namun Deon mencoba untuk terlihat menikmati dan memakainya dengan lahap. Mulutnya mengunyah satu suapan, dan Deon langsung menyukainya.
Ini ... super enak.
"Lo pindahan dari mana, deh?" tanya Rehan disela makannya, pada Deon yang duduk tepat di hadapan Thalita.
"Taruna Nusantara," jawab Deon seadanya, menuruti apa yang Dewa Domandodedo katakan.
"Oalah, pindahan sekolah sebelah," simpul Bima yang ikut mendengarkan. "Kenapa pindah? Lo kesandung kasus, ya?"
Alis Deon terangkat, bingung. "Kesandung kasus?"
"Ya, misalnya lo narkoba, tawuran ataupun apapun yang lo lakukan di sana sampe bikin Lo dikeluarkan," jelas Aris tanpa diminta. Sebenarnya ia agak gemas karena teman-teman terlihat bodoh di hadapan anak baru itu.
"Nah, itu, maksudnya," kata Bima dengan cengiran lebar.
Aldo menatap Deon yang kebingungan dan lama menjawab itu dengan mata menelisik tajam. "Ada yang lo rahasiain, hm?"
Thalita sedikit tertarik atas pembicaraan ini, oleh karenanya ia ikut melihat pada Deon. Memeriksa apakah ada yang disembunyikan oleh anak baru itu atau tidak.
Deon mengerjap salah tingkah, kepalanya langsung menggeleng dengan jantung yang berdetak lebih dari normal. "Nggak! Gue nggak punya rahasia!"
"Hm... ketauan banget boongnya," cetus Rehan seraya berdecak. Thalita ikut setuju pada cetuskan Rehan, diam-diam. "Yaudah lah ya, sekarang lo buka halaman baru aja. Masalah yang lalu nggak usah diulang lagi ataupun diingat-ingat. Kita bakal bantuin lo buat berubah. Oke?"
Sebenarnya di sini Deon sangat tidak paham dengan apa yang dimaksud Rehan, namun kepalanya justru mengangguk seolah dirinya telah mengerti.
Pada akhirnya, Deon menunduk untuk menyuapkan batagor lagi, namun rupanya mangkok itu sudah kosong. Deon agak cemberut. Dirinya masih ingin memakan makanan itu.
"Key, ayo," ajak Thalita ketika mangkok batagornya telah habis dan bangkit untuk pergi dari kantin. Namun, langkahnya langsung terhenti karena tangannya ditahan Rehan.
"Eh, mau ke mana?" tanya Rehan dengan alis mengangkat.
"Urusannya sama lo?" Thalita mendelik tak suka, seraya menghempaskan tangannya sekuat tenaga agar terlepas dari genggaman tangan Rehan.
"Eh, dah, jutek amat," decak Rehan kesal. Kemudian ia menunjuk Deon dengan telunjuknya. "Lo harusnya bimbing dia buat mengenal sekolah. Lo kan ketua kelas."
Mata Thalita membulat tak percaya. "Kan dia udah gede. Ada lo juga, kan."
Bima berdecak mendengarnya. "Dasar ketua kelas tidak bertanggung jawab."
Rehan mengangguk pada perkataan Bima, setuju sekali. "Tanggung jawab lo, dong. Gue kan cuma remahan biskuit Khong Guan."
"Bener juga, Thal, kata mereka. Gue dulu juga waktu SMP dibimbing sana ketua kelas kalau mau apa-apa. Soalnya gue anaknya pemalu," kata Key seraya menyentuh pundak Thalita. "Lo bantu ajalah, kasian. Bengong dan bingung mulu dari tadi."
Thalita cemberut menatap Key. Mencoba memberi tanda bahwa Key harus mengajak Thalita pergi segera dari kantin ini.
"Gue temenin," kata Key tulus. Justru mengatakan hal yang terbalik dari harapan Thalita.
Thalita memuat bola matanya, kemudian menatap Rehan dengan pandangan kesal setengah mati. Dari kelas sepuluh, Rehan selalu saja membuatnya repot.
"Gimana?" tanya Rehan dengan senyuman miring, senang karenanya dirinya lagi-lagi menang atas Thalita.
Pada akhirnya, Thalita mengembuskan napas panjang. Baiklah, ia akan meninggalkan perpustakaan untuk membantu Deon mengenal sekolah.
"Ayo," ajak Thalita pada Deon.
"Ikut!" seru Bima semangat.
"Ikut juga!" seru Aldo tak kalah semangat.
"Ikut dong," kata Rehan dengan nada menyebalkan.
"Ngikut deh," tambah Aris tak mau ketinggalan.
Key tertawa geli. "Dasar para pengangguran."
Lagi, Thalita mengembuskan napas panjang. "Yaudah, ayo. Deon, ayo. Ikutin gue."
Mereka bertujuh kemudian berjalan bersamaan keluar dari kantin, menjalajahi sekolah dengan banyak mulut bersuara.
Seharusnya hanya Thalita yang menjelaskan, namun Rehan dan tiga temannya itu selalu ikutan bersuara sehingga membuat kegiatan ini kurang kondusif, meski Deon juga ikut tertawa.
Mereka memulai penjelajahan dengan lab, kamar mandi, lapangan, ruangan ekskul, koperasi, gudang, ruang teknisi, ruangan guru, ruang BK, taman belakang dan diakhiri dengan ruangan yang berada di sebelah kelas mereka.
"Oke, ini yang terakhir. Perpustakaan. Tempat favorit gue dari semua gedung sekolah. Isinya seperti biasa. Buku-buku. Ada pelajaran dan non pelajaran. Lumayan lengkap dan banyak kursi serta meja buat belajar," jelas Thalita ketika dirinya dan rombongan berhenti di depan pintu perpustakaan.
"Favorit?" tanya Deon tak paham.
"Iya, gue suka baca soalnya. Kalau nggak ada kerjaan, gue pasti baca. Apapun itu." Thalita menjawab dengan senyuman sabar.
"Kalau baca pikiran bisa?" tanya Reha , seperti biasa, mengganggu Thalita dalam kesempatan apapun.
"Kalau baca tulisan gajah bisa?" Bima ikut bertanya acak.
Thalita mengabaikan pengganggu itu dan menoleh untuk mendongak menatap Deon yang sedari tadi wajahnya datar-datar saja.
"Kok lo dari tadi nggak ada reaksi berarti, ya. Apa jangan-jangan lo nggak dengerin arahan gue? Ada pertanyaan?"
Saking banyaknya penjelasan yang tak ia mengerti, saking banyaknya pertanyaan di benaknya, Deon menjadi bingung harus menanyakan apa terlebih dahulu.
Pada akhirnya, inilah yang ia katakan setelah lama berpikir.
"Gue pengen batagor lagi. Masih lapar."
Thalita hampir pingsan di tempat dan Key menganga mendengar apa yang dikatakan Deon. Dua perempuan itu seketika kesal padanya.
"Gue nyerah, deh. Deon udah terpengaruh lima gesrek itu," kata Key seraya mengangkat tangannya tanda menyerah.
"Ayo, ke kelas aja. Nggak ada yang beres di sini," ajak Thalita. Dan dua gadis itu segera pergi dari hadapan Rehan, Deon, Bima, serta dua orang lainnya yang sedari tadi hanya mengikuti tanpa bersuara.
Deon menoleh pada Rehan setelah punggung Thalita dan Key tak terlihat lagi.
"Emangnya gue salah ngomong, ya? Kok mereka kayaknya marah?" tanya Deon polos.
Rehan berdecak seraya mengangkat keduanya bahunya, tak acuh. "Cewek emang gitu. Aneh."
"Lo masih mau batagor?" tanya Bima semangat, langsung dibalas anggukan oleh Deon. "Ayo!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments