03

Seorang perempuan terlihat sedang mengikat rambutnya menjadi satu di depan cermin yang memantulkan dirinya. Perempuan kemudian itu memoleskan bedak tipis serta lip balm sebagai sentuhan akhir. Setelah dirasa siap, perempuan itu mengambil tasnya dan memakai sepatu.

Dia adalah Thalita Amarsha. Siswi tahun ketiga yang akan masuk hari ini sebagai hari pertama di ajaran baru. Ia siap sekolah dan belajar. Semangatnya seolah tak pernah padam, dilihat dari langkah mantapnya kini menuju halte.

Jangan tanyakan bagaimana keadaan rumahnya. Kini rumah ini sepi, gelap dan dingin. Thalita tak betah di tempat seperti itu. Kehadiran orang tuanya pun tak terlalu ia pedulikan karena mereka pasti capek setelah bekerja dan tak mau dibangunkan lagi hanya untuk melihat Thalita pergi berangkat sekolah.

"Thalita berangkat, ayah, ibu," pamit Thalita setelah menutup pintu rumahnya dengan senyum tipis. Ia tahu perbuatannya yang berarti sesuatu, namun ia melakukannya hanya untuk mengisi hatinya yang terasa kosong.

Langkah yang masih saja semangat menuntut Thalita menuju sebuah bus yang berhenti di halte. Ia masuk ke bus yang lumayan padat tersebut untuk berdiri di sebelah kursi yang telah ditempati seseorang. Kursi di bus ini hampir semuanya terisi, hingga Thalita tak ada pilihan selain berdiri.

Penumpang di sini banyak yang merupakan mahasiswa dan pekerja pabrik. Yang seorang pelajar sepertinya hanya beberapa. Ia mendapati lima murid SMA Tunas Bangsa, nama sekolahnya, berada di bus ini, melihat dari seragam yang di kenakan mereka.

Yang paling menonjol adalah seorang laki-laki yang juga berdiri di ujung sana. Dia terlihat terkagum-kagum pada seisi bus ini. Matanya selalu membulat kala melihat sesuatu. Kemudian tiba-tiba matanya bertemu dengan mata Thalita, membuat Thalita kaget dan langsung memalingkan wajahnya ke arah sebaliknya.

Tentu malu jika tertangkap sedang memerhatikan oleh seseorang yang sedang diperhatikan.

Thalita meringis. Kakinya bergerak kecil dan ringan, kebiasaannya ketiga sedang salah tingkah atau gugup. Thalita memilih fokus melihat ke depan menuju sekolahnya.

Namun, belum lama ia merasa tenang kembali, suara agak berisik di belakang membuat Thalita refleks menoleh ke arah tersebut. Betapa terkejutnya ia ketika melihat laki-laki yang tadi akan terjatuh ke arahnya.

Thalita secara refleks lagi menyampingkan tubuhnya hingga laki-laki itu terjatuh, tersungkur ke depan, tepat di hadapannya yang langsung mematung. Mata Thalita mengerjap-ngerjap pelan.

"Aduh!" seru laki-laki itu kesakitan. Ringisannya terdengar jelas dan itu membuat seisi bus menaruh prihatin kepadanya.

"Hati-hati, dong, nak!"

"Bikin kaget aja, aduh."

Thalita tak tahan juga melihatnya. Ia segera membantu dan membuat laki-laki itu kembali berdiri secara perlahan. Laki-laki masih meringis setelah berdiri kala Thalita justru terkejut atas betapa tingginya dia.

Mata tajam Thalita segera menangkap nama yang terjahit di seragam bagian dadanya. "Ah, hai, Deon. Sekolah kita sama. Lo kelas berapa?"

Thalita langsung meneliti wajah Deon yang langsung kebingungan atas pertanyaan yang tiba-tiba itu dengan seksama. "Kayaknya gue baru liat lo, deh."

"Ah, gue murid baru." Lagi-lagi Deon masih terkejut karena bahasanya kini agak berbeda dengan yang tadi di rumah. Itu keluar begitu saja tanpa harus ia pikirkan. "Baru pindah hari ini."

Thalita mengangguk-angguk. "Oke. Tapi, lo nggak apa-apa, kan?" tanyanya lagi. "Harusnya gue nanya keadaan lo dulu, baru tentang siapa lo."

Deon tertawa. "Nggak apa-apa. Tadi cuma kesandung doang, soalnya baru pertama kali jalan pake kaki."

"Lah, emang dulu lo jalan pake tangan?" Thalita bertanya dengan wajah super bingung. Ingin tertawa namun Deon sepertinya tak bercanda. "Kok lo aneh, sih?"

Mata Deon membulat, sadar bahwa dirinya salah bicara. Seharusnya ia tak mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa dirinya bukan manusia di Bumi ini, pada siapapun.

"Maksud gue, gue kesandung sepatu tadi," jelas Deon segera meluruskan.

"Oh, iya," balas Thalita paham. "Lain kali hati-hati, dong."

Deon tersenyum, kemudian mengangguk semangat. "Oke."

Hari pertama sekolah dan menjalani hukuman ia sudah mendapatkan kenalan. Beruntungnya. Sepertinya hukuman ini tak terlalu memberatkan.

"Ah, ya, nama lo siapa?" tanya Deon baru tersadar ia belum mengetahui namanya.

"Thalita," katanya dengan senyuman dan menjulurkan tangannya untuk minta dijabat. "Salam kenal. Gue akan jadi ketua kelas lagi tahun ini, doain."

Deon menjabat tangannya, membalas dengan senyuman juga. "Oke."

Thalita segera melepaskan jabatan tangan keduanya dan tersenyum lebar. Membuat matanya kian menyipit seperti bulan sabit. "Makasih. Baik banget, sih. Baru aja kenal."

"Iya, sama-sama," balas Deon senang. "Terimakasih juga karena menyebut gue baik banget."

"Ah, kita udah nyampe, ayo," ajak Thalita yang kemudian segera berjalan ke depan untuk setelahnya turun ketika bus telah berhenti. Tak lupa ia membayar tarif ongkosnya.

Deon mengembuskan napas kecewa, sebab obrolannya harus terhentikan. Ia melakukan hal yang sama dengan Thalita, kemudian berjalan di sampingnya menuju sekolah.

"Semoga betah, ya, di sekolah ini," kata Thalita riang. "Semangat buat UN juga."

"Iya," balas Deon seadanya. Ia tahu UN adalah sebuah Ujian tahap akhirnya yang akan menentukan hampir segalanya.

Tanyakan di mana letak ruang Kepala Sekolah.

Suara itu tiba-tiba terdengar di telinga Deon. Namun, seberapa sering pun ia menolehkan kepalanya ke segala arah untuk melihat sumbernya, hasilnya tetap nihil.

Pada akhirnya, Deon menoleh pada Thalita.  "Ah, ya, bisa nggak lo tunjukkin gue di mana ruang Kepala Sekolah?"

"Oh, tentu saja. Ikutin gue."

***

"Di sini kamu sebagai murid baru pindahan dari SMA Taruna Nusantara," kata laki-laki berumur setengah abad yang menjabat sebagai Kepala Sekolah di sini sewaktu Deon telah masuk ke ruangannya.

Tentu perkataannya membuat Deon mengerutkan kening, pasalnya aneh jika Kepala Sekolah langsung mengenalinya bahkan sebelum ia memperkenalkan dirinya sendiri.

"Ini aku, Dewa Domandodedo."

"Wah," kagum Deon dengan mata membulat. "Kamu bisa merasukinya?"

"Aku bisa melakukan apapun," balas Dewa Domandodedo. "Aku Dewa, Deon."

"Idih, sombong," balas Deon dengan senyum tak suka.

"Sekarang, aku hanya ingin berpesan, jangan sampai kamu memberitahu identitas aslimu kepada manusia manapun di Bumi ini. Statusmu di sini sebagai alien, makhluk lain yang berbeda dengan mereka, manusia." Kepala Sekolah itu berdiri dari duduknya, menghampirinya Deon dan menatapnya dengan serius. "Jika ada sesuatu yang terjadi karena kecerobohanmu, aku tidak tanggung jawab."

Deon tersenyum paham. "Oke."

"Pastikan kamu tidak membuat masalah, ya," peringat Dewan Domandodedo yang menjelma sebagai Kepala Sekolah itu.

"Siap," balas Deon semangat. Bahkan sampai hormat seperti prajurit yang mematuhi atasannya.

"Sekarang kamu pergi ke ruang guru, nanti di sana akan ada yang mengantarkan dirimu ke kelas."

Deon mengangguk, kemudian berbalik untuk melangkah keluar ruangan kepala sekolah itu. Tak sulit menemukan ruang guru karena hanya perlu sepuluh langkah untuknya kini berada di ambang pintu ruang guru tersebut.

Guru-guru telah melakukan briefing dan hendak masuk ke kelas-kelas di mana mereka bertugas. Deon masih bingung dengan apa yang harus ia lakukan sampai seseorang berjalan ke arahnya.

"Ah, kamu anak baru yang bernama Deon itu, ya," sapa orang tersebut dengan senyum lebar.

Dia adalah seorang wanita tiga puluh tahun yang menjabat sebagai guru Bahasa Indonesia yang juga merupakan wali kelas XII IPA 3, kelas Deon nanti. "Ayo ikut saya."

Deon tak punya pilihan selain mengikuti langkah wanita tersebut. Ia mengedarkan pandangannya sepanjang berjalan. Mulai dari deretan kelas yang telah terisi murid serta guru, bising kelas yang masih belum terisi guru dan pemandangan lapangan dengan pot-pot besar berisi bunga cantik. Belum lagi pada pohon-pohon besar yang menyejukkan.

Tak terasa, mereka telah sampai di sebuah pintu kelas dan guru yang sejak tadi memandu langkahnya ini masuk lebih dulu.

"Pagi, anak-anak," sapa guru tersebut dengan senyum lebar dan nada ceria yang menyemangatkan. "Ijinkan ibu memperkenalkan diri. Nama ibu, Ibu Yasmin, wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Pesan ibu sama saja seperti guru lain sebelumnya. Jangan menyerah dalam menuntut ilmu dan jangan membuat masalah yang merugikan banyak orang. Nah, sebelum pada pembahasan lebih lanjut. Kalian punya teman baru."

"Woah!"

"Yeay!"

"Asik!"

Begitulah reaksi anak-anak. Semangat untuk menyambut seseorang yang baru. Termasuk juga Key, teman Thalita yang duduk di sebelahnya. Perempuan berambut sebahu itu tampak semangat sekali.

"Kira-kira cewek atau cowok, ya, Thal?" tanya Key pada Thalita.

Thalita hanya mengangkat bahunya, tak tahu sama sekali. Yang ia pikirkan adalah supaya dirinya menjadi ketua kelas lagi dan mendapat perhatian Buu Yasmin yang belum pernah mengajarnya.

"Ayo, masuk, nak," ajak Bu Yasmin pada Deon yang masih berdiri di ambang pintu hingga tak terlihat oleh seisi kelas. "Sini!"

Deon berdeham, mengangguk kemudian berjalan perlahan untuk menampilkan diri pada seisi kelas. Anak-anak di sana seketika melebarkan penglihatan sebab mendapati teman baru mereka yang luar biasa tampan seperti Deon.

Mulai dari kulit mulus yang cerah, hidung mancung, mata hitam polos yang juga lucu, alis tebal rapi, rahang tegas dan tinggi badannya itu memukau siswi-siswi di kelas itu. Tak terkecuali juga Thalita. Ia juga terpesona, namun rasa kagetnya melebihi itu karena bisa satu kelas dengan seseorang yang tadi ia temui dan mengantarkannya ke ruang kepala sekolah.

"Ayo, silahkan perkenalkan dirimu," kata Bu Yasmin memberi arahan.

"Ah, iya," balas Deon seraya mengusap tengkuknya. Ia juga tak mengerti mengapa bisa segugup ini untuk bicara. "Na-nama saya Deon, pindahan dari SMA Taruna Nusantara. Hai."

Deon menyapa dengan kaku. Membuat anak-anak seketika tertawa, namun pada akhirnya membalas dengan lambaian tangan serta balasan yang kompak, "hai, Deooooon!"

Tawa Deon mengudara. Senang sekali rasanya diperlakukan ramah saat hari pertamanya masuk kelas.

"Baiklah, Deon silahkan duduk di ujung sana, di kursi yang kosong, ya," kata Bu Yasmin mempersilahkan Deon untuk duduk.

Deon mengangguk, mengeratkan pegangannya pada tali tasnya, kemudian berjalan untuk setelahnya terkejut melihat sosok Thalita yang justru tersenyum lebar padanya. Deon balas tersenyum tipis, kemudian berlalu menuju kursi paling belakang di pojok kanan dekat jendela yang kosong.

Beberapa siswi berbisik padanya ketika melewati mereka. Isinya sama semua. Meminta nomor ponsel. Namun, Deon tak memilikinya saat ini, jadi ia hanya tersenyum berusaha terlihat ramah.

"Nah, baiklah, anak-anak. Kita langsung saja pilih ketua kelasnya!" seru Bu Yasmin tiba-tiba berapi-api. Deon mengerti apa ketua kelas dan fungsinya, namun ia tak berniat untuk menjadi salah satu kandidatnya. "Siapa yang akan mengajukan diri?"

Thalita berdecak puas. Ini adalah cara mengajar tipenya. Semangat dan langsung pada intinya. Sontak, Thalita berdiri sambil mengacungkan tangannya. Membuat dirinya menjadi pusat perhatian dengan segera.

"Saya, Bu!"

"Buset, dah, semangat amat," komentar Key agak bosan karena temannya yang satu-satunya itu selalu saja menjadi ketua di kelasnya.

Deon membulatkan matanya karena Thalita begitu semangat saat berdiri. Ia **** senyum, merasa perempuan itu menjadi sangat lucu saat ini.

Bu Yasmin langsung tersenyum. "Baiklah, silahkan perkenalkan dirimu dan apa visi misi ketua kelasnya."

Thalita mengangguk mantap. "Saya Thalita Amarsha, Bu. Sudah pengalaman menjadi ketua kelas selama 8 tahun. Saya percaya pengalaman saya dapat berguna dan menjamin visi misi saya yang akan dirinci sebagai berikut."

Senyum Bu Yasmin berubah. Dari awalnya tipis menjadi amat lebar karena Thalita membuatnya amat penasaran.

"Visi saya adalah membantu sesama teman dan Misi saya adalah bahagia bersama teman. Selesai, Bu," jelas Thalita dengan wajah serius.

Meski begitu, ucapannya sedikit menggelitik orang-orang yang mendengarnya. Begitupula dengan Bu Yasmin yang tak habis pikir bahwa visi dan misi Thalita yang sudah berpengalaman 8 tahun menjadi ketua kelas akan sesingkat dan sejelas itu.

"Bagus, sih. Terimakasih atas keberanian kamu dalam mengungkapkan pendapat, Thalita," komentar Bu Yasmin agak kecewa. Pandangan mengedar ke seluruh kelas. "Ada lagi yang akan menyalonkan diri?"

"Up, Bu."

"Pasrah aja, Bu."

"Tidak!"

"Males, Bu."

"Udah, Thalita aja, Bu."

Bu Yasmin hanya mampu mengela napas pendek dengan sabar. Ia tak akan memaksakan kehendak seseorang. "Baiklah, jika itu pilihan kalian, ibu bisa apa. Ya, jadi sudah diputuskan, ya. Ketua kelas XII IPA 3 adalah Thalita Amarsha!"

Tepuk tangan dari seluruh murid kelas XII IPA 3 mengudara dengan keras. Membuat senyum Thalita terukir lebar dan ia puas akan keputusan ini.

Memang mudah menjadi ketua kelas, jika tak memiliki saingan. Thalita juga merasa dirinya akan mudah menjalankan tugasnya karena sepertinya anak-anak di kelasnya ini tak terlalu susah untuk dilatih.

"Ibu harap kelas ini bisa aman, nyaman dan damai untuk semua orang. Untuk struktur ke bawahnya, ibu serahkan pada kalian dengan Thalita yang memimpin," jelas Bu Yasmin memberi arahan. Matanya menatap lurus pada Thalita. "Ibu percaya sama kamu, Thalita."

Thalita segera melakukan gerakan hormat dengan wajah serius. "Saya tidak akan mengecewakan ibu!"

"Bagus. Ibu nantikan kerja kamu."

***

13 November 2019

05:46 WIB

KOMENNYA BUNG :3

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!