"Deon, bangun, nak! Deon!"
"Deon, bangun, nak!"
"Deon, bangun!"
"Deon!"
Matanya mulai terbuka, perlahan namun pasti. Ketika terbuka sepenuhnya, mata itu mengerjap, dengan kening yang mengerut sebab terlalu banyak cahaya yang diterima retinanya. Semua ini asing baginya, namun otaknya seolah telah diatur untuk mengenali segalanya.
Jendela lebar terbuka di hadapannya yang masih berbaring, menampilkan sinar mentari pagi yang lembut dan indah. Ia kemudian menoleh ke samping, pada seorang wanita yang biasa di sebut ibu. Seseorang spesial yang telah mengandungnya selama sembilan bulan hingga dapat lahir ke dunia ini. Juga menjadi sebesar ini.
Dengan wajah bingung, Deon menatapnya. Ia sendiri tak mengerti apa-apa, tak paham apa-apa dan tak tahu apa-apa. Namun, anehnya, otaknya telah diijinkan untuk mengerti, paham dan tahu apa yang telah ia lihat.
"Kamu sekolah sekarang. Ini udah jam enam, ayo, siap-siap. Nanti kamu telat," kata ibu dengan nada khawatir. "Ibu udah siapin sarapan. Kamu sekarang mandi, terus nanti ke meja makan. Oke? Ibu tunggu di sana soalnya masih banyak yang harus dibersihkan."
Perlahan, Deon bangkit dari tidurnya. Kemudian ia mengangguk pada ibu, menyetujui ucapan wanita tersebut. "Iya, ibu."
Mata Deon langsung membulat. Terkejut sendiri mengapa dirinya bisa bersuara dengan bahasa asing yang anehnya dapat ia ucapkan dan pahami dengan baik.
Ibu tersenyum pada anaknya yang penurut. Ia mengelus rambut hitam Deon dengan sayang. "Ya sudah, ibu tinggal, ya."
Ditinggal pergi oleh ibu, Deon menatap sekeliling. Pada ruangan yang disebut kamarnya. Di sana ada meja belajar lengkap dengan kursi serta buku dan alat tulis di atas mejanya. Lalu pandangan Deon turun pada tubuh bagian tungkai bawahnya yang terbalut baju tidur.
Kepalanya terasa pusing, dan itu membuat Deon menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, ia memejamkan matanya dan mulai berpikir keras.
Di mana dia, dari mana dia, siapa dia dan akan kemana dia.
Semua pertanyaan itu memiliki jalan buntu. Deon tak tahu semuanya. Segalanya terasa baru dan ia tak ingat apapun. Lalu pada tubuh ini, Deon bahkan tak mengenalinya.
Pintu kamarnya yang tiba-tiba diketuk dan langsung terbuka itu membuat Deon segera menoleh dengan posisi masih sama, duduk di atas ranjangnya. Di sana muncul sosok anak kecil perempuan yang merupakan adiknya, namanya Diana. Anak perempuan itu telah memakai seragam sekolah dan telah siap untuk berangkat.
Langkah kecil Diana segera menghampiri Deon. Matanya membulat, melihat kakaknya yang masih belum mandi untuk bersiap berangkat sekolah.
"Kakak kok masih di sini, sih? Kata ibu mandi, kak! Mandi! Ayo!" seru Diana seraya menarik tangan kakaknya itu untuk bangun dan melangkah. Deon mengerjap bingung, mengapa dirinya bisa paham pada bahasa yang dikatakan adiknya itu.
Bahasa ini terasa asing baginya, namun ajaibnya ia paham apa artinya.
Meski tak mengerti dan bingung, Deon mengikuti arahan Diana. Ia bangkit, kemudian berdiri dengan perasaan asing yang aneh dan akhirnya berjalan. Rasanya aneh sekali, ia dapat berjalan dengan kedia alat gerak yang disebut kaki ini.
Deon menggerak-gerakkan jari kakinya, terpesona dengan kesepuluh jari kaki ini yang dapat bergerak sesuai keinginannya. Deon menunduk, membuat Diana yang masih memegang tangannya itu menatapnya dengan bingung.
"Kak, kakak kenapa, sih? Kok liatin kaki kayak gitu? Ayo mandi, aduh," keluh Diana tak mengerti dengan sikap aneh kakaknya. "Masa harus aku mandiin, hadeuh."
"Iya, iya, kakak mau mandi," kata Deon refleks. Dia sendiri terkejut sebab bisa berbahasa asing, maksudnya Deon tak pernah merasa menguasai bahasa ini. "Kamu keluar sana. Nanti kakak nyusul."
Diana mengembuskan napas lega. "Yaudah, aku lepas tanggung jawab ya, kak. Dah!"
Anak perempuan berumur sepuluh tahun itu akhirnya pergi dari kamarnya dan membuat Deon meneliti kembali kakinya. Ia mulai tersenyum, kemudian berjalan dengan perlahan. Deon terlihat aneh ketika berjalan, mungkin karena ia baru saja memulainya.
Meski tak tahu apa yang akan ia lakukan, tapi Deon mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Ketika berada di dalamnya, ia melepas pakaiannya kemudian mandi. Membersihkan badan, rambut serta menggosok gigi dalam waktu sepuluh menit.
Deon akhirnya keluar dan merasa segar. Perlahan, ia mengerti apa itu mandi dan bagaimana cara melakukannya. Kakinya kemudian melangkah ke lemari pakaian, mengambil sepasang seragam kotak-kotak biru khas sekolahnya.
Deon berdiri di depan cermin, kemudian terkejut sebab ada seseorang di sana. Deon menutup mulutnya dengan mata membulat, membuat seseorang di sana juga mengikutinya. Deon semakin terkejut, ia membuka mulutnya yang terbuka lebar itu dan seseorang di sana mengikutinya lagi.
Paham bahwa fungsi cermin adalah memantulkan bayangan benda yang terkena cahaya, Deon mengangguk. Meski masih terkejut, ia tersenyum paham kemudian memakai pakaian dalam dan seragam sekolahnya.
Setelah selesai, ia menyisir rambut dan mulai mendekatkan wajahnya pada cermin tersebut. Kening Deon mengerut. Menatap pantulan wajahnya di cermin.
Ada rambut, rasanya lembut dan itu berwarna hitam. Helai-helai tipis ini membuat Deon terkesima. Kemudian kening, yang dapat mengerut dan membentuk berbagai formasi. Alisnya, matanya, pipinya, hidungnya, lubang hidungnya, telinganya kemudian mulut serta lidahnya. Deon membuka-buka mulutnya dan menjulurkan lidahnya.
Semua ini hal baru baginya, namun ia mengerti dan paham apa nama dan fungsi dari bagian-bagian tubuhnya ini. Deon berdeham, kemudian menegakkan badan dan berhenti bercermin.
Ia paham dirinya akan terlambat sekolah jika terus-menerus bercermin. Deon mengambil tas yang telah diisi buku serta alat tulis, kemudian keluar dari kamarnya setelah mengunci pintunya.
Deon melihat dapur yang terdapat meja makan yang telah diisi ayah, ibu dan Diana. Senyumnya mengembang dan langkahnya riang mendekat pada tiga orang yang disebut keluarga itu.
Mereka sedang sarapan, makan pagi.
"Ini nasi goreng kamu, abisin," kata ibu seraya menyodorkan satu porsi nasi goreng yang dibuat penuh cinta dan keikhlasan.
Melihat sebuah piring yang mewadahi butiran-butiran nasi masak yang digoreng dengan minyak, daun bawang, telur dan sosis membuat Deon membasahi bibirnya karena merasa tergiur dan lapar. Ia belum pernah melihatnya, namun tahu bagaimana memakannya.
Deon mengambil sendok dan mulai menyuapkannya, mengunyahnya hingga terasa campur aduk dan enak kemudian menelannya.
"Ayah berangkat, ya, udah hampir telat nih. Takutnya macet," pamit ayahnya tiba-tiba. Ia membawa tas kotak berisi laptop dan beberapa berkas untuk bekerja kemudian bangkit. "Ibu, Deon, Diana. Ayah duluan, ya."
Deon hanya mengangguk, sementara Diana langsung berlari dan memeluk ayah dengan riang. "Ayah, jangan lupa beliin aku permen karet yang banyak, ya," rengeknya lucu.
Ayah tertawa. "Iya, iya. Ayah beliin."
Ibu segera menghampiri dan memperbaiki dasi suaminya tersebut. "Hati-hati, ya."
"Semangat bekerjanya, yah!" seru Diana yang kemudian berlari lagi untuk meneguk isi gelas susunya di samping Deon. Anak perempuan itu melambaikan tangannya dengan semangat pada kepergian ayah.
"Siap!" balas ayah sama cerianya.
Deon menoleh pada Diana, menatapnya dengan bingung. Anak itu punya rambut lebih panjang dan garis wajah yang lucu. Deon baru paham bahwa jenis kelamin mereka berbeda dan jelas bagian tubuhnya pun akan berbeda.
"Apa, kak?" tanya Diana yang agak terganggu dengan tatapan Deon.
"Ah, nggak," balas Deon ringan, mulai terbiasa dengan kemampuan berbahasanya. Ia menatap piring yang sudah kosong kemudian berdiri. "Deon berangkat, Bu, Na. Deon duluan."
"Hati-hati, ya," kata ibu seraya mengambil piring bekas Deon dan mencium puncak kepalanya dengan sayang. Deon merasakan hatinya menghangat dan bibirnya refleks tersenyum, kemudian ibu menepuk-nepuk pundaknya. "Belajar yang bener, ya. Banggain keluarga."
"Siap," balas Deon dengan acungan jempol. Ini asing baginya, namun Deon paham bahwa acungan jempol berarti setuju atas perkataan lawan bicara.
"Ya udah, nih, bekelnya," lanjut ibu seraya menaruh dua lebar uang berwarna hijau di tangan Deon yang ia buka. "Jangan lupa nabung, jangan jajan sembarangan. Oke?"
"Oke, ibu." Deon mengangguk, memasukkan uang itu pada saku celana seragamnya dan mulai melangkah menjauh untuk keluar dari rumah.
"Dadah, kakak!" serang Diana terdengar sewaktu Deon mengambil sepatunya dari rak dan memakainya di depan pintu keluar.
Deon memakai benda asing tersebut seraya menelitinya. Ia memakai kaos kaki dulu sebelum memasukkan sepasang sepatu converse-nya. Kemudian menyimpulkan talinya dengan kuat.
Setelah siap, Deon berdiri dan membuka pintu. Ia terkejut akan sinar matahari yang anggun menyilaukan dan pemandangan halamannya yang penuh bunga pot serta rumput rawat yang terhampar di luasnya halaman depan rumah.
Deon menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tersenyum. Ia merasa bahagia bisa seperti ini, melihat hal baru, memahami hal baru, melakukan hal baru dan menikmati hal baru. Rasanya seperti berada di surga.
Langkah Deon yang belum terbiasa itu membuatnya sedikit tersandung dan hampir terjatuh sewaktu telah keluar dari pagar rumahnya untuk pergi ke halte di seberang jalanan sana. Deon menyentuh dadanya yang berdegup kencang, entah mengapa.
Hati-hati. Meski kamu telah jadi manusia, namun tubuhmu belum bisa menyesuaikan. Aku memberimu kemampuan untuk dapat paham dan mengerti segala yang ada di sini.
Namun tidak untuk rasanya. Itu akan selalu asing bagimu meski kamu mengerti apa itu.
Deon membulatkan matanya mendengar suara itu. Suara yang amat familiar di telinganya. Ia menoleh dan melihat seekor burung yang terbang di sampingnya. Keningnya mengerut, kemudian ingatannya seketika kembali.
Kepalanya terasa pening dan matanya otomatis terpejam sesaat. Deon adalah seorang makhluk khusus dari Planet Dadedo yang mendapat hukuman karena memasuki Lembah Doti oleh Dewa Domandodedo. Hukumannya adalah untuk hidup di sebuah planet lain bernama Bumi dalam tempo yang telah ditentukan oleh dewa.
"Ah, aku ingat sekarang," cetus Deon pada burung yang ia yakini adalah jelmaan dari Dewa Domandodedo itu. "Aku paham apa hukumanku. Kamu ingin aku hidup di sini. Sepertinya akan menyenangkan. Terimakasih telah menghukum diriku."
Kamu jangan senang dulu. Hidup di sini tak semudah yang kamu pikirkan. Kamu bisa saja mati di sini.
Deon tersenyum menantang. "Tidak akan. Di sini aman-aman, saj--"
TIN!
Tubuh Deon secara refleks ambruk ke samping ketika sebuah sepeda motor melaju ke arahnya dengan cepat. Deon tak sadar dirinya berada di tengah jalan dan langsung bangkit untuk berlari ke arah halte. Jantungnya berdetak kencang, ia mengedarkan pandangannya. Mencari burung tadi.
Tak ada.
Burung itu hilang dan membuat Deon agak ketakutan. Memikirkan perkataan burung tersebut tentang kemungkinan dirinya akan mati di sini.
Sebuah bus yang mengarah pada sekolahnya membuat Deon menyadarkan diri dan melangkah kembali untuk masuk ke dalamnya. Ia tak pernah masuk ke dalam kendaraan seperti ini dan tentu saja ia tak henti-hentinya menatap penuh kekaguman pada bagaimana tersedianya sederet tempat duduk nyaman, lajunya, jendela besar yang menampilkan panorama sekeliling serta bagaimana orang-orang di sekitarnya dengan berbagai kegiatan.
Baiklah, Deon akan menikmati hukumannya di sini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments